SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID- Hari Santri Nasional (HSN) berlangsung sebentar lagi. Pada Jumat 22 Oktober nanti, hari bersejarah tersebut diperingati untuk kali ketujuh, setelah ditetapkan pada tahun 2015 lalu oleh Presiden Joko Widodo. Seiring dengan itu, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Jember memandang, sejauh ini peringatan HSN di Jember masih terkesan seremonial saja. Belum menyentuh esensi pemberdayaan, pendidikan, serta perekonomian dunia pesantren.
Pada kepemimpinan Bupati Jember Hendy Siswanto dan M Balya Firjaun Barlaman, Ayub menyatakan, efeknya memang belum bisa dirasakan. Sebab, peringatan HSN belum pernah terjadi pada rezim saat ini. “Bagaimana mau mengurus Perda Santri? Wong sejak menjabat saja bupati dan wabup disibukkan dengan urusan APBD. Belum lagi tatanan birokrasinya,” kata Ayub.
Dalam APBD atau PABPB Jember 2021, program untuk pesantren memang sebagian ada yang masuk. Misalnya, pengembangan dan penguatan ekonomi pesantren, serta pembangunan infrastruktur sanitasi di pondok pesantren. Namun, secara teknis pemberdayaan itu belum sepenuhnya dapat dirasakan karena masih baru. “Dalam peringatan HSN ini, program itu diperlukan. Akan tetapi, kami mengharapkan agar ada kebijakan yang mengikat dengan pesantren,” ulas pria yang akrab dipanggil Cak Ayub tersebut.
Program pemberdayaan atau semacam bantuan memang dibutuhkan pondok pesantren. Namun demikian, PKB menilai, perlu ada terobosan karena pada rezim sebelumnya produktivitas mengenai Program Legislasi Daerah (Prolegda) cukup rendah. “Jangankan berpikir untuk membuat Perda Pesantren, Perda APBD saja dua kali pakai perkada. Sekarang, Perda Pesantren ini yang dibutuhkan kalangan santri, karena hal itu merupakan kebijakan yang mengikat. Siapa pun nanti yang akan menjadi pemimpin di Jember ke depan, akan terikat dengan perda itu,” jelasnya.
Cak Ayub menyebut, selama 76 tahun, peran kaum santri seperti menghilang atau dihilangkan. Padahal, pertempuran di Surabaya, yang ditandai dengan Hari Pahlawan 10 November, ada peran santri di dalamnya. “Tanggal 10 November itu tidak bisa lepas dari Resolusi Jihad 22 Oktober yang dikeluarkan Hadrotus Syekh KH Hasyim Asyari,” sebutnya.
Bukan hanya itu, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga lahir dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dan di dalam BKR tersebut ada Laskar Hizbullah yang itu berasal dari kalangan kiai dan santri. “Dengan demikian, pesantren juga perlu dilindungi dan diberdayakan dengan produk hukum yang mengikat,” ungkapnya.
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki aturan mengikat terkait pesantren. Yakni Undang-Undang tentang Pesantren beserta beberapa aturan turunannya. Beberapa daerah juga sudah ada yang punya Perda Pesantren. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. “Pada era Bupati Hendy dan Wabup Gus Firjaun ini, kami ingin agar Jember punya Perda Pesantren. Dengan begitu, program untuk pesantren nanti tidak sekadar taktis, tapi juga mengikat selamanya,” ucapnya.
Apabila Perda Pesantren itu dapat dilahirkan, maka keberpihakan pemerintah daerah otomatis terlihat oleh seluruh warga Jember. “Kalau kebijakannya sekadar kegiatan taktis atau pemberdayaan sesaat, tahun depan bisa hilang. Tetapi, kalau kebijakan itu berupa perda, maka ke depan ada kewajiban pemerintah untuk tetap memberikan program dan kegiatan bagi pesantren,” tegasnya.
Mengenai Perda Pesantren tersebut, memang ada dua jalur. Pertama usulan dari eksekutif atau bupati, dan kedua inisiatif DPRD Jember. PKB, Cak Ayub menambahkan, ingin Perda Pesantren itu diusulkan bupati sebagai bentuk keberpihakan nyata terhadap pesantren. Perda itu tentu tidak sebatas berbicara tentang pemilik pondok, tetapi di dalamnya juga ada pendidikan, ekonomi, serta banyak aspek yang lain. “Jember sudah waktunya punya. Karena beberapa daerah lain sudah ada yang disahkan,” pungkasnya.
Reporter : Nur Hariri
Fotografer : Dwi Siswanto
Editor : Mahrus Sholih