25 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Rekrutmen Anggota Silat Harus Selektif

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejatinya, banyak sisi positif ketika seorang anak belajar bela diri. Selain menyehatkan, ketika berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka juga bisa menjadi atlet profesional. Sayangnya, belakangan ini, akibat ulah oknum anggota perguruan silat, nama baik organisasi seni bela diri tersebut tercoreng. Oleh karena itu, para pelatih diminta lebih selektif saat melakukan rekrutmen calon anggota.

Alip R Insani, warga Kecamatan Tempurejo, mengaku pernah mengikuti latihan pencak silat semasa duduk di bangku SMA pada 2012 lalu. Keinginannya menjadi atlet kala itu sangat besar. Bahkan, dia harus berlatih lebih keras dari biasanya hingga siang dan malam. “Alhamdulillah, pernah menjuarai kompetisi di Jember dan bisa mewakili Jember dalam ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional di Surabaya pada 2013 lalu,” katanya.

Pemuda yang kini berusia 24 tahun ini menuturkan, meski saat itu dia gagal meraih gelar di tingkat provinsi, namun dia sudah bersyukur karena bisa mewakili Jember di kompetisi tersebut. “Soalnya, cita-cita saya menjadi atlet sudah terwakili dengan mengikuti kompetisi itu,” ucapnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dia juga menyayangkan adanya oknum anggota perguruan silat yang menyalahgunakan kemampuannya dengan berlagak sok jagoan. Bahkan, sampai membikin keributan hingga ditahan kepolisian. Padahal, kata dia, jika potensi pesilat itu dipupuk dengan baik, maka Jember bisa menghasilkan banyak atlet bela diri. Apalagi, di Kota Suwar-Suwir ini cukup banyak organisasi pencak silat yang eksistensinya tidak diragukan lagi.

Menanggapi hal itu, Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah IAIN Jember Muhammad Muhib Alwi MA menilai, munculnya sikap arogan dari oknum pesilat itu lebih karena faktor psikologis. Biasanya, orang yang sudah merasa memiliki kekuatan lebih, cenderung ingin menunjukkan eksistensinya. Ingin menonjolkan bahwa diri mereka punya kemampuan dan kekuatan lebih dibandingkan orang lain. “Itu naluri alamiah. Sebuah dorongan kuat yang bersifat manusiawi,” terang Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jember ini.

Dia berpendapat, banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan perguruan silat beberapa hari belakangan ini, biasanya atas dasar dendam masa lalu. Kalau terkait dengan itu, Muhib menyarankan, seyogianya pemimpin masing-masing perguruan silat harus bertanggung jawab untuk meredam anggotanya. “Kemampuan bela diri itu harus diimbangi dengan kemampuan kontrol diri yang baik. Untuk itu, para pelatih tiap organisasi silat harus mampu mentransfer hal itu kepada anggotanya,” tuturnya.

Menurut pria kelahiran Banyuwangi ini, biasanya orang yang melakukan tindakan kekerasan, kontrol dirinya masih lemah. Ini bisa dilihat dari beberapa kasus. Para pelaku yang terlibat kebanyakan adalah remaja atau masih berusia muda. “Celakanya, itu dilakukan dengan cara menggunakan ilmu bela diri. Seolah ingin menunjukkan, ini loh saya mampu dan saya bisa,” katanya.

Karena tidak semua remaja memiliki kontrol diri yang baik, Muhib menegaskan, maka hal itu perlu menjadi pertimbangan pelatih organisasi silat agar mendahulukan kontrol diri sebelum menerima mereka sebagai murid atau anggota. “Jadi, pilihlah mereka yang memang mampu mengontrol diri dengan baik. Kalau tidak, mending ndak usah,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejatinya, banyak sisi positif ketika seorang anak belajar bela diri. Selain menyehatkan, ketika berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka juga bisa menjadi atlet profesional. Sayangnya, belakangan ini, akibat ulah oknum anggota perguruan silat, nama baik organisasi seni bela diri tersebut tercoreng. Oleh karena itu, para pelatih diminta lebih selektif saat melakukan rekrutmen calon anggota.

Alip R Insani, warga Kecamatan Tempurejo, mengaku pernah mengikuti latihan pencak silat semasa duduk di bangku SMA pada 2012 lalu. Keinginannya menjadi atlet kala itu sangat besar. Bahkan, dia harus berlatih lebih keras dari biasanya hingga siang dan malam. “Alhamdulillah, pernah menjuarai kompetisi di Jember dan bisa mewakili Jember dalam ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional di Surabaya pada 2013 lalu,” katanya.

Pemuda yang kini berusia 24 tahun ini menuturkan, meski saat itu dia gagal meraih gelar di tingkat provinsi, namun dia sudah bersyukur karena bisa mewakili Jember di kompetisi tersebut. “Soalnya, cita-cita saya menjadi atlet sudah terwakili dengan mengikuti kompetisi itu,” ucapnya.

Dia juga menyayangkan adanya oknum anggota perguruan silat yang menyalahgunakan kemampuannya dengan berlagak sok jagoan. Bahkan, sampai membikin keributan hingga ditahan kepolisian. Padahal, kata dia, jika potensi pesilat itu dipupuk dengan baik, maka Jember bisa menghasilkan banyak atlet bela diri. Apalagi, di Kota Suwar-Suwir ini cukup banyak organisasi pencak silat yang eksistensinya tidak diragukan lagi.

Menanggapi hal itu, Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah IAIN Jember Muhammad Muhib Alwi MA menilai, munculnya sikap arogan dari oknum pesilat itu lebih karena faktor psikologis. Biasanya, orang yang sudah merasa memiliki kekuatan lebih, cenderung ingin menunjukkan eksistensinya. Ingin menonjolkan bahwa diri mereka punya kemampuan dan kekuatan lebih dibandingkan orang lain. “Itu naluri alamiah. Sebuah dorongan kuat yang bersifat manusiawi,” terang Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jember ini.

Dia berpendapat, banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan perguruan silat beberapa hari belakangan ini, biasanya atas dasar dendam masa lalu. Kalau terkait dengan itu, Muhib menyarankan, seyogianya pemimpin masing-masing perguruan silat harus bertanggung jawab untuk meredam anggotanya. “Kemampuan bela diri itu harus diimbangi dengan kemampuan kontrol diri yang baik. Untuk itu, para pelatih tiap organisasi silat harus mampu mentransfer hal itu kepada anggotanya,” tuturnya.

Menurut pria kelahiran Banyuwangi ini, biasanya orang yang melakukan tindakan kekerasan, kontrol dirinya masih lemah. Ini bisa dilihat dari beberapa kasus. Para pelaku yang terlibat kebanyakan adalah remaja atau masih berusia muda. “Celakanya, itu dilakukan dengan cara menggunakan ilmu bela diri. Seolah ingin menunjukkan, ini loh saya mampu dan saya bisa,” katanya.

Karena tidak semua remaja memiliki kontrol diri yang baik, Muhib menegaskan, maka hal itu perlu menjadi pertimbangan pelatih organisasi silat agar mendahulukan kontrol diri sebelum menerima mereka sebagai murid atau anggota. “Jadi, pilihlah mereka yang memang mampu mengontrol diri dengan baik. Kalau tidak, mending ndak usah,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejatinya, banyak sisi positif ketika seorang anak belajar bela diri. Selain menyehatkan, ketika berlatih dengan sungguh-sungguh, mereka juga bisa menjadi atlet profesional. Sayangnya, belakangan ini, akibat ulah oknum anggota perguruan silat, nama baik organisasi seni bela diri tersebut tercoreng. Oleh karena itu, para pelatih diminta lebih selektif saat melakukan rekrutmen calon anggota.

Alip R Insani, warga Kecamatan Tempurejo, mengaku pernah mengikuti latihan pencak silat semasa duduk di bangku SMA pada 2012 lalu. Keinginannya menjadi atlet kala itu sangat besar. Bahkan, dia harus berlatih lebih keras dari biasanya hingga siang dan malam. “Alhamdulillah, pernah menjuarai kompetisi di Jember dan bisa mewakili Jember dalam ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional di Surabaya pada 2013 lalu,” katanya.

Pemuda yang kini berusia 24 tahun ini menuturkan, meski saat itu dia gagal meraih gelar di tingkat provinsi, namun dia sudah bersyukur karena bisa mewakili Jember di kompetisi tersebut. “Soalnya, cita-cita saya menjadi atlet sudah terwakili dengan mengikuti kompetisi itu,” ucapnya.

Dia juga menyayangkan adanya oknum anggota perguruan silat yang menyalahgunakan kemampuannya dengan berlagak sok jagoan. Bahkan, sampai membikin keributan hingga ditahan kepolisian. Padahal, kata dia, jika potensi pesilat itu dipupuk dengan baik, maka Jember bisa menghasilkan banyak atlet bela diri. Apalagi, di Kota Suwar-Suwir ini cukup banyak organisasi pencak silat yang eksistensinya tidak diragukan lagi.

Menanggapi hal itu, Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Dakwah IAIN Jember Muhammad Muhib Alwi MA menilai, munculnya sikap arogan dari oknum pesilat itu lebih karena faktor psikologis. Biasanya, orang yang sudah merasa memiliki kekuatan lebih, cenderung ingin menunjukkan eksistensinya. Ingin menonjolkan bahwa diri mereka punya kemampuan dan kekuatan lebih dibandingkan orang lain. “Itu naluri alamiah. Sebuah dorongan kuat yang bersifat manusiawi,” terang Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jember ini.

Dia berpendapat, banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan perguruan silat beberapa hari belakangan ini, biasanya atas dasar dendam masa lalu. Kalau terkait dengan itu, Muhib menyarankan, seyogianya pemimpin masing-masing perguruan silat harus bertanggung jawab untuk meredam anggotanya. “Kemampuan bela diri itu harus diimbangi dengan kemampuan kontrol diri yang baik. Untuk itu, para pelatih tiap organisasi silat harus mampu mentransfer hal itu kepada anggotanya,” tuturnya.

Menurut pria kelahiran Banyuwangi ini, biasanya orang yang melakukan tindakan kekerasan, kontrol dirinya masih lemah. Ini bisa dilihat dari beberapa kasus. Para pelaku yang terlibat kebanyakan adalah remaja atau masih berusia muda. “Celakanya, itu dilakukan dengan cara menggunakan ilmu bela diri. Seolah ingin menunjukkan, ini loh saya mampu dan saya bisa,” katanya.

Karena tidak semua remaja memiliki kontrol diri yang baik, Muhib menegaskan, maka hal itu perlu menjadi pertimbangan pelatih organisasi silat agar mendahulukan kontrol diri sebelum menerima mereka sebagai murid atau anggota. “Jadi, pilihlah mereka yang memang mampu mengontrol diri dengan baik. Kalau tidak, mending ndak usah,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca