Mobile_AP_Rectangle 1
Saat ini moderasi berfikih menjadi model pengamalan Islam yang paling diidealkan oleh banyak orang disamping moderasi beraqidah. Moderasi berfikih merupakan bentuk pengamalan hukum Islam setelah dilakukan upaya penyelarasan antara realitas dengan teks-teks/ nash fikih, harmoni antara konservatisme berfikih dengan liberasi berfikih. Model ini diyakini akan melahirkan bentuk pengamalan hukum Islam yang fleksibel, mudah dan akan melahirkan sikap keterbukaan (inklusifisme) dan toleran tanpa harus kehilangan validitasnya dan legalitasnya dalam ranah nash syar’i .
Walaupun demikian, model pengamalan hukum Islam ini bukan hal yang mudah dilakukan semudah membalikkan telapak tangan karena meniscayakan adanya perubahan banyak hal, termasuk, 1) perubahan pola pikir dan paradigma, 2) adanya pengetahuan yang memadahi tentang landasan dan metodologi hukum Islam, 3) pengetahuan tentang cara kontekstualisasi fikih sekaligus tuntutan realitas. Tentu perubahan unsur-unsur ini sangat sulit dilakukan bagi mereka yang pemahaman fikih tekstual-konservatifnya telah mengakar, bahkan tertutup.
Sejumlah pemikiran dan ragam kegiatan moderasi berfikih telah bermunculan. Begitu juga dengan tawaran paradigma antrophosentis untuk mengganti paradigma theosentris. Namun moderasi berfikih belum bisa terimplementasikan secara sempurna, terutama bagi kalangan tekstualis arus bawah. Fenomena pengamalan fikih secara rigit justru semakin menguat di saat pandemi Covid-19 berlangsung. Bahkan, argumentasi teologis juga ramai ikut mem-backup keengganan berfikih secara moderat menghadapi pandemi. Lahirnya fatwa hukum rukshoh untuk salat tarawih dan shalat jama’ah secara berjarak justru mendapat perlawanan walaupun ada jaminan tentang kesesuainnya dengan tuntutan nash dan kehendak kehendak Tuhan. Akibatnya, ekslusifitas dan riginitas fiqih selalu tampil bahkan dijadikan sebagai “propaganda” walaupun dalam kondisi yang mengharuskan terimplentasikannya fikih moderat.
Mobile_AP_Rectangle 2
Walaupun fenomena pengamalan riginitas fikih mengalami penyusutan pada paruh kedua setelah terkena langsung dampak langsung virus-19, namun ini tidak dibarengi dengan adanya kesadaran dan apalagi perubahan paradigma berfikih. Mereka tetap menganggap bahwa pengetahuan dan pengamalan fikih yang legitimed adalah norma fikih yang temaktub dalam kitab (law in books) hasil derivasi dari nash. Merekapun tetap konsis melindungi paradigma fikih konservatif dari kritik dan falsifikasi pasca pandemi- walaupun dalam kenyataanya paradigma konservatisme telah mengalami problem dan anomali-anomali ketika diperhadapkan dengan Covid-19.
- Advertisement -
Saat ini moderasi berfikih menjadi model pengamalan Islam yang paling diidealkan oleh banyak orang disamping moderasi beraqidah. Moderasi berfikih merupakan bentuk pengamalan hukum Islam setelah dilakukan upaya penyelarasan antara realitas dengan teks-teks/ nash fikih, harmoni antara konservatisme berfikih dengan liberasi berfikih. Model ini diyakini akan melahirkan bentuk pengamalan hukum Islam yang fleksibel, mudah dan akan melahirkan sikap keterbukaan (inklusifisme) dan toleran tanpa harus kehilangan validitasnya dan legalitasnya dalam ranah nash syar’i .
Walaupun demikian, model pengamalan hukum Islam ini bukan hal yang mudah dilakukan semudah membalikkan telapak tangan karena meniscayakan adanya perubahan banyak hal, termasuk, 1) perubahan pola pikir dan paradigma, 2) adanya pengetahuan yang memadahi tentang landasan dan metodologi hukum Islam, 3) pengetahuan tentang cara kontekstualisasi fikih sekaligus tuntutan realitas. Tentu perubahan unsur-unsur ini sangat sulit dilakukan bagi mereka yang pemahaman fikih tekstual-konservatifnya telah mengakar, bahkan tertutup.
Sejumlah pemikiran dan ragam kegiatan moderasi berfikih telah bermunculan. Begitu juga dengan tawaran paradigma antrophosentis untuk mengganti paradigma theosentris. Namun moderasi berfikih belum bisa terimplementasikan secara sempurna, terutama bagi kalangan tekstualis arus bawah. Fenomena pengamalan fikih secara rigit justru semakin menguat di saat pandemi Covid-19 berlangsung. Bahkan, argumentasi teologis juga ramai ikut mem-backup keengganan berfikih secara moderat menghadapi pandemi. Lahirnya fatwa hukum rukshoh untuk salat tarawih dan shalat jama’ah secara berjarak justru mendapat perlawanan walaupun ada jaminan tentang kesesuainnya dengan tuntutan nash dan kehendak kehendak Tuhan. Akibatnya, ekslusifitas dan riginitas fiqih selalu tampil bahkan dijadikan sebagai “propaganda” walaupun dalam kondisi yang mengharuskan terimplentasikannya fikih moderat.
Walaupun fenomena pengamalan riginitas fikih mengalami penyusutan pada paruh kedua setelah terkena langsung dampak langsung virus-19, namun ini tidak dibarengi dengan adanya kesadaran dan apalagi perubahan paradigma berfikih. Mereka tetap menganggap bahwa pengetahuan dan pengamalan fikih yang legitimed adalah norma fikih yang temaktub dalam kitab (law in books) hasil derivasi dari nash. Merekapun tetap konsis melindungi paradigma fikih konservatif dari kritik dan falsifikasi pasca pandemi- walaupun dalam kenyataanya paradigma konservatisme telah mengalami problem dan anomali-anomali ketika diperhadapkan dengan Covid-19.
Saat ini moderasi berfikih menjadi model pengamalan Islam yang paling diidealkan oleh banyak orang disamping moderasi beraqidah. Moderasi berfikih merupakan bentuk pengamalan hukum Islam setelah dilakukan upaya penyelarasan antara realitas dengan teks-teks/ nash fikih, harmoni antara konservatisme berfikih dengan liberasi berfikih. Model ini diyakini akan melahirkan bentuk pengamalan hukum Islam yang fleksibel, mudah dan akan melahirkan sikap keterbukaan (inklusifisme) dan toleran tanpa harus kehilangan validitasnya dan legalitasnya dalam ranah nash syar’i .
Walaupun demikian, model pengamalan hukum Islam ini bukan hal yang mudah dilakukan semudah membalikkan telapak tangan karena meniscayakan adanya perubahan banyak hal, termasuk, 1) perubahan pola pikir dan paradigma, 2) adanya pengetahuan yang memadahi tentang landasan dan metodologi hukum Islam, 3) pengetahuan tentang cara kontekstualisasi fikih sekaligus tuntutan realitas. Tentu perubahan unsur-unsur ini sangat sulit dilakukan bagi mereka yang pemahaman fikih tekstual-konservatifnya telah mengakar, bahkan tertutup.
Sejumlah pemikiran dan ragam kegiatan moderasi berfikih telah bermunculan. Begitu juga dengan tawaran paradigma antrophosentis untuk mengganti paradigma theosentris. Namun moderasi berfikih belum bisa terimplementasikan secara sempurna, terutama bagi kalangan tekstualis arus bawah. Fenomena pengamalan fikih secara rigit justru semakin menguat di saat pandemi Covid-19 berlangsung. Bahkan, argumentasi teologis juga ramai ikut mem-backup keengganan berfikih secara moderat menghadapi pandemi. Lahirnya fatwa hukum rukshoh untuk salat tarawih dan shalat jama’ah secara berjarak justru mendapat perlawanan walaupun ada jaminan tentang kesesuainnya dengan tuntutan nash dan kehendak kehendak Tuhan. Akibatnya, ekslusifitas dan riginitas fiqih selalu tampil bahkan dijadikan sebagai “propaganda” walaupun dalam kondisi yang mengharuskan terimplentasikannya fikih moderat.
Walaupun fenomena pengamalan riginitas fikih mengalami penyusutan pada paruh kedua setelah terkena langsung dampak langsung virus-19, namun ini tidak dibarengi dengan adanya kesadaran dan apalagi perubahan paradigma berfikih. Mereka tetap menganggap bahwa pengetahuan dan pengamalan fikih yang legitimed adalah norma fikih yang temaktub dalam kitab (law in books) hasil derivasi dari nash. Merekapun tetap konsis melindungi paradigma fikih konservatif dari kritik dan falsifikasi pasca pandemi- walaupun dalam kenyataanya paradigma konservatisme telah mengalami problem dan anomali-anomali ketika diperhadapkan dengan Covid-19.