JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pandemi Covid-19 yang kita hadapi genap setahun sejak ditetapkan sebagai pandemi global. Sebagai dampak dari pandemi ini, sektor pendidikan tidak kalah merana, di samping masalah kesehatan dan ekonomi. Takdir akademis harus kita terima, putusnya rantai pembelajaran dan pendidikan akibat pandemi ini telah mengorbankan generasi satu angkatan. Anak-anak di tingkat prasekolah, siswa kelas 6 SD, 9 SMP, 12 SMA/MA/SMK dan mahasiswa semester akhir harus rela melewatkan masa akhir pembelajaran tanpa tatap muka. Debat publik pun menjadi sajian media sebagai menu konsumsi masyarakat akan dampak dan solusinya. Pakar kesehatan dan epidemiolog beradu argumentasi dengan pakar ekonomi. Satu pihak menghendaki kebijakan di bidang kesehatan sebagai fokus utama. Sementara pihak yang lain tidak ingin pembatasan sosial semakin menjadikan masyarakat dalam kondisi darurat ekonomi.
Dalam pergulatan debat kebijakan antara kesehatan dan ekonomi, narasi akademis kemudian muncul. Salah satu dampak pandemi yang dikhawatirkan jika pembelajaran di rumah ini berlangsung dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan adanya learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis. Demikian diungkapkan pengamat pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Budi Santoso Wignyosukarto. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam bentuk tatap muka virtual, pembelajaran daring dan penugasan mandiri sudah tidak menarik lagi bagi siswa, penuh kejenuhan. Setidaknya telah terjadi penurunan tensi semangat belajar siswa selama pandemi. Hal ini dibarengi dengan perubahan mindset belajar daring menjadi aktivitas belajar seperlunya. Sebabnya antara lain: motivasi siswa yang rendah, perhatian orang tua kurang, sulitnya membangun komunikasi antara guru dengan siswa dan orang tua serta kompleksitas materi pelajarannya.
Jika target vaksinasi guru dan tenaga kependidikan tuntas sebagai dasar memulai tatap muka, maka tantangan selanjutnya adalah mengembalikan semangat belajar siswa. Hal ini mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah, orang tua dan para pejuang pendidikan di antara pahlawan kemanusiaan di bidang kesehatan. Tugas pembelajaran daring yang telah dijalankan para guru sangat jauh dari kata ideal jika tidak mau dikatakan penuh “kamuflase” dalam prosesnya. Mulai dari persentase kehadiran siswa, penguasaan materi, pemenuhan bahan ajar, penilaian dan penugasan (aras ini berkaitan dengan aspek kejujuran dan validitas hasilnya).
Gagasan pembelajaran abad 21 yang mencakup keterampilan belajar 4C (critical thinking, creativity, collaboration, communication) untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar peserta didik sementara masih setengah nyata. Jangankan untuk mencapai hasil belajar pada aspek afektif dan psikomotorik berupa keterampilan 4C tadi, untuk memacu kemampuan kognitif siswa saja banyak kendala. Tugas dan peran guru hanya menjadi pengajar, sedikit kesulitan untuk mencapai keseimbangan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk keteladanan sikap dan keilmuan. Peran sebagai pendidik hanya tersampaikan lewat tulisan dan lisan. Tugas mendidik sekarang bergeser sepenuhnya ke orang tua yang berperan ganda sekaligus sebagai pengajar. Kehadiran siswa dan guru sangat sulit dipantau secara penuh dalam kegiatan belajar daring yang dipilih baik melalui e-learning maupun aplikasi pembelajaran online lainnya. Pembelajaran daring yang kompleks seakan berjalan “apa adanya,” tanpa kegiatan kesiswaan lainnya.
Tanyakan misal pada guru Kimia, Matematika, Ekonomi, Akuntansi di SMA/SMK/MA. Bagaimana mengajarkan materi atau rumus Aljabar, atau Aritmatika, bagaimana menjelaskan alur proses perubahan kimiawi dengan beragam bahan, alat dan reaksinya, bagaimana guru ekonomi menerjemahkan pengaruh transaksi ekonomi dalam pelajaran akuntansi. Untuk pendidikan tingkat dasar, jangan berharap sepenuhnya pada siswa karena partisipasi nyata belajar daring bisa jadi “dibantu” orang tuanya. Bagi sekolah/madrasah dengan keterjangkauan sarana pembelajaran daring yang memadai mungkin proses dan hasilnya dapat dicapai sesuai rencana, meski ada kendala. Kekhawatiran semakin tingginya problematika pembelajaran daring selama pandemi sudah merebak menjadi fakta di sekolah pinggiran. Bahkan orang tua ada yang memikirkan alternatif pendidikan anaknya dengan memilih pondok pesantren jika sampai tahun pelajaran baru, Juli 2021 nanti belum juga ada pembelajaran tatap muka.
Beragam perdebatan yang muncul terkait pandemi dan dampaknya memang wajar, sebagian mengedepankan pentingnya kesehatan, sebagian pihak mempermasalahkan dampak psikososial, defisit moral dan akademik berupa kesenjangan capaian hasil belajar siswa. Pihak lain memakai argumen bahwa ekonomi keluarga dan masyarakat harus diselamatkan.
Seorang guru berseru karena ketidakhadiran siswa saat KBM daring, “Anak-anak ini tugasnya mana, hampir tiap waktu saya mereka offline, alasan tidak ada sinyal.” Apakah anak tersebut salah? Tidak juga. Faktanya memang demikian.
Guru lain melihat dengan cara yang berbeda. Baginya, anak-anak memang memiliki tanggung jawab akademik, namun terkadang terbentur dengan kondisi sosial ekonomi di keluarganya.
Seorang siswa pernah bertanya, “menurut bapak, bagaimana kalau ada guru “mengancam” kami, jika tidak menyelesaikan tugas yang diberikan?”. Bagi penulis agak sulit menjawab pertanyaan ini, apakah guru itu salah? Tidak juga. Faktanya seperti itu.
Anak-anak, yang ketika menjalani aktivitas belajar normal, komitmennya dibangun bersama orang tuanya, bahwa akhlaknya harus dijaga, kehadirannya terpantau, hasil nilainya mesti tuntas. Lalu, setelah itu mereka tenggelam dalam kedalaman fantasi edukasi saat pandemi, mengekspresikan kecerdasan dan “kenakalan”, di luar akademis. Salah? Tidak. Faktanya memang begitu.
Lalu, mana yang benar dari pandangan-pandangan itu? Bergantung pada ego dan isi kepala kita memaknainya. Kebenaran tidak terletak pada kondisi-kondisi tersebut, tetapi pada pikiran dan preferensi ego pemaknanya.
Itulah dinamika, segalanya mendasarkan pada logika berpikir masing-masing yang tidak ada ujung dan batasnya untuk dibahas. Yang terpenting bahwa para guru dan orang tua harus berjuang mengembalikan semangat belajar anak-anak pasca pandemi. Guru selanjutnya harus bersiap-siap menjadi garda terdepan dengan tugas ganda yakni menerapkan protokol kesehatan diri, peserta didik dan lingkungan belajarnya sekaligus penyelamat generasi bangsa untuk memperjuangkan keberhasilan pendidikan.
*) Penulis adalah Kepala MTs Negeri 8 Jember