JEMBER, RADARJEMBER.ID- Musim panen padi sudah di depan mata. Para petani tentu sudah tidak sabar menantikan buah keringat mereka yang telah dikucurkan selama sekitar 4 bulan lamanya. Dengan harapan, semua ongkos tanam sampai perawatan dapat diganti untung ketika mereka telah menjual hasil panen gabah atau padi mereka.
Harapan itu sejalan dengan keputusan pemerintah melalui Bapanas RI yang baru-baru ini telah merilis ketentuan harga jual padi dari petani yang dibanderol dengan harga minimal Rp 5 ribu per kilogramnya. Keputusan terbaru itu sekaligus mencabut keputusan Bapanas RI sebelumnya, tentang batas atas dan batas bawah, fleksibilitas harga gabah yang masih kisaran di bawah Rp 5 ribu per kilogram (kilogram).
Surat Keputusan tersebut secara umum mengatur harga pengadaan Bulog dalam rangka pengisian cadangan beras pemerintah (CBP), di mana untuk gabah kering panen (GKP) di petani Rp 5.000/kilogram, gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp 6.200/kilogram, GKG di Gudang Perum Bulog Rp 6.300/kilogram, beras di Gudang Perum Bulog Rp 9.950/kilogram.
Ini berarti harga gabah ada kenaikan. Sebelumnya, merujuk Permendag Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah atau beras, HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp 4.200 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp 4.250 per kilogram, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 5.250 per kilogram, dan beras medium di gudang Bulog Rp 8.300 per kilogram.
Ketua Asosiasi Petani Pangan Indonesia (APPI) Jawa Timur Jumantoro menyebut, sejak dicabutnya pembelian harga teratas gabah itu, nilai jual padi dari petani langsung merangkak naik. Ketika ada kebijakan terbaru pemerintah hari ini yang menentukan batas minimal Rp 5 ribu/kilogram, dinilainya boleh disambut baik.
Mengingat, dibanding ketentuan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah, sebelumnya hanya berkisar Rp 4.200/kilogram. Hari ini di lapangan disebutnya sudah kisaran di atas Rp 5.000/kilogram. “Alhamdulillah, rentang harga di atas Rp 5.000 per kilogram ini cukup bagus,” urainya.
Jumantoro menilai, ketentuan batas bawah HPP GKP sebesar Rp 5 ribu/kilogram, maka harga batas atas HPP GKP ditentukan oleh pasar. Jika harga beras dianggap terlalu tinggi dan menyebabkan inflasi, maka hal itu dinilainya tugas Bulog yang harus melakukan operasi pasar, melalui sistem yang dimiliki Bulog. “Jadi, petani tidak perlu takut untuk membawa padinya ke penggilingan, karena masih ada penggilingan yang memiliki nurani,” jelasnya.
Meski begitu, Jumantoro tetap mengajak petani untuk sama-sama mengawal kebijakan tersebut. Sebab, potensi monopoli harga dan mekanisme pasar yang susah dikendalikan bisa turut memengaruhi stabilitas harga gabah petani sendiri. “Pemerintah tetap harus mengawal penuh kebijakan ini agar tidak ada monopoli. Minimal petani tetap memperoleh Rp 5 ribu per kilogram, dan masyarakat selaku konsumen tidak terbebani,” harapnya.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jember Sucipto mengatakan, sejak awal, ia sempat menyayangkan adanya kebijakan pemerintah yang menentukan harga batas atas dan batas bawah. Keputusan itu dianggapnya kurang tegas dan terkesan membuat petani terombang-ambing. “Namanya ketentuan harga itu, ya sudah, didok jadi satu. Tidak perlu lagi ada harga atas atau harga bawah,” jelasnya.
Menurut Sucipto, jauh sebelum Bapanas RI memberikan keputusan HPP gabah tersebut, sebenarnya beberapa asosiasi petani telah menyodorkan usulan harga ke pemerintah yang berlaku secara nasional. KTNA sendiri menilai, berdasarkan analisis usaha petani, rentang harga Rp 4.300/kilogram itu tidak cukup jika untuk sekadar untuk menutupi biaya produksi.
Karena itu, Sucipto berpandangan, harga yang wajar memang sudah sepatutnya di atas Rp 5.000/kilogram atau lebih jauh di atasnya. “Menurut kami gabah dari petani itu dibeli Rp 5.300-5.400 per kilogram. Baru petani mendapatkan harga yang layak. Insyaallah itu sudah cukup mewakili petani,” jelas dia.
Meski begitu, Sucipto mengakui memang perbedaan harga itu bergantung pada kualitas gabah. Antara beras medium atau premium jelas berbeda. Ketika memasuki masa panen raya yang sering kali membuat harga gabah petani tidak stabil, sudah seperti fenomena yang rutin terjadi setiap kali masa panen.
Pihaknya mengharapkan Bulog maupun pemerintah daerah juga mengintervensi kebijakan tersebut untuk memastikan stabilitas harga gabah petani. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Baik untuk petani, pengusaha penggilingan gabah, maupun masyarakat selaku konsumen. “Yang jelas, kami terus mengawal kebijakan ini, supaya petani itu tidak jatuh, karena ini sudah mau panen raya,” tegasnya.
Sekretaris Komisi B DPRD Jember David Handoko Seto menilai, selama ini para petani telah banyak dirundung masalah atas kebijakan pertanian yang jarang memihak mereka. Mulai soal harga jual pascapanen yang ugal-ugalan, sampai dengan persoalan pupuk. “Faktanya yang sering terjadi, harga gabah itu mesti rusak ketika memasuki panen. Padahal harga beras tetap tinggi. Ini yang masih perlu dikawal,” katanya.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah daerah agar mewaspadai adanya celah oknum-oknum tertentu untuk bersiasat atau melakukan monopoli harga di balik keputusan Bapanas tersebut. “Pemkab Jember jangan diam saja. Perlu menjalin kerja sama dengan Bulog, supaya harga padi petani benar-benar memenuhi harapan,” pintanya. (c2/nur)