JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejak Indonesia merdeka, Pendidikan Agama termasuk salah satu topik yang sering memicu perdebatan. Perdebatan tentang Pendidikan Agama telah terjadi di sepanjang sejarah orde lama, orde baru dan masa reformasi. Perdebatan tersebut terjadi di kalangan banyak tokoh, bukan hanya tokoh agama, tetapi juga tokoh eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif. Karena itu, menjadi penting untuk dikaji apa sebenarnya misi utama Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Indonesia.
Misi Utama PAI. Dalam sejarah perundang-undangan tentang pengaturan sisdiknas, PAI ternyata menjadi salah satu akar masalah munculnya perdebatan. Kenapa PAI menjadi fokus perdebatan? Karena sepanjang deteksi, sedikitnya ada tiga misi utama PAI. Pertama, ingin memastikan bahwa tidak ada satuan pendidikan (jenis, bentuk dan jenjang) di Indonesia yang tidak menyajikan PAI. Kedua, ingin memastikan bahwa pada saatnya akan muncul komunitas baru yaitu komunitas PAI. Dan ketiga, ingin memastikan bahwa akan lahir pemimpin baru, yakni pemimpin yang peduli terhadap eksistensi dan keberlanjutan PAI. Secara lebih terperinci bisa dinarasikan sebagai berikut.
Misi pertama, ingin memastikan bahwa tidak ada jenis, bentuk dan jenjang pendidikan yang tidak menyajikan Pendidikan Agama Islam. Secara historis, dalam sejarah sistem pendidikan nasional, Pendidikan Agama Islam pernah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1950, UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 (atau UU Nomor 12 Tahun 1954) tentang Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Pendidikan Agama Islam adalah Pelajaran Agama Islam, bukan Pendidikan Agama Islam. Penyajian Pendidikan Agama Islam bersifat sukarela, sehingga orang tua berhak menentukan apakah anaknya diizinkan mengikuti Pendidikan Agama Islam ataukah tidak. Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan Agama Islam, bukan Pelajaran Agama Islam sebagaimana pengaturan dalam undang-undang sebelumnya. Selain itu, Pendidikan Agama Islam dinyatakan sebagai kurikulum wajib di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan. Meskipun kewajiban penyajian Pendidikan Agama Islam masih menempati grade kedua (pertama, Pendidikan Pancasila, kedua Pendidikan Agama, dan ketiga Pendidikan Kewarganegaraan), tetapi dalam UU ini telah menunjukkan perkembangan positif sebagai ikhtiar menjadikan generasi bangsa lebih religius.
Selanjutnya, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Agama Islam dinyatakan sebagai kurikulum wajib di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan. Pendidikan Agama Islam diposisikan pada grade pertama (pertama, Pendidikan Agama, kedua Pendidikan Kewarganegaraan, dan ketiga Bahasa). Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan (sekarang PP Nomor 57 Tahun 2021), posisi dan eksistensi Pendidikan Agama Islam didesain semakin mantap dan strategis sebagai ikhtiar membentuk karakter generasi bangsa yang lebih religius.
Misi kedua, bisa ditelusuri pada profil lulusan sejak adanya kebijakan melalui SKB Tiga Menteri Tahun 1975 (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri), karena sejak itulah Pendidikan Agama Islam disajikan sebagai kurikulum wajib dan meluluskan tentu saja sampai sekarang telah meluluskan banyak Sarjana, Magister dan Doktor dalam berbagai bidang, seperti lulusan program studi ilmu agama, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, ilmu pertahanan, ilmu pertanian, ilmu kedokteran, ilmu matematika, dan sebagainya. Semua sarjana, magister, dan doktor yang lulus setelah adanya kebijakan SKB Tiga Manteri tersebut akhirnya mereka mengabdi sebagai birokrat, praktisi, akademisi, dan profesi lainnya dengan jiwa agama dan pemahaman keagamaan yang lebih mumpuni. Potensi keahlian yang disinari nilai-nilai agama dan Pendidikan Agama Islam yang benar akan sangat menguntungkan, karena bisa membantu mengikis dikotomi ilmu yang selama ini masih mewarnai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia.
Misi ketiga, akan munculnya kepemimpinan umat yang peduli terhadap arti penting Pendidikan Agama Islam. Karena jika Pendidikan Agama Islam eksis, menunjukkan keberhasilan Guru Pendidikan Agama Islam atau mereka yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam. Jika perjuangan ini berhasil, dilakukan guru Pendidikan Agama Islam atau Guru Lain yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam tentu akan diberikan kemuliaan, karena kepedulian kita terhadap misi utama Pendidikan Agama Islam jelas memiliki mata rantai dengan perjuangan dan kepemimpinan guru pendahulu kita, para wali, para sahabat, dan sanadnya bersambung pada perjuangan Rasulullah, Muhammad SAW. Karena itu, misi yang diperjuangkan guru Pendidikan Agama Islam dan guru lain yang peduli terhadap eksistensi Pendidikan Agama Islam tidak akan pernah sia-sia, karena memiliki mata rantai dan sanad perjuangan para pendahulu kita sampai pada yang diperjuangkan Nabi Muhammad SAW. Dan, benar jika dinyatakan, guru Pendidikan Agama Islam atau guru pada umumnya yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam adalah amanah (QS. An-Nisa’, 4: 58 dan QS. Al-Ahzab, 33: 72). Meminjam istilah Al-Mawardi (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, I: 3) bahwa guru Pendidikan Agama Islam atau guru yang peduli terhadap eksistensi Pendidikan Agama Islam adalah penerus tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.
Yang perlu dipahami, bahwa Pendidikan Agama Islam tidak berada dalam konteks vakum, melainkan dalam konteks yang berubah, karena perubahan zaman, perubahan kebijakan dan perubahan harapan masyarakat, sehingga Pendidikan Agama Islam harus lebih terbuka dan menginspirasi untuk melakukan exercise. Berbeda antara Pendidikan Agama Islam zaman Orde Lama dan Orde Baru, apalagi zaman reformasi. Kebijakan tentang Pendidikan Agama Islam berbeda antara zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, jika di era Orde Lama Pendidikan Agama Islam bersifat sukarela, di era Orde Baru untuk pertama kalinya Pendidikan Agama Islam diwajibkan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan setelah Pendidikan Pancasila, dan di era reformasi eksistensi Pendidikan Agama Islam semakin menguat dan diwajibkan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan.
Yang perlu dipahami lebih lanjut, ketika jenis, bentuk dan jenjang pendidikan terus tumbuh dan berkembang di Indonesia, maka dengan sendirinya penyajian Pendidikan Agama Islam secara otomatis akan terus bertumbuh dan berkembang, tumbuh karena banyaknya satuan pendidikan baru dan berkembang karena memang satuan pendidikan yang ada terus eksis dan berkembang sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Ini sekaligus menegaskan bahwa pendidikan adalah institusi social, kemajuan Pendidikan bisa menjadi potret kemajuan peradaban masyarakat. Demikian pula sebaliknya, kemajuan peradaban masyarakat sering memantul dalam kemajuan satuan pendidikan, sehingga Pendidikan jadi potret masyarakatnya atau sebaliknya, masyarakat menjadi potret kemajuan pendidikannya.
Ini menjadi tantangan baru bagi guru Pendidikan Agama Islam. Mereka tidak cukup hanya memenuhi syarat kualifikasi akademik, sehat jasmani rohani dan memiliki 4 kompetensi (kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial), karena guru Pendidikan Agama Islam memperjuangkan misi khusus, dan misi khusus itu hanya akan efektif jika yang bersangkutan memiliki kompetensi khusus yang memadukan kekuatan ilmu, kekuatan intelektual, kekuatan spiritual, kekuatan sosial dan kekuatan fisik (baca QS. Al-Qashas, 28: 26 dan QS. Yusuf, 12: 54). Karena itu, pilar kekuatan tersebut harus selalu diasah dan di-update. Tanpa itu, maka guru Pendidikan Agama Islam akan kehilangan peran strategisnya (bersambung).
*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Direktur Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur dan Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember.