28.5 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Pendidikan Mu’adalah

Mobile_AP_Rectangle 1

SUDAH sangat banyak buku dan literatur yang ditulis  oleh para ahli dan peneliti yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia telah melintasi sejarah yang sangat panjang, sampai ke era Wali Sanga, bahkan Prof Mastuhu menyimpulkan bahwa pesantren di Nusantara sudah ada sejak abad ke-13. Akhir-akhir ini, semakin banyak penulis yang menyatakan bahwa pesantren bukan hanya berperan di bidang pendidikan dan dakwah. Pesantren juga memainkan peran strategis perjuangan mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan yang mau diambil lagi oleh penjajah. Bangsa ini semakin mengenal aksi heroik para santri Kiai Abbas Buntet dan Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Ketika Indonesia merdeka, bangsa ini telah mewarisi dua sistem pendidikan, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah umum. Yang pertama, pesantren adalah satuan pendidikan yang asli Indonesia, sedang yang kedua, sekolah umum adalah satuan pendidikan yang diintrodusir oleh pemerintah kolonial. Lembaga pendidikan sekolah umum dikelola oleh dua kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, sementara pesantren tetap berjalan sendiri.

Secara formal, negara belum menemukan rumusan yang tepat bagi pesantren dalam kebijakan-kebijakan mereka, termasuk konsekuensi kebijakan adalah pengakuan dan perlakuan pesantren, pengalokasian anggaran negara bagi pembinaan pesantren sampai akhirnya pesantren berjalan sendiri mencari pengakuan formal eksistensi kelembagaannya. Barulah pada tahun 2005 pemerintah mengakui keberadaan pesantren, pendidikan mu’adalah, dan sebagainya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, meskipun secara operasional baru clear setelah ditetapkannya PMA Nomor 13 Tahun 2014 dan PMA Nomor 18 Tahun 2014.

Mobile_AP_Rectangle 2

Pendidikan mu’adalah adalah pendidikan formal khas pesantren, karena satuan pendidikan tersebut hanya boleh dirintis dan dikembangkan di pesantren. Pendidikan formal yang khas pesantren tidak hanya pendidikan mu’adalah, tetapi juga pendidikan diniyah formal dan ma’had aly sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan dijelaskan secara operasional dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Definisi Satuan Pendidikan Mu’adalah (SPM) pada pesantren sebagaimana dalam PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah pada Pondok Pesantren adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan basis kitab kuning atas dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin secara berjenjang dan berstruktur yang dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Kementerian Agama.

Demikian halnya definisi yang termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, bahwa pendidikan mu’adalah adalah pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur (UU No. 18/2019, pasal 1 poin 5).

Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa varian SPM sejalan dengan varian pesantren sebagai satuan pendidikan, yakni SPM berbasis kitab kuning yang disebut SPM jenis salafiyah dan SPM berbasis dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin yang disebut SPM jenis mu’allimin.

Penamaan satuan pendidikan mu’adalah dapat menggunakan nama Madrasah Salafiyah, Madrasah Mju’allimin, Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamkiyah (KMI), Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI), Madrasah At-Tarbiyah al-Islamiyah (MTI) atau nama lainnya yang diusulkan oleh pesantren.

Jenjang pada SPM memiliki kesederajatan dan kewenangan yang sama dengan jenjang pendidikan formal lainnya, yakni: (1) SPM setingkat madrasah ibtidaiyah (MI), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MI dan diselenggarakan selama 6 tahun; (2) SPM setingkat madrasah tsanawiyah (MTs) yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MTs dan diselenggarakan selama 3 tahun; (3) SMP setingkat madrasah aliyah (MA), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MA dan diselenggarakan selama 3 tahun; dan (4) SPM setingkat MA dapat diselenggarakan dengan menggabungkan SPM setingkat MTs dan SPM setingkat MA selama 6 tahun secara berkesinambungan. Konsekuensinya, peserta didik hanya menerima ijazah ketika telah menyelesaikan seluruh proses pendidikan SPM setingkat MA selama 6 tahun.

SPM bukan satuan pendidikan umum (sekolah atau madrasah) ataupun program kesetaraan atau wajar dikdas pada PPS. Tidak diperkenankan adanya peserta didik pada SPM yang berstatus ganda sebagai peserta didik satuan pendidikan umum atau program kesetaraan dan wajar dikdas pada PPS.

Dalam PMA Nomor 31 Tahun 2020 paragraf 1 pasal 26 ada (3) ayat, dua ayat di antaranya dinyatakan secara terperinci bahwa pendirian pendidikan mu‘adalah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Pendirian satuan pendidikan mu‘adalah wajib memperoleh izin dari Menteri, (2) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan: (a) berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, (b) memiliki PSP, (c) didirikan di lingkungan pesantren yang dibuktikan dengan denah lokasi, (d) memiliki struktur organisasi pengelola pesantren, (e) pesantren sudah beroperasi dalam jangka waktu paling singkat tiga tahun terhitung sejak didirikan yang dibuktikan dengan surat pernyataan, (f) memiliki rencana kurikulum pendidikan mu‘adalah, (g) memiliki paling sedikit lima orang pendidik dan dua orang tenaga kependidikan, (h) memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, (i) rencana sumber pendanaan untuk sumber kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya, (j) memiliki sistem evaluasi pendidikan, (k) rencana kalender pendidikan, (l) memiliki santri mukim paling sedikit 120 orang.

Dengan semakin kuatnya payung hukum tentang pesantren dan satuan pendidikan mu’adalah, maka keberadaan satuan pendidikan mu’adalah meski sudah mulai berkembang namun perkembangannya sangat lamban. Perkembangan satuan pendidikan mu’adalah diperkirakan semakin baik sebagai implikasi dari diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Ke depan, tentu saja UU dan PMA tersebut sangat perlu diterjemahkan lebih operasional yang dipahami oleh praktisi pesantren khususnya satuan pendidikan mu’adalah, dan pemikir bahkan praktisi SPM perlu membuka diri terhadap masukan untuk peningkatan kualitas SPM. Tanpa itu, meskipun payung hukum kuat tapi SDM-nya tidak kuat, hanya akan menjadikan SPM jalan di tempat di tengah satuan pendidikan lainnya sedang berlari.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Pengasuh Pesantren Shofa Marwa dan Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

- Advertisement -

SUDAH sangat banyak buku dan literatur yang ditulis  oleh para ahli dan peneliti yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia telah melintasi sejarah yang sangat panjang, sampai ke era Wali Sanga, bahkan Prof Mastuhu menyimpulkan bahwa pesantren di Nusantara sudah ada sejak abad ke-13. Akhir-akhir ini, semakin banyak penulis yang menyatakan bahwa pesantren bukan hanya berperan di bidang pendidikan dan dakwah. Pesantren juga memainkan peran strategis perjuangan mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan yang mau diambil lagi oleh penjajah. Bangsa ini semakin mengenal aksi heroik para santri Kiai Abbas Buntet dan Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Ketika Indonesia merdeka, bangsa ini telah mewarisi dua sistem pendidikan, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah umum. Yang pertama, pesantren adalah satuan pendidikan yang asli Indonesia, sedang yang kedua, sekolah umum adalah satuan pendidikan yang diintrodusir oleh pemerintah kolonial. Lembaga pendidikan sekolah umum dikelola oleh dua kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, sementara pesantren tetap berjalan sendiri.

Secara formal, negara belum menemukan rumusan yang tepat bagi pesantren dalam kebijakan-kebijakan mereka, termasuk konsekuensi kebijakan adalah pengakuan dan perlakuan pesantren, pengalokasian anggaran negara bagi pembinaan pesantren sampai akhirnya pesantren berjalan sendiri mencari pengakuan formal eksistensi kelembagaannya. Barulah pada tahun 2005 pemerintah mengakui keberadaan pesantren, pendidikan mu’adalah, dan sebagainya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, meskipun secara operasional baru clear setelah ditetapkannya PMA Nomor 13 Tahun 2014 dan PMA Nomor 18 Tahun 2014.

Pendidikan mu’adalah adalah pendidikan formal khas pesantren, karena satuan pendidikan tersebut hanya boleh dirintis dan dikembangkan di pesantren. Pendidikan formal yang khas pesantren tidak hanya pendidikan mu’adalah, tetapi juga pendidikan diniyah formal dan ma’had aly sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan dijelaskan secara operasional dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Definisi Satuan Pendidikan Mu’adalah (SPM) pada pesantren sebagaimana dalam PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah pada Pondok Pesantren adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan basis kitab kuning atas dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin secara berjenjang dan berstruktur yang dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Kementerian Agama.

Demikian halnya definisi yang termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, bahwa pendidikan mu’adalah adalah pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur (UU No. 18/2019, pasal 1 poin 5).

Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa varian SPM sejalan dengan varian pesantren sebagai satuan pendidikan, yakni SPM berbasis kitab kuning yang disebut SPM jenis salafiyah dan SPM berbasis dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin yang disebut SPM jenis mu’allimin.

Penamaan satuan pendidikan mu’adalah dapat menggunakan nama Madrasah Salafiyah, Madrasah Mju’allimin, Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamkiyah (KMI), Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI), Madrasah At-Tarbiyah al-Islamiyah (MTI) atau nama lainnya yang diusulkan oleh pesantren.

Jenjang pada SPM memiliki kesederajatan dan kewenangan yang sama dengan jenjang pendidikan formal lainnya, yakni: (1) SPM setingkat madrasah ibtidaiyah (MI), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MI dan diselenggarakan selama 6 tahun; (2) SPM setingkat madrasah tsanawiyah (MTs) yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MTs dan diselenggarakan selama 3 tahun; (3) SMP setingkat madrasah aliyah (MA), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MA dan diselenggarakan selama 3 tahun; dan (4) SPM setingkat MA dapat diselenggarakan dengan menggabungkan SPM setingkat MTs dan SPM setingkat MA selama 6 tahun secara berkesinambungan. Konsekuensinya, peserta didik hanya menerima ijazah ketika telah menyelesaikan seluruh proses pendidikan SPM setingkat MA selama 6 tahun.

SPM bukan satuan pendidikan umum (sekolah atau madrasah) ataupun program kesetaraan atau wajar dikdas pada PPS. Tidak diperkenankan adanya peserta didik pada SPM yang berstatus ganda sebagai peserta didik satuan pendidikan umum atau program kesetaraan dan wajar dikdas pada PPS.

Dalam PMA Nomor 31 Tahun 2020 paragraf 1 pasal 26 ada (3) ayat, dua ayat di antaranya dinyatakan secara terperinci bahwa pendirian pendidikan mu‘adalah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Pendirian satuan pendidikan mu‘adalah wajib memperoleh izin dari Menteri, (2) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan: (a) berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, (b) memiliki PSP, (c) didirikan di lingkungan pesantren yang dibuktikan dengan denah lokasi, (d) memiliki struktur organisasi pengelola pesantren, (e) pesantren sudah beroperasi dalam jangka waktu paling singkat tiga tahun terhitung sejak didirikan yang dibuktikan dengan surat pernyataan, (f) memiliki rencana kurikulum pendidikan mu‘adalah, (g) memiliki paling sedikit lima orang pendidik dan dua orang tenaga kependidikan, (h) memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, (i) rencana sumber pendanaan untuk sumber kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya, (j) memiliki sistem evaluasi pendidikan, (k) rencana kalender pendidikan, (l) memiliki santri mukim paling sedikit 120 orang.

Dengan semakin kuatnya payung hukum tentang pesantren dan satuan pendidikan mu’adalah, maka keberadaan satuan pendidikan mu’adalah meski sudah mulai berkembang namun perkembangannya sangat lamban. Perkembangan satuan pendidikan mu’adalah diperkirakan semakin baik sebagai implikasi dari diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Ke depan, tentu saja UU dan PMA tersebut sangat perlu diterjemahkan lebih operasional yang dipahami oleh praktisi pesantren khususnya satuan pendidikan mu’adalah, dan pemikir bahkan praktisi SPM perlu membuka diri terhadap masukan untuk peningkatan kualitas SPM. Tanpa itu, meskipun payung hukum kuat tapi SDM-nya tidak kuat, hanya akan menjadikan SPM jalan di tempat di tengah satuan pendidikan lainnya sedang berlari.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Pengasuh Pesantren Shofa Marwa dan Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

SUDAH sangat banyak buku dan literatur yang ditulis  oleh para ahli dan peneliti yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia telah melintasi sejarah yang sangat panjang, sampai ke era Wali Sanga, bahkan Prof Mastuhu menyimpulkan bahwa pesantren di Nusantara sudah ada sejak abad ke-13. Akhir-akhir ini, semakin banyak penulis yang menyatakan bahwa pesantren bukan hanya berperan di bidang pendidikan dan dakwah. Pesantren juga memainkan peran strategis perjuangan mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan yang mau diambil lagi oleh penjajah. Bangsa ini semakin mengenal aksi heroik para santri Kiai Abbas Buntet dan Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Ketika Indonesia merdeka, bangsa ini telah mewarisi dua sistem pendidikan, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah umum. Yang pertama, pesantren adalah satuan pendidikan yang asli Indonesia, sedang yang kedua, sekolah umum adalah satuan pendidikan yang diintrodusir oleh pemerintah kolonial. Lembaga pendidikan sekolah umum dikelola oleh dua kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, sementara pesantren tetap berjalan sendiri.

Secara formal, negara belum menemukan rumusan yang tepat bagi pesantren dalam kebijakan-kebijakan mereka, termasuk konsekuensi kebijakan adalah pengakuan dan perlakuan pesantren, pengalokasian anggaran negara bagi pembinaan pesantren sampai akhirnya pesantren berjalan sendiri mencari pengakuan formal eksistensi kelembagaannya. Barulah pada tahun 2005 pemerintah mengakui keberadaan pesantren, pendidikan mu’adalah, dan sebagainya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, meskipun secara operasional baru clear setelah ditetapkannya PMA Nomor 13 Tahun 2014 dan PMA Nomor 18 Tahun 2014.

Pendidikan mu’adalah adalah pendidikan formal khas pesantren, karena satuan pendidikan tersebut hanya boleh dirintis dan dikembangkan di pesantren. Pendidikan formal yang khas pesantren tidak hanya pendidikan mu’adalah, tetapi juga pendidikan diniyah formal dan ma’had aly sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan dijelaskan secara operasional dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Definisi Satuan Pendidikan Mu’adalah (SPM) pada pesantren sebagaimana dalam PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah pada Pondok Pesantren adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan basis kitab kuning atas dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin secara berjenjang dan berstruktur yang dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Kementerian Agama.

Demikian halnya definisi yang termaktub dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, bahwa pendidikan mu’adalah adalah pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur (UU No. 18/2019, pasal 1 poin 5).

Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa varian SPM sejalan dengan varian pesantren sebagai satuan pendidikan, yakni SPM berbasis kitab kuning yang disebut SPM jenis salafiyah dan SPM berbasis dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin yang disebut SPM jenis mu’allimin.

Penamaan satuan pendidikan mu’adalah dapat menggunakan nama Madrasah Salafiyah, Madrasah Mju’allimin, Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamkiyah (KMI), Madrasah al-Mu’allimin al-Islamiyah (MMI), Madrasah At-Tarbiyah al-Islamiyah (MTI) atau nama lainnya yang diusulkan oleh pesantren.

Jenjang pada SPM memiliki kesederajatan dan kewenangan yang sama dengan jenjang pendidikan formal lainnya, yakni: (1) SPM setingkat madrasah ibtidaiyah (MI), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MI dan diselenggarakan selama 6 tahun; (2) SPM setingkat madrasah tsanawiyah (MTs) yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MTs dan diselenggarakan selama 3 tahun; (3) SMP setingkat madrasah aliyah (MA), yaitu SPM memiliki kesetingkatan dengan MA dan diselenggarakan selama 3 tahun; dan (4) SPM setingkat MA dapat diselenggarakan dengan menggabungkan SPM setingkat MTs dan SPM setingkat MA selama 6 tahun secara berkesinambungan. Konsekuensinya, peserta didik hanya menerima ijazah ketika telah menyelesaikan seluruh proses pendidikan SPM setingkat MA selama 6 tahun.

SPM bukan satuan pendidikan umum (sekolah atau madrasah) ataupun program kesetaraan atau wajar dikdas pada PPS. Tidak diperkenankan adanya peserta didik pada SPM yang berstatus ganda sebagai peserta didik satuan pendidikan umum atau program kesetaraan dan wajar dikdas pada PPS.

Dalam PMA Nomor 31 Tahun 2020 paragraf 1 pasal 26 ada (3) ayat, dua ayat di antaranya dinyatakan secara terperinci bahwa pendirian pendidikan mu‘adalah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Pendirian satuan pendidikan mu‘adalah wajib memperoleh izin dari Menteri, (2) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan: (a) berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, (b) memiliki PSP, (c) didirikan di lingkungan pesantren yang dibuktikan dengan denah lokasi, (d) memiliki struktur organisasi pengelola pesantren, (e) pesantren sudah beroperasi dalam jangka waktu paling singkat tiga tahun terhitung sejak didirikan yang dibuktikan dengan surat pernyataan, (f) memiliki rencana kurikulum pendidikan mu‘adalah, (g) memiliki paling sedikit lima orang pendidik dan dua orang tenaga kependidikan, (h) memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, (i) rencana sumber pendanaan untuk sumber kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya, (j) memiliki sistem evaluasi pendidikan, (k) rencana kalender pendidikan, (l) memiliki santri mukim paling sedikit 120 orang.

Dengan semakin kuatnya payung hukum tentang pesantren dan satuan pendidikan mu’adalah, maka keberadaan satuan pendidikan mu’adalah meski sudah mulai berkembang namun perkembangannya sangat lamban. Perkembangan satuan pendidikan mu’adalah diperkirakan semakin baik sebagai implikasi dari diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.

Ke depan, tentu saja UU dan PMA tersebut sangat perlu diterjemahkan lebih operasional yang dipahami oleh praktisi pesantren khususnya satuan pendidikan mu’adalah, dan pemikir bahkan praktisi SPM perlu membuka diri terhadap masukan untuk peningkatan kualitas SPM. Tanpa itu, meskipun payung hukum kuat tapi SDM-nya tidak kuat, hanya akan menjadikan SPM jalan di tempat di tengah satuan pendidikan lainnya sedang berlari.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Pengasuh Pesantren Shofa Marwa dan Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca