Dr Zuhairi Misrawi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Tunisia dalam Webinar dengan tema “Kolokium Pemikiran Kiai Haji Achmad Siddiq: Khittah Wasathiyah, Pergulatan Pemikiran Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan” menyatakan “bahwa pemikiran KH Achmad Siddiq tentang persaudaraan (ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah) adalah senjata yang sangat ampuh dan dahsyat dalam diplomasi internasional. Oleh karena itu, UIN KHAS Jember harus membuat satu buku khusus yang serius mensyarahi (mengupas tuntas) pemikiran Kiai Haji Achmad Siddiq. Nanti saya sebagai Duta Besar Tunisia siap untuk menerjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Arab, Inggris, Perancis, serta menyebarkannya ke publik internasional.” (Selasa, 25 Januari 2022).
Pemikiran Tri Ukhuwah yang digagas Kiai Haji Achmad Siddiq sampai sekarang tetap aktual. Bahkan banyak dikembangkan oleh para tokoh, tak terkecuali tokoh yang berbeda agama. Beliau menyampaikan bahwa ada tiga perspektif membangun ukhuwah, yakni: ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan yang diikat karena kesamaan keimanan sebagai sesama Islam meskipun suku dan rasnya berbeda. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan yang diikat karena kesamaan identitas sebagai warga bangsa, yakni sesama bangsa Indonesia, meskipun agama, suku, dan rasnya berbeda. Dan, ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang diikat karena kesamaan identitas sebagai sesama manusia, meskipun agama, warna negara, suku dan rasnya berbeda.
Tri Ukhuwah yang pertama, adalah Ukhuwah Islamiyah. Penulis ingin memulai tulisan ini dengan mengutip ayat Alquran (QS. Al-Hujurat, 49: 10) untuk kita renungkan bersama: “Innamăl mukminũna ikhwatun faashlihũ baina akhawaikum, wattaqullăha la’allakum turhamũn/Sesunggunya orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.
Ayat ini merupakan acuan dasar membangun ukhuwah Islamiyah. Pertama, ukhuwah akan tercipta jika dilandasi dengan iman sebagai fondasi yang menjadi tumpuan semua kekuatan jenis bangunan yang ada di atasnya. Iman merupakan perjanjian suci, perjanjian setia untuk hanya taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman akan melahirkan amal saleh untuk hidup berdampingan dengan sesama hamba Allah secara damai. Kedua, sikap ishlah atau mendamaikan saudara sesama muslim, sesama hamba Allah merupakan syarat kedua yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun ukhuwah islamiyah. Ishlah juga bermakna membangun, menghimpun semua potensi manusia yang saleh untuk diberdayakan pada kehidupan yang baik dan bahagia. Ishlah juga berarti menghubungkan kembali hubungan yang retak, membangun kehidupan yang lebih damai dan mashlahah. Ketiga, sikap takwa diartikan sebagai sikap hati-hati dalam menjaga dirinya agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain, atau dengan kata lain, takwa itu adalah senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT, di mana saja dan kapan saja sehingga dalam tutur kata, sikap dan tingkah laku selalu merasadalam pengawasan Allah SWT, sehingga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmatnya.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan tentang urgensi ukhuwah Islamiyah, tiga hadis di antaranya adalah: pertama, sabda Nabi Muhammad SAW “janganlah kalian saling menghasud, janganlah saling membenci, janganlah saling memutus (persaudaraan), jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara” (HR. Muslim dari Anas). Kedua, “Jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh ia menzaliminya, menelantarkannya dan menghinakannya” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Ketiga, “Perumpamaan kaum mukmin dalam ukhuwah (persaudaraan), kasih sayang, dan kepedulian sesama mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah anggota tubuh sakit maka seluruh bagian tubuh akan bersolidaritas dengan meradang dan merasa sakit” (HR. Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir).
Tri Ukhuwah yang kedua, adalah Ukhuwah Wathaniyyah. Menurut Kiai Haji Achmad Siddiq, konsep tri ukhuwah terinspirasi oleh Piagam Madinah yang pernah digagas oleh Nabi Muhammad SAW. Secara historis, ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah), penduduk Yatsrib ketika itu terdiri dari kaum Muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, orang-orang Yahudi yang terdiri dari Banu Qainuqa’ di sebelah dalam, Banu Quraidhah di Fadak, Banu an-Nadhir tidak jauh dari situ, dan Yahudi Khaibar di utara. Selain itu ada juga sisa-sisa kaum Musyrik yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj, perkembangan selanjutnya setelah umat Islam menguat, muncul lagi kelompok baru yang belum dikenal di Makkah, yaitu kelompok munăfiqĩn yang merupakan musuh dalam selimut.
Nabi berkomitmen, bahwa tugas dakwah harus berhasil. Salah satu kuncinya adalah adanya jaminan keamanan dan kedamaian yang bisa dinikmati oleh semua pihak. Nabi Muhammad SAW merasa sangat perlu menciptakan kerukunan dan kedamaian antar seluruh anggota masyarakat. Dari sinilah dirumuskan naskah yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah”. Karam Dhiya’ al-Umari dalam Sirah-nya yang berusaha menjelaskan riwayat sejarah berdasar metode kritik hadis dari sumber yang terpercaya selain Ibnu Ishaq, dan ditemukan butir-butirnya secara terpisah pada kitab-kitab hadis standar, termasuk kitab Bukhari dan Muslim. Menurut Dr. Karam Dhiya’, bahwa piagam yang popular ini terdiri dari dua piagam, satu berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang disusun sebelum peperangan badar dan kedua yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kaum Muslim, Muhajir dan Anshar yang disusun setelah peperangan badar. Selanjutnya, para sejarawan menggabungkannya menjadi satu. Namun demikian, kapan pun terjadinya, dan apakah dia satu piagam atau dua yang disatukan, yang jelas bahwa ia terjadi pada masa-masa awal kehadiran Nabi Muhammad SAW di Madinah al-Munawarah.
Piagam tersebut, antara lain mengandung butir-butir sebagai berikut: (1) Kaum Muslim, baik yang dari Makah maupun yang bermukim di Yatsrib, serta yang mengikut dan menyusul mereka dalam berjuang bersama adalah satu umat (kesatuan), (2) Kaum Muhajir dan kalangan Quraisy tetap dapat melaksanakan adat kebiasaan mereka yang baik dan berlaku di kalangan mereka, seperti bersama-sama menerima dan membayar tebusan darah di antara mereka dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang mukmin, demikian juga Bani ‘Auf menurut adat kebiasaan mereka yang baik, (3) Orang-orang beriman harus membantu sesama Mukmin dalam memikul beban utang yang berat atau dalam membayar tebusan tawanan dan diyah, (4) Orang Mukmin harus melawan orang yang melakukan kejahatan/permusuhan dan perusakan walau terhadap anak-anak mereka, (5) Orang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin demi kepentingan orang kafir, (6) Siapa pun dari kalangan orang Yahudi yang bersedia memihak kepada kelompok/mengikuti kaum muslim, maka ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, (7) Persetujuan damai orang-orang mukmin sifatnya satu, sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perjanjian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di Jalan Allah, (8) Tidak dibenarkan melindungi harta dan jiwa kaum Quraisy (yang kafir) dan tidak boleh juga merintangi orang beriman (dalam perjuangannya), (9) Bilamana terjadi perselisihan antara para “penanda tangan piagam ini”, maka keputusan dikembalikan kepada Rasul SAW., (10) Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya perang (pertahanan) selama masih dalam keadaan perang, (11) Masyarakat Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat (kesatuan masyarakat) dengan orang-orang beriman. Masyarakat Yahudi bebas melaksanakan agama mereka dan kaum muslim pun demikian, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang boleh keluar, kecuali atas izin Muhammad SAW. (12) Seseorang tidak boleh dihalangi dalam menuntut haknya. Barang siapa yang diserang, maka ia bersama keluarganya harus menjaga diri, kecuali yang berlaku aniaya, (13) Orang Yahudi menanggung nafkah sesama mereka, orang-orang mukmin pun demikian. Tetapi, mereka semua (Mukmin dan Yahudi) harus saling membantu menghadapi pihak yang menentang piagam ini. Mereka semua sama-sama berkewajiban, nasihat-menasihati, bahu membahu dalam kebajikan, dan menjauhi dosa dan keburukan, (14) Seseorang tidak boleh melakukan keburukan kepada sesamanya dan bahwa pertolongan/pembelaan harus diberikan kepada yang teraniaya, (15) Kota Yatsrib adalah kota “Haram” (suci/terhormat) bagi para penanda tangan piagam ini. Kota yang dihormati tidak boleh dihuni tanpa izin penduduknya, (16) Siapa pun yang keluar atau tinggal di kota Yatsrib, maka keselamatannya terjamin, kecuali yang melakukan kezaliman/kejahatan.
Butir-butir Piagam Madinah adalah dokumen yang sangat strategis bagi pengembangan komitmen kebangsaan yang digagas oleh Nabi Muhammad SAW. Rasanya, kita memang perlu belajar dan mengambil ‘ibrah dari pesan-pesan piagam yang digagas Nabi Muhammad SAW untuk menggagas kemaslahatan. Membangun ukhuwah wathaniyah berarti memperkuat komitmen kebangsaan dan sekaligus membangun peradaban bangsa.
Tri Ukhuwah yang ketiga, adalah Ukhuwah Basyariyah. Membangun ukhuwah berarti membangun kebutuhan fisik, akal, dan kalbu, sekaligus “kita sendiri harus serius membangun hubungan dengan Allah Yang Maha Kuasa” yang telah memberi kita karunia fisik, akal dan kalbu. Membangun ukhuwah tidak hanya bermodal kepandaian, pangkat, atau jabatan, karena yang memberi kita potensi fisik, akal dan kalbu adalah Allah SWT. Islam mengajarkan, jika kita memutus hubungan dengan Allah SWT jangan berharap ukhuwah akan tercapai, karena ukhuwah adalah bagian dari karunia Allah SWT. Ukhuwah basyariyah adalah fondasi bagi bangunan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang substantif, menyangkut kebutuhan fisik, akal dan kalbu sesama manusia. Nabi Muhammad SAW memberi contoh yang mengagumkan.
Muhammad Husain Haekal (Hayat Muhammad, cetakan 15, 1992) berhasil menelusuri, bahwa setelah Nabi Muhammad SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar ibn al-Khattab agar barisan kaum Muslim lebih kokoh sekaligus menghilangkan segala bayangan yang bisa membangkitkan api permusuhan, kaum muslimin diajak supaya masing-masing dua bersaudara hanya demi Allah SWT. Nabi sendiri bersaudara dengan Ali ibn Abi Thalib, Hamzah paman Nabi bersaudara dengan Zaid bekas budaknya, Abu Bakar as-Shiddiq bersaudara dengan Kharija bin Zaid, Umar ibn al-Khattab bersaudara dengan ‘Itban bin Malik al-Kharraji. Demikian pula yang lainnya, setiap orang dari kalangan Muhajirin dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari kalangan Anshar.
*Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA, Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember, Guru Besar UIN KHAS Jember dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur.