23.5 C
Jember
Monday, 27 March 2023

Sejarah Madrasah Diniyah

Mobile_AP_Rectangle 1

WACANA seputar madrasah diniyah bukanlah sesuatu yang asing bagi para pegiat pendidikan. Ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang persoalan ini telah menghiasi jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan publikasi karya lainnya. Puluhan peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tak henti-hentinya melakukan research untuk memahami secara lebih komprehensif tentang madrasah diniyah. Wacana madrasah diniyah seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk ditimba dan dikaji. Meski terus dikaji, selalu saja ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dan ditelusuri lebih lanjut.

Tentu saja alasan ketertarikan para peneliti itu amat beragam. Namun, paling tidak ada sesuatu yang menyatukan dari keberagaman itu, yaitu kedudukan madrasah diniyah yang cukup signifikan dalam kancah pergulatan pendidikan nasional. Artinya, berbicara tentang sejarah pendidikan Indonesia menjadi begitu hambar tanpa menyertakan madrasah diniyah. Tanpa berusaha melebih-lebihkan, bisa dibilang madrasah adalah sokoguru dan nadi pendidikan Indonesia.

Dalam sejarahnya, madrasah diniyah lahir dari rahim pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintahan kolonial, madrasah diniyah menjadi salah satu objek yang terus diselidiki. Pada masa itu, hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu mengubah sistem pendidikan Indonesia ke arah sistem pendidikan “modern”. Namun, hal tersebut tidak mampu mengubah madrasah diniyah sebagai fenomena budaya pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan madrasah diniyah sampai sekarang, yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena tersebut patut direnungkan bersama, bahwa keberadaan madrasah diniyah sebagai suatu sistem pendidikan berbasis pendidikan agama adalah suatu yang menjadi identitas kependidikan bangsa.

Mobile_AP_Rectangle 2

Namun demikian, seiring dengan laju perubahan zaman, madrasah diniyah pun tak mungkin lagi menghindar dari tantangan. Dunia industri yang telah mengubah tuntutan kebutuhan masyarakat akan dunia pendidikan, mau tidak mau memaksa para praktisi madrasah diniyah untuk merumuskan ulang tentang konsep pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Ditambah lagi munculnya model-model pendidikan baru, yang mau tidak mau menjadi pesaing yang cukup berat bagi madrasah. Hanya terpaku pada sistem lama, pelan tapi pasti madrasah akan kehilangan peminat. Pada titik ini sudah semestinya para praktisi harus membuat perumusan ulang, untuk lebih menonjolkan kekhasan madrasah diniyah dari model pendidikan lain.

Alasan inilah yang mendasari pemikiran untuk merumuskan format ideal kurikulum madrasah diniyah dalam perspektif sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan madrasah diniyah seiring dengan perkembangan dan tuntutan sistem perundang-undangan, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Disahkan dan diundangkannya tiga ketentuan tersebut sungguh telah menjadikan madrasah diniyah harus segera melakukan reformulasi, dalam banyak hal, khususnya kurikulum.

Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth dan kawan-kawan (1986: 1123) menjelaskan: The Madrasa is the product of three stages in the development of the college in Islam. The mosque or masjid, particularly in its designation as the non-congregational mosque, was the first stage, and it functional in this as an instructional centre. The second stage was the masdjid-khan complex, in which the khan or hostclly served as a lodging for out-of-town student. The third stage was the madrasa proper, in which the functions of both masdjid and khan were combined in an institution based on a single wakf deed.

Dari kutipan tersebut tampak bahwa masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam. Ia tidak saja berfungsi sebagai pusat ibadah (dalam artian sempit) tetapi juga sebagai pusat pengajaran dan pendidikan. Tahapan kedua adalah masjid-khan, di mana khan merupakan asrama yang berfungsi sebagai pondokan bagi peserta didik yang berasal dari luar kota. Dan madrasah, sebagaimana telah disebut, merupakan tahapan ketiga yang memadukan fungsi masjid dan khan dalam satu lembaga pendidikan.

Madrasah di Indonesia merupakan pendidikan lanjutan bagi peserta didik yang telah menguasai studi pendahuluan di masjid atau langgar. Masjid atau langgar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi orang Islam di Indonesia, Abdul Hafidz Dasuki menjelaskan:

Indeed, the masdjid and the langgar are the first institutions of Indonesian Muslim learning. Instruction in the elementary from is in Qur’anic recitation, given on the basis of the booklet in which Arabic characters are printed with and without the vowels and other symbols . . . Teaching is carried out on individual basis. The guru ngaji teaches the pupils who are by one the floor around him in a circle. Each pupil waits for his turn to see the guru ngaji and receive instruction. Those who want to go deeper into study of Islamic teaching should go to a madrasa. Some of them go to a pondok-pesantren (1974: 26,29-30).

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa melalui masjid dan langgar kebanyakan Umat Islam Indonesia belajar membaca Alquran dengan bantuan seorang guru mengaji. Proses belajar-mengajarnya berlangsung secara individual: guru ngaji mengajar para santri yang duduk melingkar di sekelilingnya satu per satu, metode pengajarannya adalah guru ngaji mengeja huruf demi huruf dari alfabet Arab, atau guru ngaji membaca Alquran kata demi kata, frasa demi frasa, dan santri mengikuti bacaan guru ngaji; para santri sering juga membaca Alquran secara bersama dengan irama lagu tertentu. Abdul Hafidz Dasuki (1974: 27-28) menambahkan bahwa secara tradisional yang diajarkan di masjid atau langgar tidak semata membaca Alquran, tetapi juga pendidikan agama yang mencakup pengajaran wudhu, salat berikut praktiknya, akhlak dan praktiknya, serta sejarah kehidupan Nabi. Dari penguasaan studi pendahuluan itu, mereka yang ingin memperdalam studi Islam selanjutnya masuk madrasah, yang dikenal dengan madrasah diniyah, dan inilah cikal bakal kurikulum madrasah diniyah.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember dan Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember.

- Advertisement -

WACANA seputar madrasah diniyah bukanlah sesuatu yang asing bagi para pegiat pendidikan. Ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang persoalan ini telah menghiasi jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan publikasi karya lainnya. Puluhan peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tak henti-hentinya melakukan research untuk memahami secara lebih komprehensif tentang madrasah diniyah. Wacana madrasah diniyah seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk ditimba dan dikaji. Meski terus dikaji, selalu saja ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dan ditelusuri lebih lanjut.

Tentu saja alasan ketertarikan para peneliti itu amat beragam. Namun, paling tidak ada sesuatu yang menyatukan dari keberagaman itu, yaitu kedudukan madrasah diniyah yang cukup signifikan dalam kancah pergulatan pendidikan nasional. Artinya, berbicara tentang sejarah pendidikan Indonesia menjadi begitu hambar tanpa menyertakan madrasah diniyah. Tanpa berusaha melebih-lebihkan, bisa dibilang madrasah adalah sokoguru dan nadi pendidikan Indonesia.

Dalam sejarahnya, madrasah diniyah lahir dari rahim pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintahan kolonial, madrasah diniyah menjadi salah satu objek yang terus diselidiki. Pada masa itu, hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu mengubah sistem pendidikan Indonesia ke arah sistem pendidikan “modern”. Namun, hal tersebut tidak mampu mengubah madrasah diniyah sebagai fenomena budaya pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan madrasah diniyah sampai sekarang, yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena tersebut patut direnungkan bersama, bahwa keberadaan madrasah diniyah sebagai suatu sistem pendidikan berbasis pendidikan agama adalah suatu yang menjadi identitas kependidikan bangsa.

Namun demikian, seiring dengan laju perubahan zaman, madrasah diniyah pun tak mungkin lagi menghindar dari tantangan. Dunia industri yang telah mengubah tuntutan kebutuhan masyarakat akan dunia pendidikan, mau tidak mau memaksa para praktisi madrasah diniyah untuk merumuskan ulang tentang konsep pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Ditambah lagi munculnya model-model pendidikan baru, yang mau tidak mau menjadi pesaing yang cukup berat bagi madrasah. Hanya terpaku pada sistem lama, pelan tapi pasti madrasah akan kehilangan peminat. Pada titik ini sudah semestinya para praktisi harus membuat perumusan ulang, untuk lebih menonjolkan kekhasan madrasah diniyah dari model pendidikan lain.

Alasan inilah yang mendasari pemikiran untuk merumuskan format ideal kurikulum madrasah diniyah dalam perspektif sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan madrasah diniyah seiring dengan perkembangan dan tuntutan sistem perundang-undangan, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Disahkan dan diundangkannya tiga ketentuan tersebut sungguh telah menjadikan madrasah diniyah harus segera melakukan reformulasi, dalam banyak hal, khususnya kurikulum.

Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth dan kawan-kawan (1986: 1123) menjelaskan: The Madrasa is the product of three stages in the development of the college in Islam. The mosque or masjid, particularly in its designation as the non-congregational mosque, was the first stage, and it functional in this as an instructional centre. The second stage was the masdjid-khan complex, in which the khan or hostclly served as a lodging for out-of-town student. The third stage was the madrasa proper, in which the functions of both masdjid and khan were combined in an institution based on a single wakf deed.

Dari kutipan tersebut tampak bahwa masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam. Ia tidak saja berfungsi sebagai pusat ibadah (dalam artian sempit) tetapi juga sebagai pusat pengajaran dan pendidikan. Tahapan kedua adalah masjid-khan, di mana khan merupakan asrama yang berfungsi sebagai pondokan bagi peserta didik yang berasal dari luar kota. Dan madrasah, sebagaimana telah disebut, merupakan tahapan ketiga yang memadukan fungsi masjid dan khan dalam satu lembaga pendidikan.

Madrasah di Indonesia merupakan pendidikan lanjutan bagi peserta didik yang telah menguasai studi pendahuluan di masjid atau langgar. Masjid atau langgar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi orang Islam di Indonesia, Abdul Hafidz Dasuki menjelaskan:

Indeed, the masdjid and the langgar are the first institutions of Indonesian Muslim learning. Instruction in the elementary from is in Qur’anic recitation, given on the basis of the booklet in which Arabic characters are printed with and without the vowels and other symbols . . . Teaching is carried out on individual basis. The guru ngaji teaches the pupils who are by one the floor around him in a circle. Each pupil waits for his turn to see the guru ngaji and receive instruction. Those who want to go deeper into study of Islamic teaching should go to a madrasa. Some of them go to a pondok-pesantren (1974: 26,29-30).

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa melalui masjid dan langgar kebanyakan Umat Islam Indonesia belajar membaca Alquran dengan bantuan seorang guru mengaji. Proses belajar-mengajarnya berlangsung secara individual: guru ngaji mengajar para santri yang duduk melingkar di sekelilingnya satu per satu, metode pengajarannya adalah guru ngaji mengeja huruf demi huruf dari alfabet Arab, atau guru ngaji membaca Alquran kata demi kata, frasa demi frasa, dan santri mengikuti bacaan guru ngaji; para santri sering juga membaca Alquran secara bersama dengan irama lagu tertentu. Abdul Hafidz Dasuki (1974: 27-28) menambahkan bahwa secara tradisional yang diajarkan di masjid atau langgar tidak semata membaca Alquran, tetapi juga pendidikan agama yang mencakup pengajaran wudhu, salat berikut praktiknya, akhlak dan praktiknya, serta sejarah kehidupan Nabi. Dari penguasaan studi pendahuluan itu, mereka yang ingin memperdalam studi Islam selanjutnya masuk madrasah, yang dikenal dengan madrasah diniyah, dan inilah cikal bakal kurikulum madrasah diniyah.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember dan Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember.

WACANA seputar madrasah diniyah bukanlah sesuatu yang asing bagi para pegiat pendidikan. Ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang persoalan ini telah menghiasi jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku, dan publikasi karya lainnya. Puluhan peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tak henti-hentinya melakukan research untuk memahami secara lebih komprehensif tentang madrasah diniyah. Wacana madrasah diniyah seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk ditimba dan dikaji. Meski terus dikaji, selalu saja ada sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dan ditelusuri lebih lanjut.

Tentu saja alasan ketertarikan para peneliti itu amat beragam. Namun, paling tidak ada sesuatu yang menyatukan dari keberagaman itu, yaitu kedudukan madrasah diniyah yang cukup signifikan dalam kancah pergulatan pendidikan nasional. Artinya, berbicara tentang sejarah pendidikan Indonesia menjadi begitu hambar tanpa menyertakan madrasah diniyah. Tanpa berusaha melebih-lebihkan, bisa dibilang madrasah adalah sokoguru dan nadi pendidikan Indonesia.

Dalam sejarahnya, madrasah diniyah lahir dari rahim pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintahan kolonial, madrasah diniyah menjadi salah satu objek yang terus diselidiki. Pada masa itu, hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu mengubah sistem pendidikan Indonesia ke arah sistem pendidikan “modern”. Namun, hal tersebut tidak mampu mengubah madrasah diniyah sebagai fenomena budaya pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan madrasah diniyah sampai sekarang, yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Fenomena tersebut patut direnungkan bersama, bahwa keberadaan madrasah diniyah sebagai suatu sistem pendidikan berbasis pendidikan agama adalah suatu yang menjadi identitas kependidikan bangsa.

Namun demikian, seiring dengan laju perubahan zaman, madrasah diniyah pun tak mungkin lagi menghindar dari tantangan. Dunia industri yang telah mengubah tuntutan kebutuhan masyarakat akan dunia pendidikan, mau tidak mau memaksa para praktisi madrasah diniyah untuk merumuskan ulang tentang konsep pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Ditambah lagi munculnya model-model pendidikan baru, yang mau tidak mau menjadi pesaing yang cukup berat bagi madrasah. Hanya terpaku pada sistem lama, pelan tapi pasti madrasah akan kehilangan peminat. Pada titik ini sudah semestinya para praktisi harus membuat perumusan ulang, untuk lebih menonjolkan kekhasan madrasah diniyah dari model pendidikan lain.

Alasan inilah yang mendasari pemikiran untuk merumuskan format ideal kurikulum madrasah diniyah dalam perspektif sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan madrasah diniyah seiring dengan perkembangan dan tuntutan sistem perundang-undangan, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Disahkan dan diundangkannya tiga ketentuan tersebut sungguh telah menjadikan madrasah diniyah harus segera melakukan reformulasi, dalam banyak hal, khususnya kurikulum.

Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth dan kawan-kawan (1986: 1123) menjelaskan: The Madrasa is the product of three stages in the development of the college in Islam. The mosque or masjid, particularly in its designation as the non-congregational mosque, was the first stage, and it functional in this as an instructional centre. The second stage was the masdjid-khan complex, in which the khan or hostclly served as a lodging for out-of-town student. The third stage was the madrasa proper, in which the functions of both masdjid and khan were combined in an institution based on a single wakf deed.

Dari kutipan tersebut tampak bahwa masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam. Ia tidak saja berfungsi sebagai pusat ibadah (dalam artian sempit) tetapi juga sebagai pusat pengajaran dan pendidikan. Tahapan kedua adalah masjid-khan, di mana khan merupakan asrama yang berfungsi sebagai pondokan bagi peserta didik yang berasal dari luar kota. Dan madrasah, sebagaimana telah disebut, merupakan tahapan ketiga yang memadukan fungsi masjid dan khan dalam satu lembaga pendidikan.

Madrasah di Indonesia merupakan pendidikan lanjutan bagi peserta didik yang telah menguasai studi pendahuluan di masjid atau langgar. Masjid atau langgar merupakan lembaga pendidikan pertama bagi orang Islam di Indonesia, Abdul Hafidz Dasuki menjelaskan:

Indeed, the masdjid and the langgar are the first institutions of Indonesian Muslim learning. Instruction in the elementary from is in Qur’anic recitation, given on the basis of the booklet in which Arabic characters are printed with and without the vowels and other symbols . . . Teaching is carried out on individual basis. The guru ngaji teaches the pupils who are by one the floor around him in a circle. Each pupil waits for his turn to see the guru ngaji and receive instruction. Those who want to go deeper into study of Islamic teaching should go to a madrasa. Some of them go to a pondok-pesantren (1974: 26,29-30).

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa melalui masjid dan langgar kebanyakan Umat Islam Indonesia belajar membaca Alquran dengan bantuan seorang guru mengaji. Proses belajar-mengajarnya berlangsung secara individual: guru ngaji mengajar para santri yang duduk melingkar di sekelilingnya satu per satu, metode pengajarannya adalah guru ngaji mengeja huruf demi huruf dari alfabet Arab, atau guru ngaji membaca Alquran kata demi kata, frasa demi frasa, dan santri mengikuti bacaan guru ngaji; para santri sering juga membaca Alquran secara bersama dengan irama lagu tertentu. Abdul Hafidz Dasuki (1974: 27-28) menambahkan bahwa secara tradisional yang diajarkan di masjid atau langgar tidak semata membaca Alquran, tetapi juga pendidikan agama yang mencakup pengajaran wudhu, salat berikut praktiknya, akhlak dan praktiknya, serta sejarah kehidupan Nabi. Dari penguasaan studi pendahuluan itu, mereka yang ingin memperdalam studi Islam selanjutnya masuk madrasah, yang dikenal dengan madrasah diniyah, dan inilah cikal bakal kurikulum madrasah diniyah.

 

*) Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember dan Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/