27.2 C
Jember
Saturday, 1 April 2023

Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (1)

Mobile_AP_Rectangle 1

Para ahli pendidikan banyak mengemukakan pandangan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam sejarah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Indonesia memiliki sejarah panjang. Sanad para tokoh yang intens memperjuangkan eksistensi Pendidikan Agama Islam telah dimulai sejak lama. Bahkan sejak beberapa abad sebelum Indonesia merdeka.

Artinya, bisa dianalogikan bahwa Pendidikan Agama Islam memiliki mata rantai yang kuat dengan komitmen dan perjuangan para guru pendahulu kita. Para guru kita memiliki sanad dengan komitmen dan perjuangan gurunya para guru, para wali khususnya Wali Sanga, para sahabat, dan sanadnya bersambung pada komitmen dan perjuangan Rasulullah SAW. Karena itu, misi yang diperjuangkan para tokoh yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam tidak akan pernah sia-sia, karena memiliki mata rantai dan sanad komitmen dan perjuangan yang kuat dari para pendahulu kita sampai pada Nabi Muhammad SAW.

Dan benar jika dinyatakan, yang peduli Pendidikan Agama Islam adalah bagian dari amanah (QS An-Nisa’, 4: 58 dan QS Al-Ahzab, 33: 72), atau meminjam istilah Al-Mawardi (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, I: 3) bahwa tugas guru Pendidikan Agama Islam atau siapa pun yang peduli terhadap eksistensi Pendidikan Agama Islam adalah penerus tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.

Mobile_AP_Rectangle 2

Penelusuran demikian tidak bisa dihindari karena Pendidikan Agama Islam tidak berkembang dalam konteks vakum. Melainkan dalam konteks yang selalu berubah, karena perubahan zaman, perubahan kebijakan, dan perubahan harapan masyarakat. Sehingga, Pendidikan Agama Islam perlu penyesuaian dengan iklim perubahan, harus lebih terbuka dan menginspirasi untuk inovasi.

Kesimpulan tersebut memperoleh pembenaran jika dikaji lebih intens perubahan-perubahan yang terjadi yang kemudian memicu perbedaan antara Pendidikan Agama Islam zaman Orde Lama dan Orde Baru, apalagi zaman Reformasi. Di zaman Orde Lama, Pendidikan Agama Islam (waktu itu disebut Pelajaran Agama Islam) bersifat sukarela, bahkan pasal 20 (UU Nomor 4 Tahun 1950/UU Nomor 12 Tahun 1954) dinyatakan (1) dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Sedangkan di era Orde Baru, Pendidikan Agama Islam diwajibkan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang Pendidikan. Dalam UU pasal 39 ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan wajib memuat: a. Pendidikan Pancasila; b. Pendidikan Agama; dan c. Pendidikan Kewarganegaraan.

Selanjutnya, di era Reformasi, Pendidikan Agama Islam diwajibkan dan diprioritaskan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan; dan j. Muatan Lokal (2) Kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Bahkan Pendidikan Agama Islam dalam era Reformasi sebagai konten kurikulum yang dapat mewarnai materi kurikulum lainnya.

Karena jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan di Indonesia terus tumbuh dan berkembang, maka penyajian Pendidikan Agama Islam wajib diberikan pada setiap satuan pendidikan yang ada apa pun jenisnya, apa pun bentuknya, dan apa pun jenjang pendidikannya. Artinya, kalau dalam UU Sisdiknas, Pendidikan Agama Islam disajikan di semua jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan. Sebab, sebagaimana termaktub pada Bab VI tentang jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Pada pasal 13 ayat (1), bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Pasal 14). Pasal 15 dinyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Pada pasal 16 ditegaskan bahwa jalur, jenjang dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Kita bisa memahami kembali UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 pada ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan A; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan, dan j. Muatan Lokal. Pada ayat (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Selanjuitnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI yang mengatur delapan standar yang ditentukan, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian Pendidikan. Pada pasal 6 termaktub: (1) bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d. kelompok mata pelajaran estetika; e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah tiga kali mengalami perubahan. Perubahan pertama dengan PP Nomor 32 Tahun 2013, kedua dengan PP Nomor 13 Tahun 2015 dan ketiga dengan PP Nomor 57 Tahun 2021.

Dari kajian ini tampaknya sudah tidak memadai lagi jika membahas Pendidikan Agama Islam hanya merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, peraturan pemerintah dan peraturan operasional lainnya. Mengkaji dan memetakan pendidikan Agama Islam Pselain harus merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (diundangkan 8 Juli 2003) juga pada UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (diundangkan 15 Oktober 2019) serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (ditetapkan 2 September 2021) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren (30 November 2020), PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren (30 November 2020) dan PMA Nomor 32 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly (30 November 2020). (bersmbung)

 

*) Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember, Direktur Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur.

- Advertisement -

Para ahli pendidikan banyak mengemukakan pandangan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam sejarah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Indonesia memiliki sejarah panjang. Sanad para tokoh yang intens memperjuangkan eksistensi Pendidikan Agama Islam telah dimulai sejak lama. Bahkan sejak beberapa abad sebelum Indonesia merdeka.

Artinya, bisa dianalogikan bahwa Pendidikan Agama Islam memiliki mata rantai yang kuat dengan komitmen dan perjuangan para guru pendahulu kita. Para guru kita memiliki sanad dengan komitmen dan perjuangan gurunya para guru, para wali khususnya Wali Sanga, para sahabat, dan sanadnya bersambung pada komitmen dan perjuangan Rasulullah SAW. Karena itu, misi yang diperjuangkan para tokoh yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam tidak akan pernah sia-sia, karena memiliki mata rantai dan sanad komitmen dan perjuangan yang kuat dari para pendahulu kita sampai pada Nabi Muhammad SAW.

Dan benar jika dinyatakan, yang peduli Pendidikan Agama Islam adalah bagian dari amanah (QS An-Nisa’, 4: 58 dan QS Al-Ahzab, 33: 72), atau meminjam istilah Al-Mawardi (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, I: 3) bahwa tugas guru Pendidikan Agama Islam atau siapa pun yang peduli terhadap eksistensi Pendidikan Agama Islam adalah penerus tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.

Penelusuran demikian tidak bisa dihindari karena Pendidikan Agama Islam tidak berkembang dalam konteks vakum. Melainkan dalam konteks yang selalu berubah, karena perubahan zaman, perubahan kebijakan, dan perubahan harapan masyarakat. Sehingga, Pendidikan Agama Islam perlu penyesuaian dengan iklim perubahan, harus lebih terbuka dan menginspirasi untuk inovasi.

Kesimpulan tersebut memperoleh pembenaran jika dikaji lebih intens perubahan-perubahan yang terjadi yang kemudian memicu perbedaan antara Pendidikan Agama Islam zaman Orde Lama dan Orde Baru, apalagi zaman Reformasi. Di zaman Orde Lama, Pendidikan Agama Islam (waktu itu disebut Pelajaran Agama Islam) bersifat sukarela, bahkan pasal 20 (UU Nomor 4 Tahun 1950/UU Nomor 12 Tahun 1954) dinyatakan (1) dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Sedangkan di era Orde Baru, Pendidikan Agama Islam diwajibkan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang Pendidikan. Dalam UU pasal 39 ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan wajib memuat: a. Pendidikan Pancasila; b. Pendidikan Agama; dan c. Pendidikan Kewarganegaraan.

Selanjutnya, di era Reformasi, Pendidikan Agama Islam diwajibkan dan diprioritaskan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan; dan j. Muatan Lokal (2) Kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Bahkan Pendidikan Agama Islam dalam era Reformasi sebagai konten kurikulum yang dapat mewarnai materi kurikulum lainnya.

Karena jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan di Indonesia terus tumbuh dan berkembang, maka penyajian Pendidikan Agama Islam wajib diberikan pada setiap satuan pendidikan yang ada apa pun jenisnya, apa pun bentuknya, dan apa pun jenjang pendidikannya. Artinya, kalau dalam UU Sisdiknas, Pendidikan Agama Islam disajikan di semua jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan. Sebab, sebagaimana termaktub pada Bab VI tentang jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Pada pasal 13 ayat (1), bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Pasal 14). Pasal 15 dinyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Pada pasal 16 ditegaskan bahwa jalur, jenjang dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Kita bisa memahami kembali UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 pada ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan A; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan, dan j. Muatan Lokal. Pada ayat (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Selanjuitnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI yang mengatur delapan standar yang ditentukan, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian Pendidikan. Pada pasal 6 termaktub: (1) bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d. kelompok mata pelajaran estetika; e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah tiga kali mengalami perubahan. Perubahan pertama dengan PP Nomor 32 Tahun 2013, kedua dengan PP Nomor 13 Tahun 2015 dan ketiga dengan PP Nomor 57 Tahun 2021.

Dari kajian ini tampaknya sudah tidak memadai lagi jika membahas Pendidikan Agama Islam hanya merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, peraturan pemerintah dan peraturan operasional lainnya. Mengkaji dan memetakan pendidikan Agama Islam Pselain harus merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (diundangkan 8 Juli 2003) juga pada UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (diundangkan 15 Oktober 2019) serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (ditetapkan 2 September 2021) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren (30 November 2020), PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren (30 November 2020) dan PMA Nomor 32 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly (30 November 2020). (bersmbung)

 

*) Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember, Direktur Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur.

Para ahli pendidikan banyak mengemukakan pandangan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam sejarah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Indonesia memiliki sejarah panjang. Sanad para tokoh yang intens memperjuangkan eksistensi Pendidikan Agama Islam telah dimulai sejak lama. Bahkan sejak beberapa abad sebelum Indonesia merdeka.

Artinya, bisa dianalogikan bahwa Pendidikan Agama Islam memiliki mata rantai yang kuat dengan komitmen dan perjuangan para guru pendahulu kita. Para guru kita memiliki sanad dengan komitmen dan perjuangan gurunya para guru, para wali khususnya Wali Sanga, para sahabat, dan sanadnya bersambung pada komitmen dan perjuangan Rasulullah SAW. Karena itu, misi yang diperjuangkan para tokoh yang peduli terhadap Pendidikan Agama Islam tidak akan pernah sia-sia, karena memiliki mata rantai dan sanad komitmen dan perjuangan yang kuat dari para pendahulu kita sampai pada Nabi Muhammad SAW.

Dan benar jika dinyatakan, yang peduli Pendidikan Agama Islam adalah bagian dari amanah (QS An-Nisa’, 4: 58 dan QS Al-Ahzab, 33: 72), atau meminjam istilah Al-Mawardi (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, I: 3) bahwa tugas guru Pendidikan Agama Islam atau siapa pun yang peduli terhadap eksistensi Pendidikan Agama Islam adalah penerus tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia.

Penelusuran demikian tidak bisa dihindari karena Pendidikan Agama Islam tidak berkembang dalam konteks vakum. Melainkan dalam konteks yang selalu berubah, karena perubahan zaman, perubahan kebijakan, dan perubahan harapan masyarakat. Sehingga, Pendidikan Agama Islam perlu penyesuaian dengan iklim perubahan, harus lebih terbuka dan menginspirasi untuk inovasi.

Kesimpulan tersebut memperoleh pembenaran jika dikaji lebih intens perubahan-perubahan yang terjadi yang kemudian memicu perbedaan antara Pendidikan Agama Islam zaman Orde Lama dan Orde Baru, apalagi zaman Reformasi. Di zaman Orde Lama, Pendidikan Agama Islam (waktu itu disebut Pelajaran Agama Islam) bersifat sukarela, bahkan pasal 20 (UU Nomor 4 Tahun 1950/UU Nomor 12 Tahun 1954) dinyatakan (1) dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Sedangkan di era Orde Baru, Pendidikan Agama Islam diwajibkan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang Pendidikan. Dalam UU pasal 39 ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan wajib memuat: a. Pendidikan Pancasila; b. Pendidikan Agama; dan c. Pendidikan Kewarganegaraan.

Selanjutnya, di era Reformasi, Pendidikan Agama Islam diwajibkan dan diprioritaskan di setiap jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan; dan j. Muatan Lokal (2) Kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Bahkan Pendidikan Agama Islam dalam era Reformasi sebagai konten kurikulum yang dapat mewarnai materi kurikulum lainnya.

Karena jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan di Indonesia terus tumbuh dan berkembang, maka penyajian Pendidikan Agama Islam wajib diberikan pada setiap satuan pendidikan yang ada apa pun jenisnya, apa pun bentuknya, dan apa pun jenjang pendidikannya. Artinya, kalau dalam UU Sisdiknas, Pendidikan Agama Islam disajikan di semua jenis, bentuk, dan jenjang pendidikan. Sebab, sebagaimana termaktub pada Bab VI tentang jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Pada pasal 13 ayat (1), bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Pasal 14). Pasal 15 dinyatakan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Pada pasal 16 ditegaskan bahwa jalur, jenjang dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Kita bisa memahami kembali UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37 pada ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan A; b. Pendidikan Kewarganegaraan; c. Bahasa; d. Matematika; e. Ilmu Pengetahuan Alam; f. Ilmu Pengetahuan Sosial; g. Seni dan Budaya; h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga; i. Ketrampilan/Kejuruan, dan j. Muatan Lokal. Pada ayat (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan Agama; b. Pendidikan Kewarganegaraan, dan c. Bahasa. Selanjuitnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI yang mengatur delapan standar yang ditentukan, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian Pendidikan. Pada pasal 6 termaktub: (1) bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d. kelompok mata pelajaran estetika; e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah tiga kali mengalami perubahan. Perubahan pertama dengan PP Nomor 32 Tahun 2013, kedua dengan PP Nomor 13 Tahun 2015 dan ketiga dengan PP Nomor 57 Tahun 2021.

Dari kajian ini tampaknya sudah tidak memadai lagi jika membahas Pendidikan Agama Islam hanya merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003, peraturan pemerintah dan peraturan operasional lainnya. Mengkaji dan memetakan pendidikan Agama Islam Pselain harus merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (diundangkan 8 Juli 2003) juga pada UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (diundangkan 15 Oktober 2019) serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (ditetapkan 2 September 2021) Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren (30 November 2020), PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren (30 November 2020) dan PMA Nomor 32 Tahun 2020 tentang Ma’had Aly (30 November 2020). (bersmbung)

 

*) Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember, Direktur Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca