Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Selasa 25 Januari 2022, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar merilis data 198 pesantren yang terafiliasi dengan jaringan teroris, masing-masing dari faksi JAD (119 pesantren), JI (68 pesantren), dan JAK (11 pesantren). Data BNPT juga menyebut jaringan fund raising yang terafiliasi dengan kelompok teroris.
Respons akhirnya bermunculan dari sejumlah tokoh dan pegiat Islam, karena setelah dipaparkannya data tersebut muncul narasi yang semakin liar, seperti: Ini merugikan Islam dan pesantren, BNPT antipesantren serta terjangkit islamofobia, dan sebagainya. Jika jumlah pesantren sekitar 28 ribu dan jika data BNPT valid, berarti 198 pesantren adalah sekitar 0,007 persen pesantren yang bermasalah, sehingga perlu diklirkan dan diklarifikasi.
Penulis yang meminati kajian pesantren tertarik mengkritisi validasi data BNPT, agar siapa pun yang membahas tentang pesantren, terlebih jika dikaitkan dengan isu terorisme, harus dipahami lebih dulu apa yang disebut pesantren dalam nomenklatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Kategorisasi yang dibuat BNPT tentang pesantren jelas tidak valid. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2019, jelas sekali bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang harus memenuhi unsur paling sedikit (1) kiai, (2) santri yang bermukim di pesantren, (3) pondok atau asrama, (4) masjid atau mushala, dan (5) kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin (UU Nomor 18 Tahun 2019 Pasal 5 ayat 2).
Sekarang kita periksa data BNPT, banyak sekali memasukkan satuan pendidikan semacam rumah tahfiz, majelis taklim, forum liqo’, madrasah diniyah, TKIT/SDIT, kajian masjid atau musala yang tidak memenuhi kriteria untuk disebut pesantren, tetapi dianggap pesantren. Karenanya, data pesantren terlihat banyak dan membengkak.
Kita bisa mencermatinya lebih detail. Misalnya M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU, menulis tentang “Data BNPT: Akurasi, Presisi, dan Validasi” berhasil menelusuri lima variabel terkait data BNPT dimaksud. Salah satu contohnya adalah afiliasi pesantren JAD/ISIS di Jakarta-Bekasi. Di situ disebutkan Masjid At-Taqwa Tamini Square, Rumah Sobah Pejaten, Masjid As-Sajadah Utami, Radio Dakta, Yayasan Al-Marhamah, Musala Annuza’ Dama. Semuanya sangat jelas bukan pesantren. Masjid At-Taqwa adalah masjid di roof top mall Tamini Square, Jakarta Timur. Di situ ada kajian Islam, tetapi sama sekali bukan pesantren. Rumah Sobah adalah rumah pribadi milik Sobah Rahardjo Tjakraningrat alias Ummu Sobah. Alamatnya di Jalan Rambutan kavling 36 nomor 7 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jaksel. Dia simpatisan JAD/ISIS. Rumah itu telah dijual seharga Rp 10,5 miliar. Dia berangkat ke Suriah via Turki. Di sana dia dicekal, lalu dideportasi. Dia balik ke Indonesia dan ditangkap di kediamannya yang lain, di Jalan Rambutan 6 nomor 6 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jaksel. Aneh sekali disebut pesantren.
Masjid Assajadah Utami adalah masjid di Rawa Lumbu, Bekasi. Ini masjid, bukan pesantren, yang menggarap tema ruqyah syar’i untuk fund raising. Tidak layak disebut pesantren. Radio Dakta di Bekasi apalagi. Aneh dimasukkan jaringan pesantren. Yayasan Al-Marhamah, di Mustika Jaya, Bekasi, juga belum bisa digolongkan sebagai pesantren. Di sana ada masjid dan rumah tahfiz, tetapi tidak ada kiai yang mengajarkan kitab kuning. Ini baru satu daerah.
Jika didetailkan lagi satu per satu akan semakin diketahui bahwa data BNPT tidak valid dalam merumuskan kriteria pesantren. BNPT harus klir dalam menyampaikan kriteria pesantren sesuai UU Pesantren, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan stigma negatif terhadap pesantren yang berkontribusi sangat besar demi eksistensi NKRI dan penyiapan generasi bangsa.
Kedua, data BNPT banyak sekali yang redundant. Pesantren Al Mukmin di Jawa Tengah disebut di dua klaster: JAD/ISIS dan JI. Ini pesantrennya Abu Bakar Ba’asyir. Di klaster JI disebut Ponpes Al Mukmin Ngeruki, di klaster JAD disebut Al Mukmin Ds. Ngruki. Ini barangnya sama, disebut di dua tempat sehingga menggandakan jumlah. Begitu juga jaringan pesantren Ngruki lainnya. Ponpes Darus Syahada, Boyolali, disebut di klaster JAD. Di klaster JI, disebut dengan nama Darussahada. Ini barangnya sama. Ponpes Al-Muaddib, Cilacap, juga disebut di dua klaster. Di klaster JI disebut dengan nama Al-Muaddib, di klaster JAD disebut dengan nama Ponpes Putri Al Muaddib. Ini juga barangnya sama. Selain duplikasi, ini juga menunjukkan BNPT kebingungan dan kurang cermat dalam melakukan klasifikasi.
Ketiga, terkait dengan jaringan fund raising. M Kholid Syeirazi mencermati satu per satu pesantren dalam data BNPT, secara umum valid. Hanya ada satu nama yang masih menimbulkan tanda tanya besar, yakni: Yayasan Jendela Kemanusiaan Lestari (JKL). Ini disebutkan terafiliasi dengan JAD. Kalau tidak keliru, yayasan ini didirikan alumni IPB angkatan 31. Tahun 2020, berkolaborasi dengan instansi pemerintah dan swasta, JKL membuat program Kampoeng Merdeka di Bogor. Wujudnya memberikan fasilitas pendidikan seperti laptop dan beasiswa belajar. Peresmiannya dilakukan oleh Wali Kota Bogor Bima Arya. Mereka juga memberikan bansos dan masker dalam rangka pandemi, disponsori oleh Perum Bulog dan PT Zoom Infotek Telesindo. Rektor IPB menyambut baik inisiatif alumni IPB angkatan 31 yang mendirikan Yayasan JKL, dengan iringan doa “semoga dilancarkan rezeki sehat selalu dan berkah”. Apa betul JKL terafiliasi dengan JAD? Kalau betul, berarti Wali Kota Bogor, Rektor IPB, dan para sponsor kecolongan. Kalau tidak, sebaiknya JKL menyampaikan surat keberatan dan klarifikasi.
Sebagai catatan akhir, ke depan, siapa pun yang menilai pesantren, terlebih jika dikaitkan dengan isu sensitif seperti terorisme, harus lebih hati-hati. Sebab, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhususan, sehingga diapresiasi oleh pemerintah. Karenanya, ada undang-undang khusus tentang pesantren, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Dari perspektif undang-undang ini semakin jelas bahwa masjid itu bukan pesantren, meskipun di pesantren harus ada masjid atau musalanya. Majelis taklim itu bukan pesantren, meskipun pesantren bisa mendirikan majelis taklim. Madrasah diniyah itu pun bukan pesantren, meskipun pesantren bisa mendirikan madrasah diniyah. Rumah tahfiz itu pun bukan pesantren, meskipun di pesantren tidak dilarang melengkapi satuan pendidikannya dengan rumah tahfiz. Apalagi hanya kuliah atau kajian Subuh di masjid, musala, rumah, tidak bisa dikategorikan sebagai pesantren.
Pesantren tetaplah pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhasan, dan tidak semua lembaga pendidikan bisa disebut pesantren. Sebab, untuk bisa disebut pesantren harus memenuhi kriteria paling sedikit lima unsur, yakni kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin.
Kelima unsur pesantren inilah yang menjadikan pesantren memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh satuan lembaga pendidikan lainnya. Kelima unsur inilah yang menjadikan pesantren tetap eksis dan berhasil menapaki sejarah selama ratusan tahun lamanya. Peran pesantren sangat nyata dalam pengembangan generasi bangsa, dan telah teruji dalam sejarah perjuangan bangsa, karena pesantren memang telah lahir ratusan tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA adalah Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember, Guru Besar Pendidikan Islam UIN KHAS Jember dan Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur.