Rahasia di Balik Nama UIN KHAS Jember

Prof Dr H Abd. Halim Soebahar MA*

Satu-satunya perguruan tinggi keagamaan Islam yang namanya paling unik dan memiliki distingsi sangat tinggi adalah UIN KHAS Jember, UIN yang KHAS Jember. UIN Jember apanya yang khas? Tidak akan pernah ada nama institusi serupa di kabupaten/kota lain, di provinsi lain, ataupun di negara lain. Jadi, benar-benar menjadi UIN KHAS yang hanya ada di Jember. Disingkat UIN KHAS Jember enak didengar, mudah diucapkan dan mudah diingat. Jika ditulis lengkap menjadi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember akan menjadi lebih mantap, lebih menggetarkan hati dan tentu sangat menginspirasi.

Kiai Haji Achmad Siddiq (selanjutnya ditulis KH Achmad Siddiq) adalah seorang ulama, zuama, dan cendekia yang sangat terkenal dan disegani. Lahir di  Jember pada Ahad Legi,  24 Januari  1926 (10 Rajab  1344), atau tujuh hari  sebelum  kelahiran Jamiyyah  Nahdlatul  Ulama, dan  wafat  pada hari  Rabu, 23 Januari  1991  (7 Rajab  1411)  di  Surabaya. KH Achmad Siddiq adalah  putra bungsu dari sembilan bersaudara pasangan Kiai  Muhammad Siddiq berasal dari Lasem dengan Nyai Hj Zakiah  (Nyai  Maryam)  yang asli Jember.

Tulisan pendek ini hanya ingin memotret kerangka berpikir KH Achmad Siddiq dan sebagian pemikiran KH Achmad Siddiq yang sangat menginspirasi. Dalam berbagai momentum, KH Achmad Siddiq selalu proaktif menyikapi problem aktual dari perspektif keislaman. Penyikapan beliau selalu berpijak pada pedoman berpikir atau kerangka berpikir keagamaan yang didesain sendiri secara sederhana sejak tahun 1969 dan dikenal dengan konsep Fikroh Nadliyah yang berisi “Lima dalil perjuangan dan lima dalil Hukum”.

Menurut KH Achmad Siddiq yang dimaksud lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain, sekaligus penyusunan program perjuangan dan pelaksanaan program perjuangan. Lima dalil perjuangan dimaksud, meliputi: (1) Jihad Fi Sabilillah, (2) Izzul Islam wal Muslimin, (3) At-Tawassuth/Al-I’tidal/At-Tawazun, (4) Saddudz Dzari’ah, dan (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sedang yang dimaksud lima dalil hukum oleh KH Achmad Siddiq adalah patokan-patokan pikiran yang dipergunakan imam-imam mujtahid di dalam berijtihad/ber-istimbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh imam-imam madzhab Syafi’i. Adapun lima dalil hukum, meliputi: (1) segala sesuatu dinilai menurut niatnya, (2) bahaya harus disingkirkan, (3) adat kebiasaan dikukuhkan, (4) sesuatu yang sudah yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, dan (4) kesukaran (kemasyakatan) membuka kelonggaran.

Dengan demikian jika lima dalil perjuangan digabungkan dengan lima dalil hukum ini merupakan sepuluh dalil berpikir, ibarat dua pasang mata secara bersama dipergunakan melihat, meneliti dan menilai segala sesuatu, termasuk persoalan keagamaan, persoalan kebangsaan, dan sebagainya. Juga tidak dimaksudkan dengan mengerti dan memahami lima dalil hukum ini saja, kemudian kita menjadi mujtahid di bidang hukum fiqhiyah, karena untuk memiliki kewenangan berijtihad diperlukan syarat-syarat khusus yang meliputi seluk beluk Alquran, hadis, qiyas, dan bahasa arab yang mendalam. Dengan memahami ini, dimaksudkan supaya kita lebih mudah dan lebih menyadari kebenaran madzhab Syafi’i khususnya dan jalan pikiran Ahlussunnah Wal Jamaah pada umumnya.

Berpikir dari perspektif keagamaan seperti yang dilakukan oleh KH Achmad Siddiq juga banyak dikemukakan oleh kiai-kiai, yang memiliki keahlian dalam filsafat dan kaidah-kaidah hukum Islam. Namun, di tangan KH Achmad Siddiq, pandangan keagamaan seperti itu bisa diungkap secara aktual dengan ungkapan yang menarik sehingga membuat pendengar sangat tertegun. Itu juga bagian dari kemampuan berkomunikasi KH Achmad Siddiq dalam merespon permasalahan aktual, segala sesuatu dilihatnya dari kerangka berpikir keagamaan, yang beliau sebut sebagai dalil perjuangan dan dalil hukum, termasuk ketika berpikir tentang Asas Tunggal Pancasila, Tri Ukuwwah, Pancasila final,  dan sebagainya.

Pertama, pemikirannya tentang Asas Tunggal Pancasila. Ketika Presiden Soeharto melemparkan gagasan tentang Asas Tunggal Pancasila dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1982, secara diam-diam KH Achmad Siddiq menyetujuinya. Pendiriannya waktu itu tentu menimbulkan kontroversi di kalangan Ulama. Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama Tahun 1983 di Situbondo, KH Achmad Siddiq yang kala itu masih direspon kontroversial dipercaya untuk menyampaikan prasaran tentang konsep penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi politik kemasyarakatan. Lontaran pemikirannya yang menghentakkan justru di saat umat Islam khususnya warga NU sedang terbuai dalam kegalauan sikap terhadap Pancasila. Kegalauan ini di kalangan Umat Islam menjadi sebuah bahana persoalan. Gelombang emosi dan arus pendapat yang beraneka ragam muncul, dari yang apologetik, aprioristik sampai yang moderat dan lebih jernih. Gugus situasi ini menjadikan umat Islam Indonesia seperti kehilangan pegangan. Haruskah umat Islam menerima penggantian asas Islam oleh Pancasila? Haruskah awan sejarah yang mengonfrontasikan Islam dengan Pancasila kembali menyeruak? Laikkah suatu ideologi produk pemikiran manusia mengganti produk Tuhan? Dan masih ada selaksa pertanyaan yang pada dasarnya bersumber dari kegalauan dan kerancuan gelombang pemikiran. Pada moment seperti itulah KH Achmad Siddiq tampil piawai.

Argumentasinya yang mendasar dan meyakinkan baik dari segi agama, politik maupun sejarah. Lontaran pemikirannya yang jernih dan segar, ditopang dengan penampilan yang penuh pesona dan kharisma adalah suatu “credit point” yang memungkinkan KH Achmad Siddiq menaiki puncak kepemimpinan NU pada Muktamar setahun berikutnya.

Menurut KH Achmad Siddiq, penetapan Asas Tunggal Pancasila merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat plural seperti Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi justru diilhami oleh “Piagam Madinah”, suatu piagam tentang kesepakatan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok non-muslim di Madinah untuk membangun masyarakat politik bersama.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa salah satu jasa besar Kiai Achmad adalah upaya menggolkan Asas Pancasila di tubuh NU. Presiden Soeharto dalam pidato resmi pada pembukaan Muktamar NU 1989 di Yogyakarta mengakui hasil upayanya itu, menegaskan bahwa NU adalah satu ormas keagamaan yang memelopori penerimaan asas Tunggal Pancasila, dan KH Achmad Siddiq adalah orang yang boleh dikatakan sebagai konseptor utama keputusan Munas NU tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984.

Kedua, pemikirannya tentang Tri Ukhuwwah. KH Achmad Siddiq terinspirasi dengan Piagam Madinah, bagaimana Nabi Muhammad Saw memberi keteladanan membangun ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan berdasar keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan berdasar kebangsaan), dan sekaligus ukhuwwah basyariyah (persaudaraan berdasar kemanusiaan). Produk “ijtihad” demikian tentu akan berimplikasi panjang dan mendasar bagi kehidupan Umat Islam Indonesia. Karena itu, kebesaran KH Achmad Siddiq bukan diukur dari sejumlah kitab dan buku-buku yang ditulis, karena KH Achmad Siddiq memang bukan penulis produktif. Melainkan dari produk “ijtihad” yang berimplikasi panjang dan mendasar, bahkan bersifat revolusioner terhadap kehidupan dan pemikiran umat Islam dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara (bersambung).

 

* Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA, Direktur Pascasarjana IAIN Jember, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, dan Pengasuh Pesantren Shofa Marwa Jember.