Sudah hampir dua tahun kita hidup dalam tradisi era pandemi. Era ini hadir begitu saja di luar prediksi kita, tapi telah mengubah pola pikir dan tradisi kita. Perubahan tradisi kita bukan hanya dalam ranah kehidupan pribadi, tapi sekaligus ranah publik. Bahkan telah menyentuh ke semua sisi kehidupan manusia, tak terkecuali perihal hablun minallah dan hablun minannas. Tulisan berikut ingin memotivasi perlunya menyegarkan kembali hablun minallah dan hablun minannas.
Sependek pengetahuan kami, setiap ibadah yang diperintahkan Allah SWT adalah untuk meningkatkan hubungan vertikal dan horizontal secara seimbang. Hubungan vertikal yaitu hubungan kita dengan Allah (hablun min Allah), sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah, khususnya manusia (hablun min annas). Hubungan ini merupakan bentuk komunikasi yang bersifat eksternal antara manusia dengan di luar dirinya. Namun, ada satu bentuk komunikasi yang sering luput dari perhatian kita, yaitu hubungan dengan diri sendiri (hablun min annafs).
Merajut hubungan dengan Allah, dengan sesama dan dengan diri sendiri terasa semakin sering diabaikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan iklim mutakhir. Merajut hubungan dengan Allah, misalnya, kita sering terjebak pada yang bersifat rutinitas daripada bentuk ketundukan kepada-Nya. Beribadah seringkali hanya sebagai seremonial tidak menghadirkan kekhusyukan dan keikhlasan, dan beribadah menjadi sebuah beban bukan kebutuhan, dan beribadah akhirnya kurang berimplikasi terhadap kehidupan pribadi dan sosial.
Islam bukanlah agama yang memerintahkan untuk hanya beribadah kepada Allah tanpa memikirkan kehidupan dunia. Begitu pun sebaliknya, tidak juga hanya mengejar kehidupan dunia saja dengan melalaikan akhirat. Tetapi setiap ibadah itu harus seimbang antara dunia dan akhirat. Salat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam yang mendoakan seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Artinya, dalam bacaan salat pun ada hubungan antara Allah dan sesama manusia. Begitu pun dengan ibadah puasa di bulan Ramadan, puasa merupakan ibadah yang penilaiannya langsung oleh Allah, setelah satu bulan berpuasa yang merupakan peningkatan hubungan dengan Allah, maka di akhir Ramadan sebelum salat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang merupakan peningkatan hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Dalam Islam, salah satu media merajut hubungan dengan Allah adalah salat. Jika kita melakukan refleksi, akan bisa memahami bahwa ketika memulai salat kita awali dengan bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul Alamin. Dan, ketika mengakhiri salat, kita secara sadar menyatakan komitmen kedamaian dengan mengucap salam, dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang bahwa salat akan berimplikasi terciptanya kedamaian. Alangkah dahsyatnya jika kita melaksanakan salat berjamaah, tentu sekat-sekat primordial, sekat-sekat partai politik, sekat-sekat ormas keagamaan, dan berbagai hambatan psikologis lain akan luntur disinari dengan statemen kita: “sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul Alamin.”
Dalam hadis banyak dikemukakan, bahwa Allah senantiasa menunggu hamba-Nya yang mau berkomunikasi dengan-Nya. Pintu maaf-Nya selalu terbuka, mengingat Allah adalah Maha Mendengar, Maha Penerima Taubat, dan pemberi kedamaian. Ketika hati seorang mukmin telah dipenuhi rasa cinta dan rindu pada Allah, maka panggilan salat merupakan panggilan yang indah dan menggairahkan, laiknya anak muda yang jatuh cinta selalu ingin berjumpa kekasihnya, atau seorang ibu yang merindukan untuk bersua anak-anaknya yang berada jauh darinya. Dalam konteks inilah menjadi sangat mudah dipahami mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar seorang muslim hendaknya salat di awal waktu, jangan menunda salat, bergegaslah memenuhi panggilan Allah SWT.
Betapa sejuk dan ceria ketika menjalani salat. Semua kegiatan ditinggalkan karena tidak ada yang lebih utama ketimbang menghadap Allah SWT. Jika kita salat dan merasakan perasaan rindu dan cinta pada Allah, maka kita akan betah berlama-lama, merasakan aliran energi cinta dan damai dari-Nya. Kalau ini menjadi kebiasaan dan kualitas salat kita, maka ketika kita mengakhiri salat dengan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri, kita akan melanjutkannya dengan menebar salam perdamaian pada siapa pun yang dekat dengan kita, baik di lingkungan keluarga, teman kantor, maupun pergaulan sehari-hari. Pendeknya, mereka yang senang salat adalah juga mereka yang senang menebar rasa damai di hati dan bagi lingkungannya.
Artinya, hubungan dengan sesama manusia pun akan baik, karena secara empirik, tidak sedikit komunikasi dengan sesama yang akhirnya hanya menorehkan noda, luka, dan petaka. Jika berkomunikasi dengan sesuatu di luar dirinya saja sulit, maka akan lebih sulit lagi berkomunikasi dengan diri sendiri, ibarat melihat tengkuk sendiri, “begitu dekat, tetapi begitu jauh dan sulitnya untuk dilihat dan ditelisik”. Akibatnya, area untuk melakukan objektifikasi kepada objek komunikasi, yaitu diri sendiri, menjadi sangat sempit. Karenanya, bukan hal aneh ketika terjadi gejolak dalam diri sendiri, ada kecenderungan untuk melemparkan kesalahan kepada orang lain. Maka, ada pepatah “bila ingin tahu tentang pribadi seseorang yang sesungguhnya, tanyakanlah kepada kawannya”. Ini menunjukkan betapa sulitnya seseorang untuk mendeskripsikan dirinya sendiri secara objektif.
Mengenal diri sendiri sangat penting untuk membangun hubungan dengan manusia dan Allah. Salah satu bentuk mengenali diri sendiri adalah mengenal apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Ibarat rumah, sebelum menata isinya dan menaruh pernak pernik, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenai kelebihan dan kekurangan serta keterbatasan tata ruang atau desain interiornya. Jangan sampai membeli kursi ukuran jumbo dan berbentuk L, padahal ruang tamu yang tersedia ukurannya kecil dan bundar. Jika batas dan kekurangan rumahnya terletak pada ruangan tamu yang sempit, tidak boleh dipaksa diisi dengan barang berukuran jumbo. Mungkin barang itu bisa masuk, tetapi tidak serasi, tidak nyaman dilihat dan ditempati. Padahal ruang sempit lagi kecil juga akan tetap nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan mengenali dan menerima keterbatasan ruang yang kita punya, tidak perlu ada pikiran, ucapan dan sikap yang menuduh si pembuat kursi jumbolah yang tidak tahu diri, salah, atau bodoh. Saat tuduhan dilontarkan, satu jari kita menunjuk ke kebodohan orang lain, tanpa disadari bahwa keempat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri.
Akhirnya, sebagai pamungkas, kita perlu melakukan refleksi meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Kita bisa mengambil ibrah tentang salat: ketika memulai salat kita bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, kupersembahkan untuk Allah Rabbul Alamin. Dan, ketika kita mengakhiri salat, kita menyatakan komitmen kedamaian dengan mengucapkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang, bahwa salat kita berimplikasi terhadap terciptanya kedamaian bagi sesama, apa pun partainya, apa pun ormasnya, dan apa pun paham keagamaannya.
Nah, kini saatnya kita menyegarkan kembali hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan sesama. Karena itulah jalan bagi kita untuk menjalani kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
*Prof Dr H. Abd. Halim Soebahar MA adalah Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Shofa Marwa Jember.