30.4 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Dari Balap Liar, Konflik Warga Lokal, hingga Potensi Wisata Konservasi

Siapa tidak mengenal jalur lintas selatan atau JLS. Di jalur penghubung Jember-Lumajang itu, berbagai cerita tersaji di sana. Dari yang menarik, unik, sampai bikin pilu. Semuanya ada. Berikut ulasannya.

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sore menjadi waktu yang pas untuk menikmati keindahan alam sekitar pesisir. Tepatnya di kawasan JLS, yang juga disebut Jalur Pantai Selatan atau Pansela. Apa pun sebutannya, semua sepakat bahwa JLS itu eksotis. Jalannya mulus, lebar, dengan spot pemandangan yang jauh ke depan. Apalagi ketika senja mulai memerah.

Siapa pun yang melintas pasti kepincut. Mereka akan dimanjakan dengan keindahan pantai selatan yang terkenal akan garang ombaknya. Namun, menurut warga, kemulusan jalur JLS itu justru disalahgunakan. Biasanya anak-anak remaja yang iseng. “Mereka yang sering balapan liar. Biasanya tengah malam,” kata Romlah, salah satu warga pemilik warung kopi di sekitar JLS, Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas.

Pemandangan balap liar itu memang sering ditemui. Bukan hanya warga setempat, kepolisian juga kerap mendapati mereka adu nyali di atas aspal. Bahkan, mereka juga langganan terjaring razia. Namun, seperti tidak ada habisnya, balap liar tetap saja ada dan masih eksis hingga hari ini. Kapolsek Gumukmas Iptu Subagio membenarkan hal tersebut. “Balap liar memang sering, tapi kami terus upayakan untuk mencegah aksi balap liar itu,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Mobile_AP_Rectangle 2

Tak sampai di situ, di kawasan sempadan sisi selatan JLS juga menawarkan spot wisata pantai yang menarik. Bahkan di beberapa titik atau lokasi, sudah tenar dikunjungi. Seperti Pantai Cemara, atau Pantai Tawang Samudra yang masuk wilayah Kecamatan Puger. Itu di sisi selatan JLS. Jika beranjak ke sisi utara, bentangan areal pertanian milik warga juga terlihat menyejukkan sejauh mata memandang. Mereka ada yang bercocok tanam padi. Beberapa di antaranya menanam semangka dan mengelola tambak tradisional.

Di balik kedua sisi jalur JLS itu, rupanya terdapat hamparan pasir. Beberapa di antaranya masih berupa gundukan, berbentuk bukit kecil. Namun, ada juga yang sudah habis. Bukan diterjang ombak, tapi memang diborong untuk diambil pasirnya.

Bahkan, sempat tersiar kabar bahwa pasir itu menjadi biang konflik warga. Satu dari sekian cerita dari sisi JLS. Meski saat ini isu tersebut sudah meredup, tapi muncul isu baru yang memantik konflik masyarakat setempat. Yakni soal isu tambak yang disebut mengancam kelestarian lingkungan.

Kabar terbaru, konflik warga lokal dengan para pengelola tambak di sekitar sana juga mencuat. Dari persoalan limbah tambak, ketenagakerjaan, sampai soal corporate sosial responsibility atau CSR.

Walau sederet konflik itu mulai mereda, tapi bukan berarti sudah selesai. Muhklas, Ketua BPD Kepanjen, menyatakan, sewaktu-waktu konflik itu bisa meledak kembali. “Karena itu, butuh penanganan segera atau keterlibatan pemerintah daerah. Jangan sampai warga memakai cara sendiri,” harapnya.

Jalur yang terbentang dari Desa Puger Kulon hingga perbatasan Lumajang itu juga menyuguhkan cerita beragam. Selain isu konflik lokal soal lingkungan dan aktivitas urakan anak-anak muda dan remaja, sebenarnya juga ada sejumlah kabar yang tak kalah menarik.

Kabar itu datang dari sejumlah warga Kepanjen yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Daerah Sempadan Pantai (Pokmaswas). Kabarnya, mereka kerap mendapati aktivitas penyu belimbing, hewan langka yang dilindungi dari kepunahannya. Penyu belimbing itu biasanya mendarat di kawasan sempadan pantai, sekitar JLS di Desa Kepanjen.

Sebagaimana diketahui, penyu belimbing menjadi spesies penyu besar dari semua jenis penyu yang ada. Keberadaannya pun sudah cukup jarang ditemui. Bahkan, tergolong hewan langka yang dilindungi. Kini, informasi keberadaan penyu belimbing tersebut masih terus dikaji oleh sejumlah organisasi nonpemerintah (ornop) dan aktivis pemerhati lingkungan.

“Berdasar keterangan Pokmaswas, pendaratannya di bulan Juli, Agustus, hingga September setiap tahunnya. Ke depan, di bulan-bulan itu, kami akan melakukan kajian dan mengumpulkan data,” kata Muhammad Nur Wahid, Ketua Dewan Eksekutif LPR KuaSA, lembaga ornop yang fokus pada isu lingkungan di Jember.

Walau pendaratan penyu belimbing itu belum sepenuhnya diketahui keberadaannya, tapi warga setempat dan para nelayan banyak yang membenarkan. Namun, mereka tidak ada yang memiliki dokumentasi otentik atau catatan kebenaran keberadaan spesies langka tersebut.

Jika benar ada penyu belimbing, hal itu bisa menjadi potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata konservasi. Para aktivis menilai, wisata konservasi dengan menonton penyu bertelur atau penyu mendarat akan lebih menjaga kelestarian lingkungan sempadan pantai. Serta tetap bisa menjadi penggerak perekonomian masyarakat setempat. Ketimbang eksploitasi sumber daya alamnya. Misalnya penambangan pasir atau ekspansi tambak.

 

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sore menjadi waktu yang pas untuk menikmati keindahan alam sekitar pesisir. Tepatnya di kawasan JLS, yang juga disebut Jalur Pantai Selatan atau Pansela. Apa pun sebutannya, semua sepakat bahwa JLS itu eksotis. Jalannya mulus, lebar, dengan spot pemandangan yang jauh ke depan. Apalagi ketika senja mulai memerah.

Siapa pun yang melintas pasti kepincut. Mereka akan dimanjakan dengan keindahan pantai selatan yang terkenal akan garang ombaknya. Namun, menurut warga, kemulusan jalur JLS itu justru disalahgunakan. Biasanya anak-anak remaja yang iseng. “Mereka yang sering balapan liar. Biasanya tengah malam,” kata Romlah, salah satu warga pemilik warung kopi di sekitar JLS, Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas.

Pemandangan balap liar itu memang sering ditemui. Bukan hanya warga setempat, kepolisian juga kerap mendapati mereka adu nyali di atas aspal. Bahkan, mereka juga langganan terjaring razia. Namun, seperti tidak ada habisnya, balap liar tetap saja ada dan masih eksis hingga hari ini. Kapolsek Gumukmas Iptu Subagio membenarkan hal tersebut. “Balap liar memang sering, tapi kami terus upayakan untuk mencegah aksi balap liar itu,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Tak sampai di situ, di kawasan sempadan sisi selatan JLS juga menawarkan spot wisata pantai yang menarik. Bahkan di beberapa titik atau lokasi, sudah tenar dikunjungi. Seperti Pantai Cemara, atau Pantai Tawang Samudra yang masuk wilayah Kecamatan Puger. Itu di sisi selatan JLS. Jika beranjak ke sisi utara, bentangan areal pertanian milik warga juga terlihat menyejukkan sejauh mata memandang. Mereka ada yang bercocok tanam padi. Beberapa di antaranya menanam semangka dan mengelola tambak tradisional.

Di balik kedua sisi jalur JLS itu, rupanya terdapat hamparan pasir. Beberapa di antaranya masih berupa gundukan, berbentuk bukit kecil. Namun, ada juga yang sudah habis. Bukan diterjang ombak, tapi memang diborong untuk diambil pasirnya.

Bahkan, sempat tersiar kabar bahwa pasir itu menjadi biang konflik warga. Satu dari sekian cerita dari sisi JLS. Meski saat ini isu tersebut sudah meredup, tapi muncul isu baru yang memantik konflik masyarakat setempat. Yakni soal isu tambak yang disebut mengancam kelestarian lingkungan.

Kabar terbaru, konflik warga lokal dengan para pengelola tambak di sekitar sana juga mencuat. Dari persoalan limbah tambak, ketenagakerjaan, sampai soal corporate sosial responsibility atau CSR.

Walau sederet konflik itu mulai mereda, tapi bukan berarti sudah selesai. Muhklas, Ketua BPD Kepanjen, menyatakan, sewaktu-waktu konflik itu bisa meledak kembali. “Karena itu, butuh penanganan segera atau keterlibatan pemerintah daerah. Jangan sampai warga memakai cara sendiri,” harapnya.

Jalur yang terbentang dari Desa Puger Kulon hingga perbatasan Lumajang itu juga menyuguhkan cerita beragam. Selain isu konflik lokal soal lingkungan dan aktivitas urakan anak-anak muda dan remaja, sebenarnya juga ada sejumlah kabar yang tak kalah menarik.

Kabar itu datang dari sejumlah warga Kepanjen yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Daerah Sempadan Pantai (Pokmaswas). Kabarnya, mereka kerap mendapati aktivitas penyu belimbing, hewan langka yang dilindungi dari kepunahannya. Penyu belimbing itu biasanya mendarat di kawasan sempadan pantai, sekitar JLS di Desa Kepanjen.

Sebagaimana diketahui, penyu belimbing menjadi spesies penyu besar dari semua jenis penyu yang ada. Keberadaannya pun sudah cukup jarang ditemui. Bahkan, tergolong hewan langka yang dilindungi. Kini, informasi keberadaan penyu belimbing tersebut masih terus dikaji oleh sejumlah organisasi nonpemerintah (ornop) dan aktivis pemerhati lingkungan.

“Berdasar keterangan Pokmaswas, pendaratannya di bulan Juli, Agustus, hingga September setiap tahunnya. Ke depan, di bulan-bulan itu, kami akan melakukan kajian dan mengumpulkan data,” kata Muhammad Nur Wahid, Ketua Dewan Eksekutif LPR KuaSA, lembaga ornop yang fokus pada isu lingkungan di Jember.

Walau pendaratan penyu belimbing itu belum sepenuhnya diketahui keberadaannya, tapi warga setempat dan para nelayan banyak yang membenarkan. Namun, mereka tidak ada yang memiliki dokumentasi otentik atau catatan kebenaran keberadaan spesies langka tersebut.

Jika benar ada penyu belimbing, hal itu bisa menjadi potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata konservasi. Para aktivis menilai, wisata konservasi dengan menonton penyu bertelur atau penyu mendarat akan lebih menjaga kelestarian lingkungan sempadan pantai. Serta tetap bisa menjadi penggerak perekonomian masyarakat setempat. Ketimbang eksploitasi sumber daya alamnya. Misalnya penambangan pasir atau ekspansi tambak.

 

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sore menjadi waktu yang pas untuk menikmati keindahan alam sekitar pesisir. Tepatnya di kawasan JLS, yang juga disebut Jalur Pantai Selatan atau Pansela. Apa pun sebutannya, semua sepakat bahwa JLS itu eksotis. Jalannya mulus, lebar, dengan spot pemandangan yang jauh ke depan. Apalagi ketika senja mulai memerah.

Siapa pun yang melintas pasti kepincut. Mereka akan dimanjakan dengan keindahan pantai selatan yang terkenal akan garang ombaknya. Namun, menurut warga, kemulusan jalur JLS itu justru disalahgunakan. Biasanya anak-anak remaja yang iseng. “Mereka yang sering balapan liar. Biasanya tengah malam,” kata Romlah, salah satu warga pemilik warung kopi di sekitar JLS, Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas.

Pemandangan balap liar itu memang sering ditemui. Bukan hanya warga setempat, kepolisian juga kerap mendapati mereka adu nyali di atas aspal. Bahkan, mereka juga langganan terjaring razia. Namun, seperti tidak ada habisnya, balap liar tetap saja ada dan masih eksis hingga hari ini. Kapolsek Gumukmas Iptu Subagio membenarkan hal tersebut. “Balap liar memang sering, tapi kami terus upayakan untuk mencegah aksi balap liar itu,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Tak sampai di situ, di kawasan sempadan sisi selatan JLS juga menawarkan spot wisata pantai yang menarik. Bahkan di beberapa titik atau lokasi, sudah tenar dikunjungi. Seperti Pantai Cemara, atau Pantai Tawang Samudra yang masuk wilayah Kecamatan Puger. Itu di sisi selatan JLS. Jika beranjak ke sisi utara, bentangan areal pertanian milik warga juga terlihat menyejukkan sejauh mata memandang. Mereka ada yang bercocok tanam padi. Beberapa di antaranya menanam semangka dan mengelola tambak tradisional.

Di balik kedua sisi jalur JLS itu, rupanya terdapat hamparan pasir. Beberapa di antaranya masih berupa gundukan, berbentuk bukit kecil. Namun, ada juga yang sudah habis. Bukan diterjang ombak, tapi memang diborong untuk diambil pasirnya.

Bahkan, sempat tersiar kabar bahwa pasir itu menjadi biang konflik warga. Satu dari sekian cerita dari sisi JLS. Meski saat ini isu tersebut sudah meredup, tapi muncul isu baru yang memantik konflik masyarakat setempat. Yakni soal isu tambak yang disebut mengancam kelestarian lingkungan.

Kabar terbaru, konflik warga lokal dengan para pengelola tambak di sekitar sana juga mencuat. Dari persoalan limbah tambak, ketenagakerjaan, sampai soal corporate sosial responsibility atau CSR.

Walau sederet konflik itu mulai mereda, tapi bukan berarti sudah selesai. Muhklas, Ketua BPD Kepanjen, menyatakan, sewaktu-waktu konflik itu bisa meledak kembali. “Karena itu, butuh penanganan segera atau keterlibatan pemerintah daerah. Jangan sampai warga memakai cara sendiri,” harapnya.

Jalur yang terbentang dari Desa Puger Kulon hingga perbatasan Lumajang itu juga menyuguhkan cerita beragam. Selain isu konflik lokal soal lingkungan dan aktivitas urakan anak-anak muda dan remaja, sebenarnya juga ada sejumlah kabar yang tak kalah menarik.

Kabar itu datang dari sejumlah warga Kepanjen yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Daerah Sempadan Pantai (Pokmaswas). Kabarnya, mereka kerap mendapati aktivitas penyu belimbing, hewan langka yang dilindungi dari kepunahannya. Penyu belimbing itu biasanya mendarat di kawasan sempadan pantai, sekitar JLS di Desa Kepanjen.

Sebagaimana diketahui, penyu belimbing menjadi spesies penyu besar dari semua jenis penyu yang ada. Keberadaannya pun sudah cukup jarang ditemui. Bahkan, tergolong hewan langka yang dilindungi. Kini, informasi keberadaan penyu belimbing tersebut masih terus dikaji oleh sejumlah organisasi nonpemerintah (ornop) dan aktivis pemerhati lingkungan.

“Berdasar keterangan Pokmaswas, pendaratannya di bulan Juli, Agustus, hingga September setiap tahunnya. Ke depan, di bulan-bulan itu, kami akan melakukan kajian dan mengumpulkan data,” kata Muhammad Nur Wahid, Ketua Dewan Eksekutif LPR KuaSA, lembaga ornop yang fokus pada isu lingkungan di Jember.

Walau pendaratan penyu belimbing itu belum sepenuhnya diketahui keberadaannya, tapi warga setempat dan para nelayan banyak yang membenarkan. Namun, mereka tidak ada yang memiliki dokumentasi otentik atau catatan kebenaran keberadaan spesies langka tersebut.

Jika benar ada penyu belimbing, hal itu bisa menjadi potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata konservasi. Para aktivis menilai, wisata konservasi dengan menonton penyu bertelur atau penyu mendarat akan lebih menjaga kelestarian lingkungan sempadan pantai. Serta tetap bisa menjadi penggerak perekonomian masyarakat setempat. Ketimbang eksploitasi sumber daya alamnya. Misalnya penambangan pasir atau ekspansi tambak.

 

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Gemar Tadarus Jadi Golongan Terbaik

Ragu pada Program Sendiri

Menara Pagoda Dekorasi Tionghoa

Ngabuburit di Atas Getek

Wajib Dibaca