23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

IPSI Susun Konsep Kesepakatan

PSHT: Merobohkan Tugu Bukan Solusi

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jember menjadi salah satu lembaga yang ketiban sampur atas serangkaian kekerasan yang melibatkan anggota perguruan. Oleh karenanya, cabang olahraga (cabor) yang membawahi perguruan silat ini selalu dilibatkan dalam pertemuan yang membahas persoalan tersebut. Hasilnya, IPSI telah merumuskan konsep kesepakatan yang diharapkan menjadi komitmen semua perguruan silat yang ada di Jember.

Ketua IPSI Jember Agus Supaat mengatakan, selain telah memiliki konsep untuk dijadikan komitmen semua perguruan, pihaknya juga menyiapkan serangkaian sanksi bila komitmen tersebut dilanggar. Oleh karena itu, setelah pertemuan yang berlangsung Kamis 27 Mei itu, rencananya bakal juga ada pertemuan susulan bersama forkopimda. “Akan undang semua perguruan silat. Nanti akan dipertemukan dengan forkopimda,” terangnya, kemarin (28/5).

Berdasarkan data yang ada di IPSI, jumlah perguruan silat yang ada di Jember sebanyak 42 perguruan. Diharapkan, semua perguruan itu hadir dan menandatangani komitmen bersama itu. Salah satu isi komitmen yang bakal disodorkan dalam pertemuan nanti adalah, dalam merekrut anggota, perguruan pencak silat diharapkan betul-betul selektif. Sehingga didapatkan calon pendekar yang mempunyai kepribadian yang baik dan sadar bahwa pendekar harus bisa memberi manfaat pada lingkungan. Bukan sebaliknya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Selain itu, juga ada poin diharapkan kuantitas anggota masih dalam cakupan pengendalian struktur perguruan. Dengan begitu, masih dapat dilakukan pengawasan dan pengendalian secara efektif sampai tingkat bawah. Selain itu, juga mengajarkan persatuan sebagai sesama warga bangsa, hingga keguyuban antarperguruan silat. “Juga ada sanksi tegas sampai pemecatan apabila ada anggota yang melakukan tindakan tidak terpuji. Apalagi sampai bentrokan dan melanggar hukum,” ucapnya.

Dia mengakui, perguruan silat yang eksis hingga tingkat desa rawan terjadi gesekan. Sebab, rata-rata, anak muda yang ikut bergabung. Sehingga, pembinaan silat juga diarahkan ke pembinaan atlet. “Setiap perguruan itu ada pembinaan ke arah atlet, dan umumnya dipusatkan di tempat tertentu. Cuma pembinaan atlet sekarang tertutup oleh persoalan itu,” paparnya.

Agus Supaat menambahkan, bentrok antarperguruan silat atau antara anggota perguruan silat dengan masyarakat umum adalah bentuk pemutusan tali silaturahmi. Bila di lapangan teridentifikasi muncul bentrok atau tindakan kekerasan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab ketua atau pengurus perguruan yang bersangkutan.

Menurut catatan Agus Supaat, gesekan antarpesilat di Jember setidaknya terjadi mulai 2015 lalu. Salah satu faktornya adalah terlalu masifnya perguruan sampai ke tingkat desa. Karena benturan antarperguruan sering terjadi di daerah pinggiran, maka konsep yang disodorkan itu agar dibentuk forum perguruan pencak silat sampai tingkat desa dengan pembina bhabinkamtibmas dan babinsa. “Cuma, yang perlu ditekankan lagi ke anak didik bahwa mewujudkan persatuan dan kebinekaan sesama warga bangsa itu penting. Kemudian, silaturahmi sesama insan beragama itu juga penting,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Jono Wasinuddin menyatakan, pihaknya tidak tanda tangan dalam pertemuan yang berlangsung di DPRD, Kamis (27/5) kemarin. Pertemuan yang menghasilkan tiga kesepakatan itu, juga merekomendasi tentang penertiban tugu perguruan. Jono mengaku, dia tidak tanda tangan karena masih ingin bertemu dengan saudara-saudara PSHT lain untuk menanyakan sikap atas kesepakatan tersebut. “Kami ingin diberi kesempatan dulu ke dulur-dulur PSHT lainnya,” paparnya.

Alasannya tersebut, karena jumlah PSHT banyak di Jember. Sehingga, perlu duduk bersama menyikapi ini semua. Jono menambahkan, total pendekar PSHT dari Jember itu 17.418 orang. Sedangkan untuk tempat latihan sendiri ada 580 lokasi. “Kalau berapa jumlah tugunya, kami tidak menghitung. Tapi rata-rata di setiap daerah dan tempat latihan itu ada. Meski sebagian juga tidak ada,” terangnya.

Menurut Jono, merobohkan tugu bukanlah solusi atas permasalahan ini. Sebab, kata dia, bila tugu PSHT dirobohkan, maka kesannya tidak adil. “Mau adil bukan dibongkar. Tapi pencak silat lain yang ingin membuat tugu, ya monggo disandingkan,” ucapnya.

Dia menegaskan, pembuatan tugu itu punya alasan tersendiri. Yaitu mendukung pemerintah daerah menjadikan Jember sebagai kota pencak silat. Sehingga, untuk mewujudkan semua itu, maka membuat simbol-simbol berupa tugu. “Kami dulu menjalankan perintah Bupati Jember, pada waktu itu Pak Djalal. Dan pada 2007 mengeluarkan Perda Pencak Silat karena ingin Jember sebagai Kota Pencak Silat,” ungkapnya.

Membuat tugu di berbagai lokasi itu juga bukan sekadar membangun. Tapi, di daerah sana memang ada anggota PSHT. Bahkan, kata dia, pembuatan tugu juga tetap mematuhi prosedur berupa izin. Setidaknya izin ke pemilik tanah, pemerintah desa, hingga Dinas Cipta Karya. Apalagi, kata Jono, pembuatan tugu tersebut murni dari partisipasi anggota PSHT secara sukarela.

Pada kasus yang kerap kali melibatkan anggota PSHT dalam aksi pengeroyokan, Jono berharap, elemen pimpinan, termasuk Bupati dan Wakil Bupati Jember, tidak melihat PSHT hanya dari hal kecilnya saja. Sebab, selama ini juga banyak acara bakti sosial yang dilakukan perguruannya. Dengan jumlah anggota yang besar, pihaknya juga siap menjalankan program pemerintah. “Intinya, yaitu ingin mendinginkan suasa. Kami tidak ingin Jember semakin panas. Ingin Jember kondusif,” ujarnya.

Menurut Jono, sejatinya persoalan pemuda saat ini berangkat dari minuman keras dan obat-obatan yang telah merasuki kehidupan mereka. Bukan karena mengikuti perguruan silat. Oleh sebab itu, menurutnya, kehadiran silat itu justru mampu memberikan wadah bagi pemuda agar ada aktivitas positif dan tidak terjebak dalam miras dan obat-obatan terlarang tersebut.

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jember menjadi salah satu lembaga yang ketiban sampur atas serangkaian kekerasan yang melibatkan anggota perguruan. Oleh karenanya, cabang olahraga (cabor) yang membawahi perguruan silat ini selalu dilibatkan dalam pertemuan yang membahas persoalan tersebut. Hasilnya, IPSI telah merumuskan konsep kesepakatan yang diharapkan menjadi komitmen semua perguruan silat yang ada di Jember.

Ketua IPSI Jember Agus Supaat mengatakan, selain telah memiliki konsep untuk dijadikan komitmen semua perguruan, pihaknya juga menyiapkan serangkaian sanksi bila komitmen tersebut dilanggar. Oleh karena itu, setelah pertemuan yang berlangsung Kamis 27 Mei itu, rencananya bakal juga ada pertemuan susulan bersama forkopimda. “Akan undang semua perguruan silat. Nanti akan dipertemukan dengan forkopimda,” terangnya, kemarin (28/5).

Berdasarkan data yang ada di IPSI, jumlah perguruan silat yang ada di Jember sebanyak 42 perguruan. Diharapkan, semua perguruan itu hadir dan menandatangani komitmen bersama itu. Salah satu isi komitmen yang bakal disodorkan dalam pertemuan nanti adalah, dalam merekrut anggota, perguruan pencak silat diharapkan betul-betul selektif. Sehingga didapatkan calon pendekar yang mempunyai kepribadian yang baik dan sadar bahwa pendekar harus bisa memberi manfaat pada lingkungan. Bukan sebaliknya.

Selain itu, juga ada poin diharapkan kuantitas anggota masih dalam cakupan pengendalian struktur perguruan. Dengan begitu, masih dapat dilakukan pengawasan dan pengendalian secara efektif sampai tingkat bawah. Selain itu, juga mengajarkan persatuan sebagai sesama warga bangsa, hingga keguyuban antarperguruan silat. “Juga ada sanksi tegas sampai pemecatan apabila ada anggota yang melakukan tindakan tidak terpuji. Apalagi sampai bentrokan dan melanggar hukum,” ucapnya.

Dia mengakui, perguruan silat yang eksis hingga tingkat desa rawan terjadi gesekan. Sebab, rata-rata, anak muda yang ikut bergabung. Sehingga, pembinaan silat juga diarahkan ke pembinaan atlet. “Setiap perguruan itu ada pembinaan ke arah atlet, dan umumnya dipusatkan di tempat tertentu. Cuma pembinaan atlet sekarang tertutup oleh persoalan itu,” paparnya.

Agus Supaat menambahkan, bentrok antarperguruan silat atau antara anggota perguruan silat dengan masyarakat umum adalah bentuk pemutusan tali silaturahmi. Bila di lapangan teridentifikasi muncul bentrok atau tindakan kekerasan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab ketua atau pengurus perguruan yang bersangkutan.

Menurut catatan Agus Supaat, gesekan antarpesilat di Jember setidaknya terjadi mulai 2015 lalu. Salah satu faktornya adalah terlalu masifnya perguruan sampai ke tingkat desa. Karena benturan antarperguruan sering terjadi di daerah pinggiran, maka konsep yang disodorkan itu agar dibentuk forum perguruan pencak silat sampai tingkat desa dengan pembina bhabinkamtibmas dan babinsa. “Cuma, yang perlu ditekankan lagi ke anak didik bahwa mewujudkan persatuan dan kebinekaan sesama warga bangsa itu penting. Kemudian, silaturahmi sesama insan beragama itu juga penting,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Jono Wasinuddin menyatakan, pihaknya tidak tanda tangan dalam pertemuan yang berlangsung di DPRD, Kamis (27/5) kemarin. Pertemuan yang menghasilkan tiga kesepakatan itu, juga merekomendasi tentang penertiban tugu perguruan. Jono mengaku, dia tidak tanda tangan karena masih ingin bertemu dengan saudara-saudara PSHT lain untuk menanyakan sikap atas kesepakatan tersebut. “Kami ingin diberi kesempatan dulu ke dulur-dulur PSHT lainnya,” paparnya.

Alasannya tersebut, karena jumlah PSHT banyak di Jember. Sehingga, perlu duduk bersama menyikapi ini semua. Jono menambahkan, total pendekar PSHT dari Jember itu 17.418 orang. Sedangkan untuk tempat latihan sendiri ada 580 lokasi. “Kalau berapa jumlah tugunya, kami tidak menghitung. Tapi rata-rata di setiap daerah dan tempat latihan itu ada. Meski sebagian juga tidak ada,” terangnya.

Menurut Jono, merobohkan tugu bukanlah solusi atas permasalahan ini. Sebab, kata dia, bila tugu PSHT dirobohkan, maka kesannya tidak adil. “Mau adil bukan dibongkar. Tapi pencak silat lain yang ingin membuat tugu, ya monggo disandingkan,” ucapnya.

Dia menegaskan, pembuatan tugu itu punya alasan tersendiri. Yaitu mendukung pemerintah daerah menjadikan Jember sebagai kota pencak silat. Sehingga, untuk mewujudkan semua itu, maka membuat simbol-simbol berupa tugu. “Kami dulu menjalankan perintah Bupati Jember, pada waktu itu Pak Djalal. Dan pada 2007 mengeluarkan Perda Pencak Silat karena ingin Jember sebagai Kota Pencak Silat,” ungkapnya.

Membuat tugu di berbagai lokasi itu juga bukan sekadar membangun. Tapi, di daerah sana memang ada anggota PSHT. Bahkan, kata dia, pembuatan tugu juga tetap mematuhi prosedur berupa izin. Setidaknya izin ke pemilik tanah, pemerintah desa, hingga Dinas Cipta Karya. Apalagi, kata Jono, pembuatan tugu tersebut murni dari partisipasi anggota PSHT secara sukarela.

Pada kasus yang kerap kali melibatkan anggota PSHT dalam aksi pengeroyokan, Jono berharap, elemen pimpinan, termasuk Bupati dan Wakil Bupati Jember, tidak melihat PSHT hanya dari hal kecilnya saja. Sebab, selama ini juga banyak acara bakti sosial yang dilakukan perguruannya. Dengan jumlah anggota yang besar, pihaknya juga siap menjalankan program pemerintah. “Intinya, yaitu ingin mendinginkan suasa. Kami tidak ingin Jember semakin panas. Ingin Jember kondusif,” ujarnya.

Menurut Jono, sejatinya persoalan pemuda saat ini berangkat dari minuman keras dan obat-obatan yang telah merasuki kehidupan mereka. Bukan karena mengikuti perguruan silat. Oleh sebab itu, menurutnya, kehadiran silat itu justru mampu memberikan wadah bagi pemuda agar ada aktivitas positif dan tidak terjebak dalam miras dan obat-obatan terlarang tersebut.

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jember menjadi salah satu lembaga yang ketiban sampur atas serangkaian kekerasan yang melibatkan anggota perguruan. Oleh karenanya, cabang olahraga (cabor) yang membawahi perguruan silat ini selalu dilibatkan dalam pertemuan yang membahas persoalan tersebut. Hasilnya, IPSI telah merumuskan konsep kesepakatan yang diharapkan menjadi komitmen semua perguruan silat yang ada di Jember.

Ketua IPSI Jember Agus Supaat mengatakan, selain telah memiliki konsep untuk dijadikan komitmen semua perguruan, pihaknya juga menyiapkan serangkaian sanksi bila komitmen tersebut dilanggar. Oleh karena itu, setelah pertemuan yang berlangsung Kamis 27 Mei itu, rencananya bakal juga ada pertemuan susulan bersama forkopimda. “Akan undang semua perguruan silat. Nanti akan dipertemukan dengan forkopimda,” terangnya, kemarin (28/5).

Berdasarkan data yang ada di IPSI, jumlah perguruan silat yang ada di Jember sebanyak 42 perguruan. Diharapkan, semua perguruan itu hadir dan menandatangani komitmen bersama itu. Salah satu isi komitmen yang bakal disodorkan dalam pertemuan nanti adalah, dalam merekrut anggota, perguruan pencak silat diharapkan betul-betul selektif. Sehingga didapatkan calon pendekar yang mempunyai kepribadian yang baik dan sadar bahwa pendekar harus bisa memberi manfaat pada lingkungan. Bukan sebaliknya.

Selain itu, juga ada poin diharapkan kuantitas anggota masih dalam cakupan pengendalian struktur perguruan. Dengan begitu, masih dapat dilakukan pengawasan dan pengendalian secara efektif sampai tingkat bawah. Selain itu, juga mengajarkan persatuan sebagai sesama warga bangsa, hingga keguyuban antarperguruan silat. “Juga ada sanksi tegas sampai pemecatan apabila ada anggota yang melakukan tindakan tidak terpuji. Apalagi sampai bentrokan dan melanggar hukum,” ucapnya.

Dia mengakui, perguruan silat yang eksis hingga tingkat desa rawan terjadi gesekan. Sebab, rata-rata, anak muda yang ikut bergabung. Sehingga, pembinaan silat juga diarahkan ke pembinaan atlet. “Setiap perguruan itu ada pembinaan ke arah atlet, dan umumnya dipusatkan di tempat tertentu. Cuma pembinaan atlet sekarang tertutup oleh persoalan itu,” paparnya.

Agus Supaat menambahkan, bentrok antarperguruan silat atau antara anggota perguruan silat dengan masyarakat umum adalah bentuk pemutusan tali silaturahmi. Bila di lapangan teridentifikasi muncul bentrok atau tindakan kekerasan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab ketua atau pengurus perguruan yang bersangkutan.

Menurut catatan Agus Supaat, gesekan antarpesilat di Jember setidaknya terjadi mulai 2015 lalu. Salah satu faktornya adalah terlalu masifnya perguruan sampai ke tingkat desa. Karena benturan antarperguruan sering terjadi di daerah pinggiran, maka konsep yang disodorkan itu agar dibentuk forum perguruan pencak silat sampai tingkat desa dengan pembina bhabinkamtibmas dan babinsa. “Cuma, yang perlu ditekankan lagi ke anak didik bahwa mewujudkan persatuan dan kebinekaan sesama warga bangsa itu penting. Kemudian, silaturahmi sesama insan beragama itu juga penting,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Jono Wasinuddin menyatakan, pihaknya tidak tanda tangan dalam pertemuan yang berlangsung di DPRD, Kamis (27/5) kemarin. Pertemuan yang menghasilkan tiga kesepakatan itu, juga merekomendasi tentang penertiban tugu perguruan. Jono mengaku, dia tidak tanda tangan karena masih ingin bertemu dengan saudara-saudara PSHT lain untuk menanyakan sikap atas kesepakatan tersebut. “Kami ingin diberi kesempatan dulu ke dulur-dulur PSHT lainnya,” paparnya.

Alasannya tersebut, karena jumlah PSHT banyak di Jember. Sehingga, perlu duduk bersama menyikapi ini semua. Jono menambahkan, total pendekar PSHT dari Jember itu 17.418 orang. Sedangkan untuk tempat latihan sendiri ada 580 lokasi. “Kalau berapa jumlah tugunya, kami tidak menghitung. Tapi rata-rata di setiap daerah dan tempat latihan itu ada. Meski sebagian juga tidak ada,” terangnya.

Menurut Jono, merobohkan tugu bukanlah solusi atas permasalahan ini. Sebab, kata dia, bila tugu PSHT dirobohkan, maka kesannya tidak adil. “Mau adil bukan dibongkar. Tapi pencak silat lain yang ingin membuat tugu, ya monggo disandingkan,” ucapnya.

Dia menegaskan, pembuatan tugu itu punya alasan tersendiri. Yaitu mendukung pemerintah daerah menjadikan Jember sebagai kota pencak silat. Sehingga, untuk mewujudkan semua itu, maka membuat simbol-simbol berupa tugu. “Kami dulu menjalankan perintah Bupati Jember, pada waktu itu Pak Djalal. Dan pada 2007 mengeluarkan Perda Pencak Silat karena ingin Jember sebagai Kota Pencak Silat,” ungkapnya.

Membuat tugu di berbagai lokasi itu juga bukan sekadar membangun. Tapi, di daerah sana memang ada anggota PSHT. Bahkan, kata dia, pembuatan tugu juga tetap mematuhi prosedur berupa izin. Setidaknya izin ke pemilik tanah, pemerintah desa, hingga Dinas Cipta Karya. Apalagi, kata Jono, pembuatan tugu tersebut murni dari partisipasi anggota PSHT secara sukarela.

Pada kasus yang kerap kali melibatkan anggota PSHT dalam aksi pengeroyokan, Jono berharap, elemen pimpinan, termasuk Bupati dan Wakil Bupati Jember, tidak melihat PSHT hanya dari hal kecilnya saja. Sebab, selama ini juga banyak acara bakti sosial yang dilakukan perguruannya. Dengan jumlah anggota yang besar, pihaknya juga siap menjalankan program pemerintah. “Intinya, yaitu ingin mendinginkan suasa. Kami tidak ingin Jember semakin panas. Ingin Jember kondusif,” ujarnya.

Menurut Jono, sejatinya persoalan pemuda saat ini berangkat dari minuman keras dan obat-obatan yang telah merasuki kehidupan mereka. Bukan karena mengikuti perguruan silat. Oleh sebab itu, menurutnya, kehadiran silat itu justru mampu memberikan wadah bagi pemuda agar ada aktivitas positif dan tidak terjebak dalam miras dan obat-obatan terlarang tersebut.

 

 

Jurnalis : Dwi Siswanto
Fotografer : Dwi Siswanto
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca