24.6 C
Jember
Monday, 27 March 2023

Gelar Tutup Tandur, Kenduri di Tengah Sawah Doakan Tanaman Subur

Tradisi di masyarakat cukup beragam. Seperti yang dilakukan masyarakat di selatan Jember ini. Mereka melakukan ritual tutup tandur. Sebuah tradisi mendoakan tanaman agar hasil panen berkah berlimpah. Seperti apa?

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pagi itu, sejumlah orang sudah terlihat rapi mengenakan sarung plus songkok. Beberapa dari mereka ada yang berjalan kaki. Sebagian di antaranya mengendarai motor. “Ayo, biar cepat sampai,” ajak salah seorang pengendara kepada bapak-bapak pejalan kaki.

Mereka bukan hendak ke masjid atau beribadah. Saat itu masih pagi sekitar pukul 08.00. Tak hanya berbusana rapi, bapak-bapak ini juga membawa sebuah alas dan makanan untuk kenduri. “Ini ke sawah, acara tutup tandur,” kata salah seorang lelaki yang membawa berkat.

Tak jauh dari warga yang berjalan itu, di tengah sawah sudah terlihat banyak warga yang berkumpul. Mereka juga sama, membawa alas dan makanan untuk kenduri. Rupanya, bapak-bapak itu adalah petani yang memiliki sawah di areal persawahan Rowogebang, Dusun Krajan Lor, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu. Lokasinya tak jauh dari permukiman warga. Sekitar 200-an meter.

Mobile_AP_Rectangle 2

Sinar mentari pagi itu seolah menjadi semangat tersendiri. Sesampainya di lokasi, mereka menaruh berkat yang barusan dibawanya, lalu duduk bersila. Mereka berbaris rapi sambil menunggu warga lainnya yang masih berdatangan.

Mereka lumayan banyak, sekitar seratusan orang. Setelah semua berkumpul, salah seorang dari mereka kemudian mengambil alih forum dan memimpin jalannya acara. Ternyata, para petani itu akan menggelar tasyakuran dan doa bersama yang disebut tutup tandur. Persis seperti acara Maulidan. Sebab, saat acara berlangsung, mereka membaca Alquran, lalu dilanjutkan surat Yasin dan tahlil.

Saat ritual dimulai, semuanya menghadap ke barat. Mereka tampak khusyuk. “Acara seperti ini untuk nguri-uri budaya pertanian. Karena kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan setelah selesainya masa tanam padi. Makanya disebut tutup tandur,” kata Saiful Rohman, ketua panitia ritual tutup tandur.

Menurutnya, acara tersebut menjadi salah satu tradisi yang sudah lama dan turun-temurun. Biasanya tak hanya dilakukan warga di Desa Sumberejo, tapi juga desa-desa lain di kawasan Jember selatan. Meski tidak diketahui sejak kapan dimulainya ritual itu, tapi diyakini sudah lama. Ritual semacam ini merupakan tradisi kuno yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. “Hanya saja, empat tahun belakangan ini sempat vakum. Dan alhamdulillah bisa hidup kembali,” ungkap Saiful.

Ia menilai, saat vakum itu karena kesadaran masyarakat yang belum terbangun. Selain itu, lanjut dia, juga belum ada yang menggerakkan masyarakat sekitar. Namun saat ini, acara bisa berjalan berkat inisiatif kelompok tani setempat dan dukungan tokoh masyarakat.

Selama acara berlangsung, para petani sepertinya cukup menikmati. Sampai pada puncak acara, nasi kenduri yang telah dibacakan doa, kemudian dibagikan lagi ke sesama. Mereka saling tukar nasi kenduri dengan warga lainnya. Tak semuanya dibawa pulang, sebagian ada yang dimakan di tempat.

Mereka percaya, tradisi tutup tandur seperti ini memiliki kekuatan ampuh. Selain membangun spiritual warga yang memang mayoritas petani, juga membangun nuansa sosial yang kuat, antarsesama warga atau petani. “Dalam acara ini kami juga berdoa, semoga panen bisa melimpah ruah dan hasilnya berkah,” imbuhnya.

Selepas menggelar ritual, sebagian warga pulang. Sebagian lagi masih bertahan. Banyak hal yang mereka obrolkan, termasuk tentang pola budi daya tanaman padi dan cara perawatannya agar tak terserang hama penyakit. “Tradisi semacam ini perlu dilestarikan. Manfaatnya banyak. Selain untuk doa bersama, juga membangun kekompakan petani,” tambah Taufik Abdillah, salah seorang petani yang mengikuti tutup tandur.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pagi itu, sejumlah orang sudah terlihat rapi mengenakan sarung plus songkok. Beberapa dari mereka ada yang berjalan kaki. Sebagian di antaranya mengendarai motor. “Ayo, biar cepat sampai,” ajak salah seorang pengendara kepada bapak-bapak pejalan kaki.

Mereka bukan hendak ke masjid atau beribadah. Saat itu masih pagi sekitar pukul 08.00. Tak hanya berbusana rapi, bapak-bapak ini juga membawa sebuah alas dan makanan untuk kenduri. “Ini ke sawah, acara tutup tandur,” kata salah seorang lelaki yang membawa berkat.

Tak jauh dari warga yang berjalan itu, di tengah sawah sudah terlihat banyak warga yang berkumpul. Mereka juga sama, membawa alas dan makanan untuk kenduri. Rupanya, bapak-bapak itu adalah petani yang memiliki sawah di areal persawahan Rowogebang, Dusun Krajan Lor, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu. Lokasinya tak jauh dari permukiman warga. Sekitar 200-an meter.

Sinar mentari pagi itu seolah menjadi semangat tersendiri. Sesampainya di lokasi, mereka menaruh berkat yang barusan dibawanya, lalu duduk bersila. Mereka berbaris rapi sambil menunggu warga lainnya yang masih berdatangan.

Mereka lumayan banyak, sekitar seratusan orang. Setelah semua berkumpul, salah seorang dari mereka kemudian mengambil alih forum dan memimpin jalannya acara. Ternyata, para petani itu akan menggelar tasyakuran dan doa bersama yang disebut tutup tandur. Persis seperti acara Maulidan. Sebab, saat acara berlangsung, mereka membaca Alquran, lalu dilanjutkan surat Yasin dan tahlil.

Saat ritual dimulai, semuanya menghadap ke barat. Mereka tampak khusyuk. “Acara seperti ini untuk nguri-uri budaya pertanian. Karena kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan setelah selesainya masa tanam padi. Makanya disebut tutup tandur,” kata Saiful Rohman, ketua panitia ritual tutup tandur.

Menurutnya, acara tersebut menjadi salah satu tradisi yang sudah lama dan turun-temurun. Biasanya tak hanya dilakukan warga di Desa Sumberejo, tapi juga desa-desa lain di kawasan Jember selatan. Meski tidak diketahui sejak kapan dimulainya ritual itu, tapi diyakini sudah lama. Ritual semacam ini merupakan tradisi kuno yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. “Hanya saja, empat tahun belakangan ini sempat vakum. Dan alhamdulillah bisa hidup kembali,” ungkap Saiful.

Ia menilai, saat vakum itu karena kesadaran masyarakat yang belum terbangun. Selain itu, lanjut dia, juga belum ada yang menggerakkan masyarakat sekitar. Namun saat ini, acara bisa berjalan berkat inisiatif kelompok tani setempat dan dukungan tokoh masyarakat.

Selama acara berlangsung, para petani sepertinya cukup menikmati. Sampai pada puncak acara, nasi kenduri yang telah dibacakan doa, kemudian dibagikan lagi ke sesama. Mereka saling tukar nasi kenduri dengan warga lainnya. Tak semuanya dibawa pulang, sebagian ada yang dimakan di tempat.

Mereka percaya, tradisi tutup tandur seperti ini memiliki kekuatan ampuh. Selain membangun spiritual warga yang memang mayoritas petani, juga membangun nuansa sosial yang kuat, antarsesama warga atau petani. “Dalam acara ini kami juga berdoa, semoga panen bisa melimpah ruah dan hasilnya berkah,” imbuhnya.

Selepas menggelar ritual, sebagian warga pulang. Sebagian lagi masih bertahan. Banyak hal yang mereka obrolkan, termasuk tentang pola budi daya tanaman padi dan cara perawatannya agar tak terserang hama penyakit. “Tradisi semacam ini perlu dilestarikan. Manfaatnya banyak. Selain untuk doa bersama, juga membangun kekompakan petani,” tambah Taufik Abdillah, salah seorang petani yang mengikuti tutup tandur.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pagi itu, sejumlah orang sudah terlihat rapi mengenakan sarung plus songkok. Beberapa dari mereka ada yang berjalan kaki. Sebagian di antaranya mengendarai motor. “Ayo, biar cepat sampai,” ajak salah seorang pengendara kepada bapak-bapak pejalan kaki.

Mereka bukan hendak ke masjid atau beribadah. Saat itu masih pagi sekitar pukul 08.00. Tak hanya berbusana rapi, bapak-bapak ini juga membawa sebuah alas dan makanan untuk kenduri. “Ini ke sawah, acara tutup tandur,” kata salah seorang lelaki yang membawa berkat.

Tak jauh dari warga yang berjalan itu, di tengah sawah sudah terlihat banyak warga yang berkumpul. Mereka juga sama, membawa alas dan makanan untuk kenduri. Rupanya, bapak-bapak itu adalah petani yang memiliki sawah di areal persawahan Rowogebang, Dusun Krajan Lor, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu. Lokasinya tak jauh dari permukiman warga. Sekitar 200-an meter.

Sinar mentari pagi itu seolah menjadi semangat tersendiri. Sesampainya di lokasi, mereka menaruh berkat yang barusan dibawanya, lalu duduk bersila. Mereka berbaris rapi sambil menunggu warga lainnya yang masih berdatangan.

Mereka lumayan banyak, sekitar seratusan orang. Setelah semua berkumpul, salah seorang dari mereka kemudian mengambil alih forum dan memimpin jalannya acara. Ternyata, para petani itu akan menggelar tasyakuran dan doa bersama yang disebut tutup tandur. Persis seperti acara Maulidan. Sebab, saat acara berlangsung, mereka membaca Alquran, lalu dilanjutkan surat Yasin dan tahlil.

Saat ritual dimulai, semuanya menghadap ke barat. Mereka tampak khusyuk. “Acara seperti ini untuk nguri-uri budaya pertanian. Karena kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan setelah selesainya masa tanam padi. Makanya disebut tutup tandur,” kata Saiful Rohman, ketua panitia ritual tutup tandur.

Menurutnya, acara tersebut menjadi salah satu tradisi yang sudah lama dan turun-temurun. Biasanya tak hanya dilakukan warga di Desa Sumberejo, tapi juga desa-desa lain di kawasan Jember selatan. Meski tidak diketahui sejak kapan dimulainya ritual itu, tapi diyakini sudah lama. Ritual semacam ini merupakan tradisi kuno yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. “Hanya saja, empat tahun belakangan ini sempat vakum. Dan alhamdulillah bisa hidup kembali,” ungkap Saiful.

Ia menilai, saat vakum itu karena kesadaran masyarakat yang belum terbangun. Selain itu, lanjut dia, juga belum ada yang menggerakkan masyarakat sekitar. Namun saat ini, acara bisa berjalan berkat inisiatif kelompok tani setempat dan dukungan tokoh masyarakat.

Selama acara berlangsung, para petani sepertinya cukup menikmati. Sampai pada puncak acara, nasi kenduri yang telah dibacakan doa, kemudian dibagikan lagi ke sesama. Mereka saling tukar nasi kenduri dengan warga lainnya. Tak semuanya dibawa pulang, sebagian ada yang dimakan di tempat.

Mereka percaya, tradisi tutup tandur seperti ini memiliki kekuatan ampuh. Selain membangun spiritual warga yang memang mayoritas petani, juga membangun nuansa sosial yang kuat, antarsesama warga atau petani. “Dalam acara ini kami juga berdoa, semoga panen bisa melimpah ruah dan hasilnya berkah,” imbuhnya.

Selepas menggelar ritual, sebagian warga pulang. Sebagian lagi masih bertahan. Banyak hal yang mereka obrolkan, termasuk tentang pola budi daya tanaman padi dan cara perawatannya agar tak terserang hama penyakit. “Tradisi semacam ini perlu dilestarikan. Manfaatnya banyak. Selain untuk doa bersama, juga membangun kekompakan petani,” tambah Taufik Abdillah, salah seorang petani yang mengikuti tutup tandur.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca