JEMBER, RADARJEMBER.ID – Siang itu, Abdul Ghofur tampak sibuk mengamati pijakan kaki yang dia bangun di sepanjang tebing sungai. Sesekali, dia tampak mengernyitkan dahi lantaran teriknya matahari. Meski terasa panas, dia tetap anteng dan teliti memperhatikan setiap fondasi pijakan yang dia buat bersama anaknya itu. Ghofur harus memastikan tak ada yang rompal agar tidak ada orang yang terpeleset ketika melewatinya.
Jalur setapak dengan pijakan ini merupakan akses menuju kolam budi daya ikan yang dia bangun bersama warga lain di Kelurahan/Kecamatan Patrang. Ada kisah penuh perjuangan sebelum mereka memanfaatkan bekas aliran Sungai Bedadung itu sebelum dimanfaatkan menjadi kolam budi daya dan pemancingan ikan. Sebelumnya, kawasan tersebut sempat menjadi kolam sampah yang mengganggu masyarakat setempat.
Keberadaan kolam budi daya dan kolam pancing, tepat di pinggir Sungai Bedadung ini, ternyata memiliki sejarah panjang. Dimulai pada 1990 lalu, ketika aliran Sungai Bedadung di sekitar Kelurahan Patrang tersebut dipindahkan. “Karena mendekati badan jalan besar. Agar tidak terjadi longsor, maka salurannya dipindahkan,” terang Ghofur.
Supaya tidak sia-sia, setahun berikutnya, Ghofur dan sejumlah rekan yang tergabung dalam pemuda Karang Taruna Sasana Krida membuat perizinan untuk mendirikan kolam budi daya ikan pada 1991. Awalnya, upaya itu berjalan lancar. Namun, hanya berselang dua tahun, pengelolaan kali mati itu vakum sehingga mengakibatkan tempat itu terbengkalai.
Dampaknya, banyak orang yang membuang sampah sembarangan di sana. Baunya sangat busuk. “Baik warga sekitar ataupun pengendara yang melintas sering membuang sampah di bekas kolam ini,” ujarnya.
Dia kemudian berpikir ulang untuk kembali memfungsikan kali mati tersebut menjadi kolam budi daya ikan. Tepatnya pada 2013 lalu. Ghofur menuturkan, warga sekitar berembuk untuk bergotong royong. Selanjutnya, warga mulai mengumpulkan sampah ke dalam karung dan membersihkan kawasan itu dari limbah rumah tangga yang menggunung. “Jika ditotal, mungkin ada sekitar tiga ribu karung,” candanya.
Kegiatan bersih-bersih massal itu berlangsung hingga dua tahun. Mulai 2013 hingga 2015. “Dua tahun kami bersih-bersih, dan bingung mau dibuang ke mana sampah-sampah itu,” ucapnya.
Hingga akhirnya, warga memutuskan membuang sebagian ke tempat pembuangan sampah (TPS), sebagian ditata di sekeliling sungai hingga menyerupai kolam. “Kini, setidaknya ada tujuh petak yang dikelola warga,” imbuh Mursyid, warga sekitar.
Kini, warga ada yang memfungsikannya sebagai kolam pancing, ada juga yang menjadi tempat budi daya ikan. “Setidaknya, ini upaya kami dalam memanfaatkan bekas sungai supaya tidak terbengkalai dan penuh sampah,” ujarnya.
Meski telah berjalan, pengelolaan kolam itu bukan tanpa tantangan. Sebab, masih banyak pengendara yang membuang sampah sembarangan dari atas jalan. Jadi, warga sering memantau dan mencari tahu siapa pelakunya dengan menunggu waktu yang biasa digunakan membuang sampah. “Kami tegur biar ada efek jera. Agar tidak buang sampah sembarangan lagi,” ungkapnya.
Namun, tantangan yang lebih besar adalah ketika Sungai Bedadung meluap seperti beberapa waktu lalu. Seminggu sebelum memanen, Sungai Bedadung meluap. Air sampai membanjiri kali mati tersebut. Pengelola kolam sampai merugi puluhan juta karena banyak ikan yang terbawa arus. Tak hanya Ghofur, Mursyid dan warga yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) di sana juga merasakan hal yang sama. “Karena jelas tenggelam. Dan ikannya hanyut terbawa arus,” tandasnya.
Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Isnein Purnomo
Redaktur : Mahrus Sholih