26.8 C
Jember
Sunday, 2 April 2023

Hidup Segan, Mati pun Enggan

Di tengah kemajuan zaman, beragam moda transportasi modern banyak ditawarkan. Lalu, bagaimana dengan jasa angkutan umum yang sudah melegenda seperti lin kuning. Apakah mereka mampu bertahan?

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Cuaca siang itu kurang bersahabat. Sedikit mendung. Terlihat, sejumlah orang tengah nongkrong tepat di pintu keberangkatan Terminal Arjasa. Beberapa dari mereka ada yang hanya ngopi, melepas penat, dan leyeh-leyeh.

Namun, di antara mereka, sebagian ada yang terlihat menghitung uang. Tak banyak. Yang kelihatan sepertinya hanya pecahan dua ribuan dan lima ribuan. “Olle berempah gellek? (dapat berapa sejak tadi pagi, Red),” tanya salah seorang yang nongkrong itu ke rekannya. Sang teman tak menjawab. Dia justru sambat.

Sementara, tak jauh dari lokasi mereka nongkrong, sejumlah lin atau angkot kuning berbaris rapi. Tepat di pintu pemberangkatan terminal itu. Jumlahnya ada enam angkot. Dua di antaranya tertulis trayek Pakusari-Arjasa. Sementara sisanya, Arjasa-Tawangalun.

Mobile_AP_Rectangle 2

Jawa Pos Radar Jember mendatangi bapak-bapak yang diketahui para sopir angkutan yang sudah melegenda di Kota Tembakau ini. Rata-rata mereka berusia di atas 30 tahun. “Dapat dua penumpang. Satu ibu-ibu pasar, satunya pengamen,” kata Tono, sopir lin kuning yang baru saja turun dan memarkirkan mobilnya.

Pria yang mengaku dari Lingkungan Sukorejo, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, itu tampak murung. Sebab, sedari pagi, ia baru dapat dua penumpang saja. Itu pun satunya pengamen. Padahal, ia memiliki trayek Terminal Arjasa- Pakusari dan sebaliknya. Wajah muramnya saat itu seolah menampakkan kondisi batinnya. “Yak apa lagi. Angkot ini sudah tidak setenar tahun 90-an dulu,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Seperti halnya angkutan lain, angkot yang dikemudikan Tono itu juga milik seorang juragan. Dia harus menyetor harian. Meski diakuinya, saat ini setoran tersebut tidak begitu ketat. “Karena juragan sudah paham betul kondisi sekarang. Sulit. Ini saja, angkot Arjasa-Pakusari, dari 16 armada, baru tiga yang keluar,” terangnya, sambil menunjuk ke lin kuning miliknya.

Tono mengaku, ia sendiri bukan pendatang baru sebagai sopir angkutan legenda itu. Sejak 1993 lalu, dirinya sudah bekerja menjadi sopir. Ia mengaku, jelas ada perbedaan besar antara zaman dulu dengan sekarang. Terlebih, sejak banyaknya moda transportasi modern macam ojek online, angkot online, dan sejenisnya. Hal itu dirasa menjadi pukulan telak bagi para supir angkot seperti dirinya. “Apalagi ada korona. Waduh! Malah nggak karu-karuan nasib kami,” keluh pria 52 tahun itu.

Memilih jadi supir di masa-masa sulit seperti sekarang, jelas tak pernah tebersit di benak mereka. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka sulit banting setir atau mencari alternatif pekerjaan lain. “Kerja apa? Sawah ndak punya. Pingin ikut bus antarkota, nasibnya juga hampir sama,” timpal rekan Tono menyela obrolan.

Selama obrolan, keenam sopir angkot itu belum ada yang jalan. Padahal, kala itu sudah menjelang Duhur. Alih-alih menantikan sopir angkot ini jalan, dari arah belakang malah disusul lagi angkot dari Tawangalun yang baru datang. Juga tanpa penumpang. Sehingga tujuh lin kuning itu sama-sama parkir menanti penumpang. “Ya wis gini ini keseharian kami,” sambung Jimi, sopir angkot lain asal Arjasa.

Ia sepertinya juga merasakan apa yang dirasakan oleh kawan seperjuangannya seperti Tono. Sepi penumpang, sepi pemasukan, dan pasti mengeluarkan duit setiap hari. Kadang, uang di sakunya sebagai modal membeli bahan bakar juga beralih jadi uang makan. “Modal pribadi katut. Bukan sekali dua kali, tapi sering,” tambahnya.

Sebenarnya, dilihat dari kondisi kendaraan, para sopir itu cukup rajin merawat angkot mereka. Karena di sela-sela obrolan, ada dari beberapa sopir yang bersih-bersih armadanya. Bisa jadi mereka berharap, dengan kondisi angkot yang bersih dan kinclong, bisa menjadi daya tarik bagi calon penumpang untuk menggunakan jasa mereka.

Pinginnya itu, ada program khusus untuk sopir angkot. Entah apa. Yang penting kerja kami lebih mudah,” ujar Tono, menambahkan. Ia meyakini, hal itu juga menjadi harapan semua sopir angkot yang lain. “Jalan atau tidak jalan sebenarnya risikonya itu sama. Namun, kami tetap bertahan. Dan tidak ingin mati,” tukasnya.

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Cuaca siang itu kurang bersahabat. Sedikit mendung. Terlihat, sejumlah orang tengah nongkrong tepat di pintu keberangkatan Terminal Arjasa. Beberapa dari mereka ada yang hanya ngopi, melepas penat, dan leyeh-leyeh.

Namun, di antara mereka, sebagian ada yang terlihat menghitung uang. Tak banyak. Yang kelihatan sepertinya hanya pecahan dua ribuan dan lima ribuan. “Olle berempah gellek? (dapat berapa sejak tadi pagi, Red),” tanya salah seorang yang nongkrong itu ke rekannya. Sang teman tak menjawab. Dia justru sambat.

Sementara, tak jauh dari lokasi mereka nongkrong, sejumlah lin atau angkot kuning berbaris rapi. Tepat di pintu pemberangkatan terminal itu. Jumlahnya ada enam angkot. Dua di antaranya tertulis trayek Pakusari-Arjasa. Sementara sisanya, Arjasa-Tawangalun.

Jawa Pos Radar Jember mendatangi bapak-bapak yang diketahui para sopir angkutan yang sudah melegenda di Kota Tembakau ini. Rata-rata mereka berusia di atas 30 tahun. “Dapat dua penumpang. Satu ibu-ibu pasar, satunya pengamen,” kata Tono, sopir lin kuning yang baru saja turun dan memarkirkan mobilnya.

Pria yang mengaku dari Lingkungan Sukorejo, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, itu tampak murung. Sebab, sedari pagi, ia baru dapat dua penumpang saja. Itu pun satunya pengamen. Padahal, ia memiliki trayek Terminal Arjasa- Pakusari dan sebaliknya. Wajah muramnya saat itu seolah menampakkan kondisi batinnya. “Yak apa lagi. Angkot ini sudah tidak setenar tahun 90-an dulu,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Seperti halnya angkutan lain, angkot yang dikemudikan Tono itu juga milik seorang juragan. Dia harus menyetor harian. Meski diakuinya, saat ini setoran tersebut tidak begitu ketat. “Karena juragan sudah paham betul kondisi sekarang. Sulit. Ini saja, angkot Arjasa-Pakusari, dari 16 armada, baru tiga yang keluar,” terangnya, sambil menunjuk ke lin kuning miliknya.

Tono mengaku, ia sendiri bukan pendatang baru sebagai sopir angkutan legenda itu. Sejak 1993 lalu, dirinya sudah bekerja menjadi sopir. Ia mengaku, jelas ada perbedaan besar antara zaman dulu dengan sekarang. Terlebih, sejak banyaknya moda transportasi modern macam ojek online, angkot online, dan sejenisnya. Hal itu dirasa menjadi pukulan telak bagi para supir angkot seperti dirinya. “Apalagi ada korona. Waduh! Malah nggak karu-karuan nasib kami,” keluh pria 52 tahun itu.

Memilih jadi supir di masa-masa sulit seperti sekarang, jelas tak pernah tebersit di benak mereka. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka sulit banting setir atau mencari alternatif pekerjaan lain. “Kerja apa? Sawah ndak punya. Pingin ikut bus antarkota, nasibnya juga hampir sama,” timpal rekan Tono menyela obrolan.

Selama obrolan, keenam sopir angkot itu belum ada yang jalan. Padahal, kala itu sudah menjelang Duhur. Alih-alih menantikan sopir angkot ini jalan, dari arah belakang malah disusul lagi angkot dari Tawangalun yang baru datang. Juga tanpa penumpang. Sehingga tujuh lin kuning itu sama-sama parkir menanti penumpang. “Ya wis gini ini keseharian kami,” sambung Jimi, sopir angkot lain asal Arjasa.

Ia sepertinya juga merasakan apa yang dirasakan oleh kawan seperjuangannya seperti Tono. Sepi penumpang, sepi pemasukan, dan pasti mengeluarkan duit setiap hari. Kadang, uang di sakunya sebagai modal membeli bahan bakar juga beralih jadi uang makan. “Modal pribadi katut. Bukan sekali dua kali, tapi sering,” tambahnya.

Sebenarnya, dilihat dari kondisi kendaraan, para sopir itu cukup rajin merawat angkot mereka. Karena di sela-sela obrolan, ada dari beberapa sopir yang bersih-bersih armadanya. Bisa jadi mereka berharap, dengan kondisi angkot yang bersih dan kinclong, bisa menjadi daya tarik bagi calon penumpang untuk menggunakan jasa mereka.

Pinginnya itu, ada program khusus untuk sopir angkot. Entah apa. Yang penting kerja kami lebih mudah,” ujar Tono, menambahkan. Ia meyakini, hal itu juga menjadi harapan semua sopir angkot yang lain. “Jalan atau tidak jalan sebenarnya risikonya itu sama. Namun, kami tetap bertahan. Dan tidak ingin mati,” tukasnya.

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Cuaca siang itu kurang bersahabat. Sedikit mendung. Terlihat, sejumlah orang tengah nongkrong tepat di pintu keberangkatan Terminal Arjasa. Beberapa dari mereka ada yang hanya ngopi, melepas penat, dan leyeh-leyeh.

Namun, di antara mereka, sebagian ada yang terlihat menghitung uang. Tak banyak. Yang kelihatan sepertinya hanya pecahan dua ribuan dan lima ribuan. “Olle berempah gellek? (dapat berapa sejak tadi pagi, Red),” tanya salah seorang yang nongkrong itu ke rekannya. Sang teman tak menjawab. Dia justru sambat.

Sementara, tak jauh dari lokasi mereka nongkrong, sejumlah lin atau angkot kuning berbaris rapi. Tepat di pintu pemberangkatan terminal itu. Jumlahnya ada enam angkot. Dua di antaranya tertulis trayek Pakusari-Arjasa. Sementara sisanya, Arjasa-Tawangalun.

Jawa Pos Radar Jember mendatangi bapak-bapak yang diketahui para sopir angkutan yang sudah melegenda di Kota Tembakau ini. Rata-rata mereka berusia di atas 30 tahun. “Dapat dua penumpang. Satu ibu-ibu pasar, satunya pengamen,” kata Tono, sopir lin kuning yang baru saja turun dan memarkirkan mobilnya.

Pria yang mengaku dari Lingkungan Sukorejo, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, itu tampak murung. Sebab, sedari pagi, ia baru dapat dua penumpang saja. Itu pun satunya pengamen. Padahal, ia memiliki trayek Terminal Arjasa- Pakusari dan sebaliknya. Wajah muramnya saat itu seolah menampakkan kondisi batinnya. “Yak apa lagi. Angkot ini sudah tidak setenar tahun 90-an dulu,” ucapnya kepada Jawa Pos Radar Jember, belum lama ini.

Seperti halnya angkutan lain, angkot yang dikemudikan Tono itu juga milik seorang juragan. Dia harus menyetor harian. Meski diakuinya, saat ini setoran tersebut tidak begitu ketat. “Karena juragan sudah paham betul kondisi sekarang. Sulit. Ini saja, angkot Arjasa-Pakusari, dari 16 armada, baru tiga yang keluar,” terangnya, sambil menunjuk ke lin kuning miliknya.

Tono mengaku, ia sendiri bukan pendatang baru sebagai sopir angkutan legenda itu. Sejak 1993 lalu, dirinya sudah bekerja menjadi sopir. Ia mengaku, jelas ada perbedaan besar antara zaman dulu dengan sekarang. Terlebih, sejak banyaknya moda transportasi modern macam ojek online, angkot online, dan sejenisnya. Hal itu dirasa menjadi pukulan telak bagi para supir angkot seperti dirinya. “Apalagi ada korona. Waduh! Malah nggak karu-karuan nasib kami,” keluh pria 52 tahun itu.

Memilih jadi supir di masa-masa sulit seperti sekarang, jelas tak pernah tebersit di benak mereka. Namun, mau bagaimana lagi? Mereka sulit banting setir atau mencari alternatif pekerjaan lain. “Kerja apa? Sawah ndak punya. Pingin ikut bus antarkota, nasibnya juga hampir sama,” timpal rekan Tono menyela obrolan.

Selama obrolan, keenam sopir angkot itu belum ada yang jalan. Padahal, kala itu sudah menjelang Duhur. Alih-alih menantikan sopir angkot ini jalan, dari arah belakang malah disusul lagi angkot dari Tawangalun yang baru datang. Juga tanpa penumpang. Sehingga tujuh lin kuning itu sama-sama parkir menanti penumpang. “Ya wis gini ini keseharian kami,” sambung Jimi, sopir angkot lain asal Arjasa.

Ia sepertinya juga merasakan apa yang dirasakan oleh kawan seperjuangannya seperti Tono. Sepi penumpang, sepi pemasukan, dan pasti mengeluarkan duit setiap hari. Kadang, uang di sakunya sebagai modal membeli bahan bakar juga beralih jadi uang makan. “Modal pribadi katut. Bukan sekali dua kali, tapi sering,” tambahnya.

Sebenarnya, dilihat dari kondisi kendaraan, para sopir itu cukup rajin merawat angkot mereka. Karena di sela-sela obrolan, ada dari beberapa sopir yang bersih-bersih armadanya. Bisa jadi mereka berharap, dengan kondisi angkot yang bersih dan kinclong, bisa menjadi daya tarik bagi calon penumpang untuk menggunakan jasa mereka.

Pinginnya itu, ada program khusus untuk sopir angkot. Entah apa. Yang penting kerja kami lebih mudah,” ujar Tono, menambahkan. Ia meyakini, hal itu juga menjadi harapan semua sopir angkot yang lain. “Jalan atau tidak jalan sebenarnya risikonya itu sama. Namun, kami tetap bertahan. Dan tidak ingin mati,” tukasnya.

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Maulana
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca