27.8 C
Jember
Friday, 31 March 2023

Momentum Penghapusan Kekerasan Seksual Anak

Kasus Nada, Korban yang Berani Bersuara

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keberanian korban pelecehan seksual bersuara dinilai menjadi poin penting bagi upaya penghapusan kekerasan seksual kepada anak. Sebab, keberanian korban menyuarakan apa yang dialami bisa mendorong pengungkapan kasus-kasus serupa lainnya. Oleh karena itu, kasus yang menimpa Nada, korban pelecehan oleh oknum dosen, tak bisa dilepas begitu saja. Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk menguatkan upaya penghapusan kekerasan tersebut.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jember Suprihandoko mengungkapkan, dengan adanya pengungkapan kasus dari penyintas, maka upaya mewujudkan Jember sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) mengalami perkembangan. “Kita bisa membangkitkan perlindungan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi. Dia harus kita dukung, karena sudah berani bersuara,” katanya, kemarin (14/4).

Suprihandoko menegaskan, dengan bertambahnya catatan pelecehan seksual terhadap anak, bukan berarti KLA yang disandang Jember semakin menjauh. Justru, terungkapnya kasus itu menjadi salah satu hal positif yang layak untuk diapresiasi. Harapannya, para korban pelecehan seksual yang masih anak-anak memiliki keberanian serupa agar mereka juga bersuara.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurut dia, lahirnya Satgas Layak Anak di tingkat desa maupun kecamatan dapat mengurangi kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, anak-anak yang mengikuti atau ternaungi oleh satgas sedikit banyak akan mendapatkan edukasi mengenai hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya hak anak untuk membela diri dari kekerasan maupun pelecehan seksual.

Kendati begitu, Suprihandoko mengakui, upaya pemberantasan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tidaklah mudah. Dalam perjalanannya, banyak pihak yang harus dilibatkan. Tidak hanya DP3KB yang harus mengambil peran untuk melakukan pendampingan kepada penyintas. Namun, juga kelompok masyarakat lainnya.

“Lintas sektor harus berupaya dan berjibaku untuk memberikan kontribusi pada hak-hak anak. Saat ini Jember masih pratama, masih jauh untuk mencapai kabupaten layak anak,” bebernya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, rata-rata lama pendidikan di Jember hanya 6,18 tahun. Artinya, rata-rata anak di Jember masih lulusan SD.  Dan hingga saat ini, pihaknya masih berupaya untuk memberikan jaminan keamanan kepada anak. “Pelecehan yang dilakukan oleh oknum dosen itu adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian. Itu kan memacu kita untuk memberikan perlindungan,” ulasnya.

Terpisah, Eri Andriani, Direktur Stapa Centre, lembaga nirlaba yang peduli pada isu pekerja anak, menyatakan, pemenuhan hak anak dapat dimulai dari pemberian edukasi yang relevan dengan kondisi anak. Pemberian edukasi tersebut tidak hanya mengacu pada lembaga formal, tapi juga pendidikan seksual. Itu agar anak dapat menghindari potensi pelecehan seksual yang terjadi.  “Secara pribadi saya mendukung pemberantasan intimidasi dan pelecehan seksual pada anak,” ungkapnya.

 

RH Masih Aktif di Kampus

Kabar terbaru tentang RH, dosen Universitas Jember (Unej) yang diduga menjadi pelaku pencabulan, hingga saat ini masih aktif mengajar. Meski ada kabar sebelumnya yang menyebut dia akan mengundurkan diri, tapi secara resmi pihak dekanat belum menerima surat tersebut. “Sampai sore ini tidak ada surat pengunduran diri dari yang bersangkutan. Jadi, seperti biasa. Kami tunggu hasil kerja dari tim pemeriksa,” ungkap Djoko Poernomo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej, kemarin (14/4).

Selanjutnya, jika memang dari rektorat telah menginstruksikan atau data-data yang dikantongi sudah cukup, maka kebijakan pemberhentian dapat dilakukan. Namun sejauh ini, pihak fakultas masih menunggu dari rektorat. “Berdasarkan itu nanti, saya Dekan FISIP mempunyai kebijakan. Baik pemberhentian maupun selain itu,” ungkapnya.

Sementara, kabar lain yang menyebutkan adanya indikasi korban lain dari mahasiswa, Djoko belum bisa memastikannya. Sebab, hingga saat ini belum ada data yang ditampung dari Pusat Studi Gender (PSG) Unej. “Sejauh ini, FISIP belum menerima serapan data dari PSG. Bisa jadi, PSG langsung ke rektorat,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Rektor Unej Iwan Taruna mengungkapkan, pihaknya masih melakukan pemeriksaan melalui tim yang telah dibentuk. Karena itu, perubahan status RH dari saksi menjadi tersangka belum memberi pengaruh signifikan terhadap langkah Unej pada kasus ini. “Tim pemeriksaan Unej sedang bekerja dan berkoordinasi dengan polres. Unej akan menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku,” katanya, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Sementara itu, Kasubag Humas Unej Rokmad Hidayanto menjelaskan alur pengunduran diri atas permintaan sendiri. Menurut dia, yang bersangkutan harus mengajukan surat permohonan pengunduran diri kepada dekan. Selanjutnya, dekanat akan meneruskan kepada rektorat. Atas beberapa pertimbangan, rektorat mengajukan surat pengunduran itu kepada kementerian. “Nanti prosesnya ke kementerian. Sampai saat ini, proses itu belum masuk ke dekanat. Dekanat masih mengumpulkan data-data terkait ini,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keberanian korban pelecehan seksual bersuara dinilai menjadi poin penting bagi upaya penghapusan kekerasan seksual kepada anak. Sebab, keberanian korban menyuarakan apa yang dialami bisa mendorong pengungkapan kasus-kasus serupa lainnya. Oleh karena itu, kasus yang menimpa Nada, korban pelecehan oleh oknum dosen, tak bisa dilepas begitu saja. Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk menguatkan upaya penghapusan kekerasan tersebut.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jember Suprihandoko mengungkapkan, dengan adanya pengungkapan kasus dari penyintas, maka upaya mewujudkan Jember sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) mengalami perkembangan. “Kita bisa membangkitkan perlindungan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi. Dia harus kita dukung, karena sudah berani bersuara,” katanya, kemarin (14/4).

Suprihandoko menegaskan, dengan bertambahnya catatan pelecehan seksual terhadap anak, bukan berarti KLA yang disandang Jember semakin menjauh. Justru, terungkapnya kasus itu menjadi salah satu hal positif yang layak untuk diapresiasi. Harapannya, para korban pelecehan seksual yang masih anak-anak memiliki keberanian serupa agar mereka juga bersuara.

Menurut dia, lahirnya Satgas Layak Anak di tingkat desa maupun kecamatan dapat mengurangi kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, anak-anak yang mengikuti atau ternaungi oleh satgas sedikit banyak akan mendapatkan edukasi mengenai hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya hak anak untuk membela diri dari kekerasan maupun pelecehan seksual.

Kendati begitu, Suprihandoko mengakui, upaya pemberantasan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tidaklah mudah. Dalam perjalanannya, banyak pihak yang harus dilibatkan. Tidak hanya DP3KB yang harus mengambil peran untuk melakukan pendampingan kepada penyintas. Namun, juga kelompok masyarakat lainnya.

“Lintas sektor harus berupaya dan berjibaku untuk memberikan kontribusi pada hak-hak anak. Saat ini Jember masih pratama, masih jauh untuk mencapai kabupaten layak anak,” bebernya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, rata-rata lama pendidikan di Jember hanya 6,18 tahun. Artinya, rata-rata anak di Jember masih lulusan SD.  Dan hingga saat ini, pihaknya masih berupaya untuk memberikan jaminan keamanan kepada anak. “Pelecehan yang dilakukan oleh oknum dosen itu adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian. Itu kan memacu kita untuk memberikan perlindungan,” ulasnya.

Terpisah, Eri Andriani, Direktur Stapa Centre, lembaga nirlaba yang peduli pada isu pekerja anak, menyatakan, pemenuhan hak anak dapat dimulai dari pemberian edukasi yang relevan dengan kondisi anak. Pemberian edukasi tersebut tidak hanya mengacu pada lembaga formal, tapi juga pendidikan seksual. Itu agar anak dapat menghindari potensi pelecehan seksual yang terjadi.  “Secara pribadi saya mendukung pemberantasan intimidasi dan pelecehan seksual pada anak,” ungkapnya.

 

RH Masih Aktif di Kampus

Kabar terbaru tentang RH, dosen Universitas Jember (Unej) yang diduga menjadi pelaku pencabulan, hingga saat ini masih aktif mengajar. Meski ada kabar sebelumnya yang menyebut dia akan mengundurkan diri, tapi secara resmi pihak dekanat belum menerima surat tersebut. “Sampai sore ini tidak ada surat pengunduran diri dari yang bersangkutan. Jadi, seperti biasa. Kami tunggu hasil kerja dari tim pemeriksa,” ungkap Djoko Poernomo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej, kemarin (14/4).

Selanjutnya, jika memang dari rektorat telah menginstruksikan atau data-data yang dikantongi sudah cukup, maka kebijakan pemberhentian dapat dilakukan. Namun sejauh ini, pihak fakultas masih menunggu dari rektorat. “Berdasarkan itu nanti, saya Dekan FISIP mempunyai kebijakan. Baik pemberhentian maupun selain itu,” ungkapnya.

Sementara, kabar lain yang menyebutkan adanya indikasi korban lain dari mahasiswa, Djoko belum bisa memastikannya. Sebab, hingga saat ini belum ada data yang ditampung dari Pusat Studi Gender (PSG) Unej. “Sejauh ini, FISIP belum menerima serapan data dari PSG. Bisa jadi, PSG langsung ke rektorat,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Rektor Unej Iwan Taruna mengungkapkan, pihaknya masih melakukan pemeriksaan melalui tim yang telah dibentuk. Karena itu, perubahan status RH dari saksi menjadi tersangka belum memberi pengaruh signifikan terhadap langkah Unej pada kasus ini. “Tim pemeriksaan Unej sedang bekerja dan berkoordinasi dengan polres. Unej akan menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku,” katanya, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Sementara itu, Kasubag Humas Unej Rokmad Hidayanto menjelaskan alur pengunduran diri atas permintaan sendiri. Menurut dia, yang bersangkutan harus mengajukan surat permohonan pengunduran diri kepada dekan. Selanjutnya, dekanat akan meneruskan kepada rektorat. Atas beberapa pertimbangan, rektorat mengajukan surat pengunduran itu kepada kementerian. “Nanti prosesnya ke kementerian. Sampai saat ini, proses itu belum masuk ke dekanat. Dekanat masih mengumpulkan data-data terkait ini,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keberanian korban pelecehan seksual bersuara dinilai menjadi poin penting bagi upaya penghapusan kekerasan seksual kepada anak. Sebab, keberanian korban menyuarakan apa yang dialami bisa mendorong pengungkapan kasus-kasus serupa lainnya. Oleh karena itu, kasus yang menimpa Nada, korban pelecehan oleh oknum dosen, tak bisa dilepas begitu saja. Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk menguatkan upaya penghapusan kekerasan tersebut.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jember Suprihandoko mengungkapkan, dengan adanya pengungkapan kasus dari penyintas, maka upaya mewujudkan Jember sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) mengalami perkembangan. “Kita bisa membangkitkan perlindungan agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi. Dia harus kita dukung, karena sudah berani bersuara,” katanya, kemarin (14/4).

Suprihandoko menegaskan, dengan bertambahnya catatan pelecehan seksual terhadap anak, bukan berarti KLA yang disandang Jember semakin menjauh. Justru, terungkapnya kasus itu menjadi salah satu hal positif yang layak untuk diapresiasi. Harapannya, para korban pelecehan seksual yang masih anak-anak memiliki keberanian serupa agar mereka juga bersuara.

Menurut dia, lahirnya Satgas Layak Anak di tingkat desa maupun kecamatan dapat mengurangi kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, anak-anak yang mengikuti atau ternaungi oleh satgas sedikit banyak akan mendapatkan edukasi mengenai hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya hak anak untuk membela diri dari kekerasan maupun pelecehan seksual.

Kendati begitu, Suprihandoko mengakui, upaya pemberantasan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tidaklah mudah. Dalam perjalanannya, banyak pihak yang harus dilibatkan. Tidak hanya DP3KB yang harus mengambil peran untuk melakukan pendampingan kepada penyintas. Namun, juga kelompok masyarakat lainnya.

“Lintas sektor harus berupaya dan berjibaku untuk memberikan kontribusi pada hak-hak anak. Saat ini Jember masih pratama, masih jauh untuk mencapai kabupaten layak anak,” bebernya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, rata-rata lama pendidikan di Jember hanya 6,18 tahun. Artinya, rata-rata anak di Jember masih lulusan SD.  Dan hingga saat ini, pihaknya masih berupaya untuk memberikan jaminan keamanan kepada anak. “Pelecehan yang dilakukan oleh oknum dosen itu adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian. Itu kan memacu kita untuk memberikan perlindungan,” ulasnya.

Terpisah, Eri Andriani, Direktur Stapa Centre, lembaga nirlaba yang peduli pada isu pekerja anak, menyatakan, pemenuhan hak anak dapat dimulai dari pemberian edukasi yang relevan dengan kondisi anak. Pemberian edukasi tersebut tidak hanya mengacu pada lembaga formal, tapi juga pendidikan seksual. Itu agar anak dapat menghindari potensi pelecehan seksual yang terjadi.  “Secara pribadi saya mendukung pemberantasan intimidasi dan pelecehan seksual pada anak,” ungkapnya.

 

RH Masih Aktif di Kampus

Kabar terbaru tentang RH, dosen Universitas Jember (Unej) yang diduga menjadi pelaku pencabulan, hingga saat ini masih aktif mengajar. Meski ada kabar sebelumnya yang menyebut dia akan mengundurkan diri, tapi secara resmi pihak dekanat belum menerima surat tersebut. “Sampai sore ini tidak ada surat pengunduran diri dari yang bersangkutan. Jadi, seperti biasa. Kami tunggu hasil kerja dari tim pemeriksa,” ungkap Djoko Poernomo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej, kemarin (14/4).

Selanjutnya, jika memang dari rektorat telah menginstruksikan atau data-data yang dikantongi sudah cukup, maka kebijakan pemberhentian dapat dilakukan. Namun sejauh ini, pihak fakultas masih menunggu dari rektorat. “Berdasarkan itu nanti, saya Dekan FISIP mempunyai kebijakan. Baik pemberhentian maupun selain itu,” ungkapnya.

Sementara, kabar lain yang menyebutkan adanya indikasi korban lain dari mahasiswa, Djoko belum bisa memastikannya. Sebab, hingga saat ini belum ada data yang ditampung dari Pusat Studi Gender (PSG) Unej. “Sejauh ini, FISIP belum menerima serapan data dari PSG. Bisa jadi, PSG langsung ke rektorat,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Rektor Unej Iwan Taruna mengungkapkan, pihaknya masih melakukan pemeriksaan melalui tim yang telah dibentuk. Karena itu, perubahan status RH dari saksi menjadi tersangka belum memberi pengaruh signifikan terhadap langkah Unej pada kasus ini. “Tim pemeriksaan Unej sedang bekerja dan berkoordinasi dengan polres. Unej akan menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku,” katanya, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Sementara itu, Kasubag Humas Unej Rokmad Hidayanto menjelaskan alur pengunduran diri atas permintaan sendiri. Menurut dia, yang bersangkutan harus mengajukan surat permohonan pengunduran diri kepada dekan. Selanjutnya, dekanat akan meneruskan kepada rektorat. Atas beberapa pertimbangan, rektorat mengajukan surat pengunduran itu kepada kementerian. “Nanti prosesnya ke kementerian. Sampai saat ini, proses itu belum masuk ke dekanat. Dekanat masih mengumpulkan data-data terkait ini,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca