22.4 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Kasus RH Masuk Delik Biasa

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus dugaan pencabulan anak yang menyeret RH, salah satu dosen Universitas Jember (Unej), terus berlanjut. Seusai menjalani pemeriksaan kepolisian, 8 April lalu, kini RH mengikuti gelar perkara perdana yang berlangsung sekitar pukul 09.00, kemarin (13/4).

Kepala Unit (Kanit) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember Iptu Diyah Vitasari mengungkapkan, dari gelar perkara tersebut masih ada petunjuk yang harus dilengkapi oleh penyidik. Adapun barang bukti yang telah dikantongi yaitu baju yang dipakai korban dan HP yang berisi rekaman suara saat pelecehan seksual dilakukan RH.

Hingga saat ini, Polres Jember telah memeriksa lima saksi. Mereka adalah korban, pelapor yang juga ibu korban, saudara sepupu yang tinggal satu rumah, istri terlapor, dan terlapor.

Mobile_AP_Rectangle 2

Vitasari mengungkapkan, hingga kini status RH masih saksi. Sebab, akan ada gelar perkara selanjutnya untuk menetapkan apakah RH menjadi tersangka atau tidak. “Statusnya masih saksi. Nanti akan dipanggil untuk melakukan BAP,” katanya.

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim Polres Jember Iptu Solekhan Arif. Dia menyatakan, hingga kini status RH masih menjadi saksi. “Nanti akan ada gelar perkara kedua. Setelah penyidik melengkapi persyaratannya,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Pakar Hukum Unej Fanny Tanuwijaya menjelaskan, secara normatif status saksi akan naik menjadi tersangka manakala sudah ada dua alat bukti yang cukup. Alurnya, jika gelar perkara pertama langsung diakui oleh pihak kepolisian, maka status RH bisa ditetapkan menjadi tersangka. “Penetapan tersangka harus ada dua alat bukti. Yang penting sudah ada alat bukti cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka,” paparnya.

Selanjutnya, Fanny juga menjelaskan, kasus pencabulan pada anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, kasus ini tidak bisa dihentikan walaupun mediasi antara korban dan pelaku sudah dilakukan. Sebab, dalam kasus tersebut korbannya adalah anak dengan tujuan agar pelaku tidak melakukan tindak pidana lagi. “Kasus tersebut tidak bisa dihentikan karena korbannya anak. Walaupun keluarga mencabut laporan, kasus harus dilanjutkan,” ulas Fanny.

Menurut dia, pada kasus semacam ini ancaman hukuman paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun dengan denda maksimal Rp 5 miliar. Ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. RH diduga melanggar pasal 82 ayat 1. Selain itu, juga bisa dijerat dengan pasal 82 ayat 2, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan. “Jika terbukti, ada hukuman di bawah ayat kedua. Jika tindak pidana dilakukan oleh pendidik, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok,” pungkasnya.

 

Mahasiswa Gelar Dukungan

Kasus kekerasan seksual masih menjadi ancaman.  Bahkan, kekerasan seksual itu juga berada pada ruang akademis. Bentuknya mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua orang berpotensi menjadi pelaku kekerasan, termasuk para akademisi sekalipun.

Menilik beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, misalnya kasus di UGM dan Sastra Unej,  hingga kasus Nada yang baru-baru ini terjadi. Seluruh kasus itu menjadi alarm agar semua saling bersinergi untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual di kampus atau yang melibatkan orang-orang kampus.

Maka dari itu, sejumlah mahasiswa Unej yang terhimpun dalam Koalisi Tolak Kekerasan Seksual menggandeng beberapa organisasi perempuan mengadakan aksi virtual jilid satu. Aksi daring itu bertajuk Unej Speak Up dan Suara untuk Nada. Salah satu perwakilan Koalisi Tolak Kekerasan Seksual, Trisna, mengungkapkan, aksi virtual ini merupakan salah satu upaya dalam menyatukan persepsi publik. Harapannya, lembaga maupun individu bisa terus mendukung upaya pengawalan kasus tersebut.

Menurutnya, aksi ini sekaligus bentuk desakan kepada pihak terkait agar bertindak tegas, sehingga kasus kekerasan seksual dapat segera dituntaskan. Selain itu, sebagai bentuk seruan kepada semua mahasiswa maupun masyarakat luas, agar tidak takut lagi melapor ketika melihat atau menjadi korban kekerasan seksual. “Diskusi dan aksi virtual ini dari elemen lain di luar Jember. Mereka juga mengungkapkan dukungannya untuk mendesak kepolisian agar melakukan penahanan,” ungkap Trisna, kemarin (13/4).

Selanjutnya, Trisna menyampaikan, pihaknya akan menghimpun dukungan melalui pengisian petisi. Baik untuk perseorangan maupun lembaga. Sehingga ada tindakan konkret untuk mengusut tuntas kasus ini.

Koordinator Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jember Sholehati yang juga menjadi pembicara pada aksi virtual itu mengungkapkan, apa pun bentuk pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan. Sebab, akan mengundang korban-korban lainnya. “Sekecil apa pun, namanya pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus dugaan pencabulan anak yang menyeret RH, salah satu dosen Universitas Jember (Unej), terus berlanjut. Seusai menjalani pemeriksaan kepolisian, 8 April lalu, kini RH mengikuti gelar perkara perdana yang berlangsung sekitar pukul 09.00, kemarin (13/4).

Kepala Unit (Kanit) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember Iptu Diyah Vitasari mengungkapkan, dari gelar perkara tersebut masih ada petunjuk yang harus dilengkapi oleh penyidik. Adapun barang bukti yang telah dikantongi yaitu baju yang dipakai korban dan HP yang berisi rekaman suara saat pelecehan seksual dilakukan RH.

Hingga saat ini, Polres Jember telah memeriksa lima saksi. Mereka adalah korban, pelapor yang juga ibu korban, saudara sepupu yang tinggal satu rumah, istri terlapor, dan terlapor.

Vitasari mengungkapkan, hingga kini status RH masih saksi. Sebab, akan ada gelar perkara selanjutnya untuk menetapkan apakah RH menjadi tersangka atau tidak. “Statusnya masih saksi. Nanti akan dipanggil untuk melakukan BAP,” katanya.

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim Polres Jember Iptu Solekhan Arif. Dia menyatakan, hingga kini status RH masih menjadi saksi. “Nanti akan ada gelar perkara kedua. Setelah penyidik melengkapi persyaratannya,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Pakar Hukum Unej Fanny Tanuwijaya menjelaskan, secara normatif status saksi akan naik menjadi tersangka manakala sudah ada dua alat bukti yang cukup. Alurnya, jika gelar perkara pertama langsung diakui oleh pihak kepolisian, maka status RH bisa ditetapkan menjadi tersangka. “Penetapan tersangka harus ada dua alat bukti. Yang penting sudah ada alat bukti cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka,” paparnya.

Selanjutnya, Fanny juga menjelaskan, kasus pencabulan pada anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, kasus ini tidak bisa dihentikan walaupun mediasi antara korban dan pelaku sudah dilakukan. Sebab, dalam kasus tersebut korbannya adalah anak dengan tujuan agar pelaku tidak melakukan tindak pidana lagi. “Kasus tersebut tidak bisa dihentikan karena korbannya anak. Walaupun keluarga mencabut laporan, kasus harus dilanjutkan,” ulas Fanny.

Menurut dia, pada kasus semacam ini ancaman hukuman paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun dengan denda maksimal Rp 5 miliar. Ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. RH diduga melanggar pasal 82 ayat 1. Selain itu, juga bisa dijerat dengan pasal 82 ayat 2, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan. “Jika terbukti, ada hukuman di bawah ayat kedua. Jika tindak pidana dilakukan oleh pendidik, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok,” pungkasnya.

 

Mahasiswa Gelar Dukungan

Kasus kekerasan seksual masih menjadi ancaman.  Bahkan, kekerasan seksual itu juga berada pada ruang akademis. Bentuknya mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua orang berpotensi menjadi pelaku kekerasan, termasuk para akademisi sekalipun.

Menilik beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, misalnya kasus di UGM dan Sastra Unej,  hingga kasus Nada yang baru-baru ini terjadi. Seluruh kasus itu menjadi alarm agar semua saling bersinergi untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual di kampus atau yang melibatkan orang-orang kampus.

Maka dari itu, sejumlah mahasiswa Unej yang terhimpun dalam Koalisi Tolak Kekerasan Seksual menggandeng beberapa organisasi perempuan mengadakan aksi virtual jilid satu. Aksi daring itu bertajuk Unej Speak Up dan Suara untuk Nada. Salah satu perwakilan Koalisi Tolak Kekerasan Seksual, Trisna, mengungkapkan, aksi virtual ini merupakan salah satu upaya dalam menyatukan persepsi publik. Harapannya, lembaga maupun individu bisa terus mendukung upaya pengawalan kasus tersebut.

Menurutnya, aksi ini sekaligus bentuk desakan kepada pihak terkait agar bertindak tegas, sehingga kasus kekerasan seksual dapat segera dituntaskan. Selain itu, sebagai bentuk seruan kepada semua mahasiswa maupun masyarakat luas, agar tidak takut lagi melapor ketika melihat atau menjadi korban kekerasan seksual. “Diskusi dan aksi virtual ini dari elemen lain di luar Jember. Mereka juga mengungkapkan dukungannya untuk mendesak kepolisian agar melakukan penahanan,” ungkap Trisna, kemarin (13/4).

Selanjutnya, Trisna menyampaikan, pihaknya akan menghimpun dukungan melalui pengisian petisi. Baik untuk perseorangan maupun lembaga. Sehingga ada tindakan konkret untuk mengusut tuntas kasus ini.

Koordinator Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jember Sholehati yang juga menjadi pembicara pada aksi virtual itu mengungkapkan, apa pun bentuk pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan. Sebab, akan mengundang korban-korban lainnya. “Sekecil apa pun, namanya pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kasus dugaan pencabulan anak yang menyeret RH, salah satu dosen Universitas Jember (Unej), terus berlanjut. Seusai menjalani pemeriksaan kepolisian, 8 April lalu, kini RH mengikuti gelar perkara perdana yang berlangsung sekitar pukul 09.00, kemarin (13/4).

Kepala Unit (Kanit) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember Iptu Diyah Vitasari mengungkapkan, dari gelar perkara tersebut masih ada petunjuk yang harus dilengkapi oleh penyidik. Adapun barang bukti yang telah dikantongi yaitu baju yang dipakai korban dan HP yang berisi rekaman suara saat pelecehan seksual dilakukan RH.

Hingga saat ini, Polres Jember telah memeriksa lima saksi. Mereka adalah korban, pelapor yang juga ibu korban, saudara sepupu yang tinggal satu rumah, istri terlapor, dan terlapor.

Vitasari mengungkapkan, hingga kini status RH masih saksi. Sebab, akan ada gelar perkara selanjutnya untuk menetapkan apakah RH menjadi tersangka atau tidak. “Statusnya masih saksi. Nanti akan dipanggil untuk melakukan BAP,” katanya.

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim Polres Jember Iptu Solekhan Arif. Dia menyatakan, hingga kini status RH masih menjadi saksi. “Nanti akan ada gelar perkara kedua. Setelah penyidik melengkapi persyaratannya,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Pakar Hukum Unej Fanny Tanuwijaya menjelaskan, secara normatif status saksi akan naik menjadi tersangka manakala sudah ada dua alat bukti yang cukup. Alurnya, jika gelar perkara pertama langsung diakui oleh pihak kepolisian, maka status RH bisa ditetapkan menjadi tersangka. “Penetapan tersangka harus ada dua alat bukti. Yang penting sudah ada alat bukti cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka,” paparnya.

Selanjutnya, Fanny juga menjelaskan, kasus pencabulan pada anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, kasus ini tidak bisa dihentikan walaupun mediasi antara korban dan pelaku sudah dilakukan. Sebab, dalam kasus tersebut korbannya adalah anak dengan tujuan agar pelaku tidak melakukan tindak pidana lagi. “Kasus tersebut tidak bisa dihentikan karena korbannya anak. Walaupun keluarga mencabut laporan, kasus harus dilanjutkan,” ulas Fanny.

Menurut dia, pada kasus semacam ini ancaman hukuman paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun dengan denda maksimal Rp 5 miliar. Ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. RH diduga melanggar pasal 82 ayat 1. Selain itu, juga bisa dijerat dengan pasal 82 ayat 2, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan. “Jika terbukti, ada hukuman di bawah ayat kedua. Jika tindak pidana dilakukan oleh pendidik, maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok,” pungkasnya.

 

Mahasiswa Gelar Dukungan

Kasus kekerasan seksual masih menjadi ancaman.  Bahkan, kekerasan seksual itu juga berada pada ruang akademis. Bentuknya mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa semua orang berpotensi menjadi pelaku kekerasan, termasuk para akademisi sekalipun.

Menilik beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, misalnya kasus di UGM dan Sastra Unej,  hingga kasus Nada yang baru-baru ini terjadi. Seluruh kasus itu menjadi alarm agar semua saling bersinergi untuk mengentaskan kasus kekerasan seksual di kampus atau yang melibatkan orang-orang kampus.

Maka dari itu, sejumlah mahasiswa Unej yang terhimpun dalam Koalisi Tolak Kekerasan Seksual menggandeng beberapa organisasi perempuan mengadakan aksi virtual jilid satu. Aksi daring itu bertajuk Unej Speak Up dan Suara untuk Nada. Salah satu perwakilan Koalisi Tolak Kekerasan Seksual, Trisna, mengungkapkan, aksi virtual ini merupakan salah satu upaya dalam menyatukan persepsi publik. Harapannya, lembaga maupun individu bisa terus mendukung upaya pengawalan kasus tersebut.

Menurutnya, aksi ini sekaligus bentuk desakan kepada pihak terkait agar bertindak tegas, sehingga kasus kekerasan seksual dapat segera dituntaskan. Selain itu, sebagai bentuk seruan kepada semua mahasiswa maupun masyarakat luas, agar tidak takut lagi melapor ketika melihat atau menjadi korban kekerasan seksual. “Diskusi dan aksi virtual ini dari elemen lain di luar Jember. Mereka juga mengungkapkan dukungannya untuk mendesak kepolisian agar melakukan penahanan,” ungkap Trisna, kemarin (13/4).

Selanjutnya, Trisna menyampaikan, pihaknya akan menghimpun dukungan melalui pengisian petisi. Baik untuk perseorangan maupun lembaga. Sehingga ada tindakan konkret untuk mengusut tuntas kasus ini.

Koordinator Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jember Sholehati yang juga menjadi pembicara pada aksi virtual itu mengungkapkan, apa pun bentuk pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan. Sebab, akan mengundang korban-korban lainnya. “Sekecil apa pun, namanya pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca