GARAHAN, Radar Jember – Akar masalah meledaknya konflik sejumlah orang di Desa Mulyorejo semakin terang benderang. Terjadinya insiden perusakan dan pembakaran yang dilakukan sembilan tersangka asal Desa Banyuanyar, Banyuwangi, tidak terjadi begitu saja. Ada sebab yang membuat mereka main hakim sendiri, yaitu menjadi korban premanisme.
BACA JUGA : Desa Mulyorejo dan Banyuanyar Berjabat Tangan Capai Kesepakatan Damai
Penelusuran Jawa Pos Radar Jember tentang kasus “rumah rampok dibakar” di Desa Mulyorejo terbukti belakangan. Kabar dari tokoh penting asal Silo, awal Agustus, atas insiden akhir Juli tersebut nyata adanya. Orang-orang yang saat ini ditetapkan tersangka karena main hakim sendiri dengan merusak dan membakar rumah rampok, sejatinya merupakan korban premanisme yang dilakukan sekelompok orang yang rumahnya rusak dan dibakar. Namun, ada warga setempat, yaitu Ustad Qosim, yang murni menjadi korban. Qosim bukan merupakan pelaku premanisme, namun rumahnya ikut dirusak.
Permasalahan kompleks itulah yang sempat menjadi akut dan sulit diselesaikan. Bahkan, kasus premanisme yang disebut-sebut oleh sembilan tersangka terjadi secara terang-terangan. Ada pungutan liar, hingga perampokan pada hasil kopi yang dipanen. Namun, nasi sudah menjadi bubur, dan semua pihak harus mematuhi aturan hukum.
Menurut Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo, penetapan 9 tersangka kasus pembakaran rumah dan kendaraan sudah sesuai dasar hukum. Meski demikian, sembilan warga tersebut merupakan korban premanisme yang dilakukan oleh penghuni rumah-rumah yang dibakar. Kasus premanisme ini pun menjadi bagian penting yang perlu diungkap.
Dalang premanisme yang memicu terjadinya main hakim sendiri juga telah ditetapkan sebagai buronan. Nama-nama penghuni rumah yang dirusak dan dibakar ditetapkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Terkecuali Ustad Qosim, yang rumahnya juga dirusak dan murni menjadi korban.
Guna menangani kasus itu, Polres Jember membentuk tim khusus untuk menangkap dalang premanisme. Polisi juga menduga otak premanisme adalah pria berinisial S dan T. Dua orang itu sempat tinggal di kawasan Mulyorejo, namun disebut-sebut berasal dari luar kota. Keduanya juga bukan warga dari Desa Mulyorejo maupun Desa Banyuanyar.
“Saya akan tuntaskan semuanya. Jenengan tidak usah khawatir. Saya sudah punya tim yang bergerak ke mana-mana. Bila diketahui S dan T masuk lagi ke Desa Mulyorejo atau Kalibaru, silakan diambil, dan serahkan kepada kami,” tegasnya di hadapan warga Banyuanyar dan Mulyorejo.
Dia juga menjawab kekecewaan warga atas penetapan 9 tersangka pembakaran sebelumnya. Penetapan tersebut telah sesuai dengan fakta hukum. “Polisi itu tidak mungkin menangkap sembarangan, tanpa adanya fakta hukum yang jelas,” katanya.
Jika ditelisik lebih dalam, lanjut Hery, aksi premanisme juga tidak serta-merta muncul tanpa alasan. Mereka, oknum premanisme, memanfaatkan celah dari petani kopi yang belum mempunyai izin dari Perhutani. “Makanya ke depan, jika hendak memanfaatkan lahan negara tersebut, persyaratannya harus dipenuhi. Jika tidak, maka akan muncul (pungli, Red) seperti itu lagi,” imbuhnya.
Di sisi lain, Hery mengaku sangat menyayangkan aksi premanisme yang dibiarkan berjalan selama bertahun-tahun, yaitu sejak 2012. “Kalau perlu, saya akan buatkan pos polisi di atas. Warga bisa lapor ke sana jika ada kejadian serupa. Bahkan, jika pos polisinya telat, maka selama saya di Jember, saya yang akan turun langsung,” tegasnya.
Sementara itu, Abdul Azis, Ketua RT Dusun Dampikrejo, Desa Mulyorejo, menyatakan rasa bahagia karena semua insiden terungkap. Banyak warga dari wilayahnya bersyukur atas pembakaran rumah preman yang sempat diberi judul “rumah rampok dibakar” tersebut. “Waktu kejadian, semua warga bilang, alhamdulillah,” timpalnya.
Aziz menyebut, warga bersyukur karena saat ini juga panen kopi. Sebelum-sebelumnya, sejak tahun 2012 silam, petani tidak bisa panen kopi dengan tenang karena ada yang melakukan pungli. Bahkan hasil panen ada yang diambil dengan aksi premanisme. (mun/c2/nur)