JEMBER, RADARJEMBER.ID – Rimbunan bambu tumbuh subur sepanjang tepian sungai. Orang-orang kampung banyak memanfaatkan air sungai untuk mandi dan cuci-cuci. Beberapa perusahaan tempe juga turut mengotori. Karung kedelai itu dimasukan ke dalam timba besar, kemudian dibersihkan di pinggir sungai. Diinjak-injak dan dibasuh dengan air sungai. Begitulah salah satu isi cerita perjalanan di laporan Ekspedisi Sungai Bedadung pada 1991 silam, yang dilakukan Mahasiswa Pecinta Alam (Mahapena) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jember (Unej).
Buku laporan dengan kertas buram dan diketik dengan mesin ketik manual tersebut tersimpan di lemari besar di Sekretariat Mahapena. Ketua Umum Mahapena Agil Febrian mengaku, ekspedisi ini membuat cikal bakal semangat mengenal lebih dekat Sungai Bedadung dengan segala potensinya, arung jeram, sekaligus memperhatikan lingkungannya.
Dia menjelaskan, pada 2008 pernah ada kegiatan bersih-bersih Sungai Bedadung, tapi fokusnya hanya di sungai sekitar kampus. Namun, berbeda sekali dengan ekspedisi yang dilakukan tahun 1991 itu, yang finis sampai Puger.
Jawa Pos Radar Jember akhirnya berjumpa dengan pelaku ekspedisi Sungai Bedadung. Salah satunya adalah Nur Hidayat. Pria berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi tegap tersebut menuturkan, luapan Bedadung akhir Januari lalu tentu saja mengingatkan dirinya dengan ekspedisi ‘gila’ 30 tahun silam. Bagaimana tidak, perahu yang digunakan hanya terbuat dari dua ban traktor yang dijadikan satu. “Pakai ban dalam traktor dijadikan satu dan ditutupi terpal. Jadi, seperti donat raksasa,” kenangnya.
Di usianya yang kini lebih setengah abad itu, Nur Hidayat sedikit lupa kapan pelaksanaan ekspedisi tersebut. “Oh, bukan tahun 1990, tapi Januari 1991, yaitu 17-18 Januari. Sementara, 1990 itu awal bentuk tim dan melakukan survei, dan lainnya,” terangnya.
Start di Desa Kotok, Kecamatan Kalisat, tim ekspedisi Sungai Bedadung 1991 itu mulai turun. Tim dibagi menjadi dua, tim darat dan tim air. “Tim darat itu ada almarhum Johan Simon, Yudi, Lukas, dan beberapa lagi yang tidak dia ingat. Tugas tim darat back up logistik, serta pengamanan pada jeram berbahaya,” jelasnya.
Sementara itu, tim air tidak selalu tetap, salah satunya ada Sholeh, Happy Waker, Dodik, Budi Karno, Ismangun, Taufik Gufi, dan Nur Hidayat sendiri. “Satu perahu donat itu ada enam orang. Karena masih mahasiswa, saat ada kuliah ya tidak bisa ikut, sehingga gantian,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, ekspedisi pada Januari tersebut karena pada bulan itu adalah tinggi-tingginya debit air sungai. “Kalau musim kemarau, perahu sering nyangkut ke batu-batu,” ujarnya. Bahkan, dalam cerita perjalanan pada 1991, ketika musim hujan, Sungai Bedadung juga sering banjir. Apalagi, pada Januari dan Februari, cuaca tidak menentu.
Nur Hidayat menjelaskan, Sungai Bedadung itu disuplai oleh dua gunung, Raung dan Argopuro. Bahkan, sungai kecil dari lereng Argopuro juga menyuplai. Ditambah lagi, Pegunungan Argopuro bagian timur hampir setiap hari diguyur hujan pada Januari-Februari. Sehingga, debit air Bedadung bisa cepat naik walau di kota tidak hujan.
Dia menjelaskan, persoalan Bedadung dari dulu sampai sekarang hampir sama. “Dari dulu buang sampah di sungai ya tetap ada,” ucapnya. Permukiman penduduk yang tinggal di bantaran sungai juga terjadi. Namun, itu hanya di daerah kota. Perbedaan mencolok sekarang, kata dia, permukiman penduduk semakin banyak. Bahkan, lokasi yang dulunya rimbunan bambu telah berubah jadi rumah warga.
Nur Hidayat mencontohkan, seperti di belakang Taman Makam Pahlawan (TMP) Patrang. Bahkan, dia berujar, juga ada permukiman penduduk tumbuh di bawah dinding sungai. Karenanya, jelas berbahaya bila debit air Bedadung meninggi seperti akhir Januari lalu.
Apalagi, Sungai Bedadung itu tidak lurus, tapi meliuk-meliuk. Karena itu, hempasan air ke dinding sungai juga kian meningkat. Untuk jeramnya sendiri, Sungai Bedadung cukup asyik bila air itu besar. Bahkan, batu-batu sebesar lemari menjadi rintangan tersendiri. Tapi jeram-jeram menawan itu tidak selalu ada sampai garis finis di Puger. Sebab, setelah Dam Rowotamtu di Rambipuji, air sungai flat hingga Puger. Bahkan, dam itu tidak berani dilewati karena cukup tinggi. “Perahu digotong ke darat dan masuk lagi ke air setelah Dam Rowotamtu,” ungkapnya.
Namun, sebelum ke dam, tim ekspedisi bermalam di Desa Bedadung Wetan, dekat Terminal Tawang Alun. Ketika bermalam tersebut, banyak cerita oleh warga setempat pada tahun 1991. Yaitu, Sungai Bedadung dulu pernah banjir bandang besar. Akibat kejadian itu, banyak penduduk hilang digulung derasnya sungai. Bahkan, dalam cerita penduduk, dulu saat musim kemarau, terkadang buaya menampakkan dirinya.
Sampai di Balung, sungai tetap saja flat. Tapi ada pemandangan lain, yaitu warga memanfaatkan sungai untuk merendam bambu. Sampai ke Puger, panas semakin menyengat ditambah kilauan putih dari gunung kapur di Grenden. Mendekati finis, hilir mudik perahu kayu jadi pemandangan. Bahkan, setiap ada nelayan melintas mereka selalu bertanya yang tidak akan dilupakan oleh Nur Hidayat. “Nelayan itu selalu tanya, bertemu buaya apa tidak,” pungkasnya.