22.9 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Problemnya Sangat Kompleks

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Bukan rahasia lagi bahwa peredaraan narkoba saat ini tidak hanya menyasar kalangan yang tinggal di perkotaan. Namun, juga warga di perdesaan. Apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi masifnya peredaran barang haram tersebut? Pemerhati kriminologi Hery Prasetyo menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi. Terlebih saat ini, melihat tren kejahatan, sudah tidak ada lagi batasan antara desa dan kota. Baik varian maupun jumlahnya.

Khusus masalah narkoba, kata dia, problemnya sangat kompleks. Mulai dari produksi hingga rantai distribusi. Bahkan, jenisnya juga beragam. Ada narkoba sintetis dan semisintetis. Inilah yang menurutnya banyak menarik perhatian orang. Di sisi lain, faktor keuntungan besar dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dua hal ini yang mendorong orang untuk terlibat dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Dan untuk mendapat keuntungan itu, perlu diciptakan pasar. Tak dibatasi apakah itu desa atau kota.

Laju pembangunan yang massif dan diikuti dengan akumulasi modal, kata Hery, selalu disertai dengan cacat bawaan. Ketimpangan, penyimpangan, dan terciptanya kesempatan untuk praktik-praktik kejahatan. Apalagi, dia menambahkan, desa di Jember hari ini sudah tidak bisa lagi dilihat sebagai perdesaan beberapa tahun silam, yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama.

Mobile_AP_Rectangle 2

“Maksud saya, meski secara data mata pencarian warga desa diwarnai pertanian, tetapi di dalamnya selalu ada pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan untuk mobilitas sosial,” ujar dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej) tersebut.

Menurut dia, adanya kebutuhan untuk mendapatkan kesejahteraan seiring adanya pembangunan, berkontribusi pada perubahan karakter, dan model perilaku sosial yang ada. Contohnya, masuknya anak dan remaja desa yang terjebak pada jaringan narkoba sintetis dan semisintetis. “Karena ada uang yang berputar di sana,” paparnya. Kendati begitu, Hery menggarisbawahi, tidak semua desa bisa digeneralisasi dengan situasi seperti ini.

Faktor penyebab lainnya, kata Hery, adalah kepala keluarga yang bekerja merantau keluar desa. Kondisi ini menyebabkan pengawasan pada anak semakin longgar. Biasanya adalah keluarga muda di perdesaan yang tidak memiliki pekerjaan di sektor pertanian. Mereka harus berkerja ke kota dengan mengadu nasib pada sektor informal. Ditambah lagi konstruksi media sosial yang berefek pada penyeragaman “gaya hidup”.

Mereka yang berjarak dan jauh dari pengawasan keluarga ini menciptakan ruang privatnya sendiri. Dan menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Ketika itu terjadi, maka kehendak anak dan remaja menjadi pusat perhatian, atau menjadi bagian dari kelompok sosial mendorong hasrat mereka untuk melawan kemapanan yang berujung pada pelanggaran aturan hukum. “Mereka mengonsumsi untuk menjadi bagian dari kelompok. Dan membuktikan bahwa mereka memiliki dunia yang sama dengan sebayanya,” imbuhnya.

Tak hanya itu, para pengedar narkoba juga sangat rapi dan licin. Bahkan, ketika tertangkap, mereka berlindung dengan dalih menjadi korban. Hal semacam ini yang terus terjadi dan berulang-ulang. Hingga menjadi celah bagi penegakan hukum. Untuk itu, dia menyarankan, setiap proses penyidikan harus dilakukan ketat dengan melibatkan berbagai pihak.

Bagaimana jika yang terlibat adalah anak-anak dan remaja? Menurutnya, langkah tersebut juga dapat menjamin keselamatan mereka yang terjebak dalam lingkaran penyalahgunaan narkoba. Mereka yang teridentifikasi sebagai pengedar harus mendapat hukuman setimpal, sekaligus mendapat pengawasan untuk mengurai jejaring peredaran narkoba ini. Sedangkan bagi korban, mendapat rehabilitasi dan pendampingan khusus.

“Saya tidak ingin menyatakan, baik pelaku maupun korban harus mendapatkan hukuman yang sama. Tetapi, perlu proses penyidikan yang ketat dan melibatkan keluarga, komunitas, NGO (non-governmental organization, Red) dan stakeholder,” imbuhnya.

Sebagai upaya pencegahan, aparat perlu melibatkan masyarakat. Sebab, informasi akurat tidak mungkin didapatkan tanpa adanya ikatan kepercayaan antara polisi dan warga. Khususnya di tingkatan desa yang di dalamnya juga ada unsur TNI. Menurutnya, semua itu perlu dilibatkan untuk mendeteksi tempat pelaku yang disinyalir menggunakan lokasi itu untuk transaksi narkoba. “Perspektifnya, kita perlu menempatkan isu penyalahgunaan narkoba sebagai bagian pembangunan sosial. Bukan persoalan hukum semata,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Bukan rahasia lagi bahwa peredaraan narkoba saat ini tidak hanya menyasar kalangan yang tinggal di perkotaan. Namun, juga warga di perdesaan. Apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi masifnya peredaran barang haram tersebut? Pemerhati kriminologi Hery Prasetyo menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi. Terlebih saat ini, melihat tren kejahatan, sudah tidak ada lagi batasan antara desa dan kota. Baik varian maupun jumlahnya.

Khusus masalah narkoba, kata dia, problemnya sangat kompleks. Mulai dari produksi hingga rantai distribusi. Bahkan, jenisnya juga beragam. Ada narkoba sintetis dan semisintetis. Inilah yang menurutnya banyak menarik perhatian orang. Di sisi lain, faktor keuntungan besar dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dua hal ini yang mendorong orang untuk terlibat dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Dan untuk mendapat keuntungan itu, perlu diciptakan pasar. Tak dibatasi apakah itu desa atau kota.

Laju pembangunan yang massif dan diikuti dengan akumulasi modal, kata Hery, selalu disertai dengan cacat bawaan. Ketimpangan, penyimpangan, dan terciptanya kesempatan untuk praktik-praktik kejahatan. Apalagi, dia menambahkan, desa di Jember hari ini sudah tidak bisa lagi dilihat sebagai perdesaan beberapa tahun silam, yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama.

“Maksud saya, meski secara data mata pencarian warga desa diwarnai pertanian, tetapi di dalamnya selalu ada pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan untuk mobilitas sosial,” ujar dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej) tersebut.

Menurut dia, adanya kebutuhan untuk mendapatkan kesejahteraan seiring adanya pembangunan, berkontribusi pada perubahan karakter, dan model perilaku sosial yang ada. Contohnya, masuknya anak dan remaja desa yang terjebak pada jaringan narkoba sintetis dan semisintetis. “Karena ada uang yang berputar di sana,” paparnya. Kendati begitu, Hery menggarisbawahi, tidak semua desa bisa digeneralisasi dengan situasi seperti ini.

Faktor penyebab lainnya, kata Hery, adalah kepala keluarga yang bekerja merantau keluar desa. Kondisi ini menyebabkan pengawasan pada anak semakin longgar. Biasanya adalah keluarga muda di perdesaan yang tidak memiliki pekerjaan di sektor pertanian. Mereka harus berkerja ke kota dengan mengadu nasib pada sektor informal. Ditambah lagi konstruksi media sosial yang berefek pada penyeragaman “gaya hidup”.

Mereka yang berjarak dan jauh dari pengawasan keluarga ini menciptakan ruang privatnya sendiri. Dan menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Ketika itu terjadi, maka kehendak anak dan remaja menjadi pusat perhatian, atau menjadi bagian dari kelompok sosial mendorong hasrat mereka untuk melawan kemapanan yang berujung pada pelanggaran aturan hukum. “Mereka mengonsumsi untuk menjadi bagian dari kelompok. Dan membuktikan bahwa mereka memiliki dunia yang sama dengan sebayanya,” imbuhnya.

Tak hanya itu, para pengedar narkoba juga sangat rapi dan licin. Bahkan, ketika tertangkap, mereka berlindung dengan dalih menjadi korban. Hal semacam ini yang terus terjadi dan berulang-ulang. Hingga menjadi celah bagi penegakan hukum. Untuk itu, dia menyarankan, setiap proses penyidikan harus dilakukan ketat dengan melibatkan berbagai pihak.

Bagaimana jika yang terlibat adalah anak-anak dan remaja? Menurutnya, langkah tersebut juga dapat menjamin keselamatan mereka yang terjebak dalam lingkaran penyalahgunaan narkoba. Mereka yang teridentifikasi sebagai pengedar harus mendapat hukuman setimpal, sekaligus mendapat pengawasan untuk mengurai jejaring peredaran narkoba ini. Sedangkan bagi korban, mendapat rehabilitasi dan pendampingan khusus.

“Saya tidak ingin menyatakan, baik pelaku maupun korban harus mendapatkan hukuman yang sama. Tetapi, perlu proses penyidikan yang ketat dan melibatkan keluarga, komunitas, NGO (non-governmental organization, Red) dan stakeholder,” imbuhnya.

Sebagai upaya pencegahan, aparat perlu melibatkan masyarakat. Sebab, informasi akurat tidak mungkin didapatkan tanpa adanya ikatan kepercayaan antara polisi dan warga. Khususnya di tingkatan desa yang di dalamnya juga ada unsur TNI. Menurutnya, semua itu perlu dilibatkan untuk mendeteksi tempat pelaku yang disinyalir menggunakan lokasi itu untuk transaksi narkoba. “Perspektifnya, kita perlu menempatkan isu penyalahgunaan narkoba sebagai bagian pembangunan sosial. Bukan persoalan hukum semata,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Bukan rahasia lagi bahwa peredaraan narkoba saat ini tidak hanya menyasar kalangan yang tinggal di perkotaan. Namun, juga warga di perdesaan. Apa sebenarnya faktor yang melatarbelakangi masifnya peredaran barang haram tersebut? Pemerhati kriminologi Hery Prasetyo menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi. Terlebih saat ini, melihat tren kejahatan, sudah tidak ada lagi batasan antara desa dan kota. Baik varian maupun jumlahnya.

Khusus masalah narkoba, kata dia, problemnya sangat kompleks. Mulai dari produksi hingga rantai distribusi. Bahkan, jenisnya juga beragam. Ada narkoba sintetis dan semisintetis. Inilah yang menurutnya banyak menarik perhatian orang. Di sisi lain, faktor keuntungan besar dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dua hal ini yang mendorong orang untuk terlibat dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Dan untuk mendapat keuntungan itu, perlu diciptakan pasar. Tak dibatasi apakah itu desa atau kota.

Laju pembangunan yang massif dan diikuti dengan akumulasi modal, kata Hery, selalu disertai dengan cacat bawaan. Ketimpangan, penyimpangan, dan terciptanya kesempatan untuk praktik-praktik kejahatan. Apalagi, dia menambahkan, desa di Jember hari ini sudah tidak bisa lagi dilihat sebagai perdesaan beberapa tahun silam, yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama.

“Maksud saya, meski secara data mata pencarian warga desa diwarnai pertanian, tetapi di dalamnya selalu ada pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan untuk mobilitas sosial,” ujar dosen Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej) tersebut.

Menurut dia, adanya kebutuhan untuk mendapatkan kesejahteraan seiring adanya pembangunan, berkontribusi pada perubahan karakter, dan model perilaku sosial yang ada. Contohnya, masuknya anak dan remaja desa yang terjebak pada jaringan narkoba sintetis dan semisintetis. “Karena ada uang yang berputar di sana,” paparnya. Kendati begitu, Hery menggarisbawahi, tidak semua desa bisa digeneralisasi dengan situasi seperti ini.

Faktor penyebab lainnya, kata Hery, adalah kepala keluarga yang bekerja merantau keluar desa. Kondisi ini menyebabkan pengawasan pada anak semakin longgar. Biasanya adalah keluarga muda di perdesaan yang tidak memiliki pekerjaan di sektor pertanian. Mereka harus berkerja ke kota dengan mengadu nasib pada sektor informal. Ditambah lagi konstruksi media sosial yang berefek pada penyeragaman “gaya hidup”.

Mereka yang berjarak dan jauh dari pengawasan keluarga ini menciptakan ruang privatnya sendiri. Dan menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Ketika itu terjadi, maka kehendak anak dan remaja menjadi pusat perhatian, atau menjadi bagian dari kelompok sosial mendorong hasrat mereka untuk melawan kemapanan yang berujung pada pelanggaran aturan hukum. “Mereka mengonsumsi untuk menjadi bagian dari kelompok. Dan membuktikan bahwa mereka memiliki dunia yang sama dengan sebayanya,” imbuhnya.

Tak hanya itu, para pengedar narkoba juga sangat rapi dan licin. Bahkan, ketika tertangkap, mereka berlindung dengan dalih menjadi korban. Hal semacam ini yang terus terjadi dan berulang-ulang. Hingga menjadi celah bagi penegakan hukum. Untuk itu, dia menyarankan, setiap proses penyidikan harus dilakukan ketat dengan melibatkan berbagai pihak.

Bagaimana jika yang terlibat adalah anak-anak dan remaja? Menurutnya, langkah tersebut juga dapat menjamin keselamatan mereka yang terjebak dalam lingkaran penyalahgunaan narkoba. Mereka yang teridentifikasi sebagai pengedar harus mendapat hukuman setimpal, sekaligus mendapat pengawasan untuk mengurai jejaring peredaran narkoba ini. Sedangkan bagi korban, mendapat rehabilitasi dan pendampingan khusus.

“Saya tidak ingin menyatakan, baik pelaku maupun korban harus mendapatkan hukuman yang sama. Tetapi, perlu proses penyidikan yang ketat dan melibatkan keluarga, komunitas, NGO (non-governmental organization, Red) dan stakeholder,” imbuhnya.

Sebagai upaya pencegahan, aparat perlu melibatkan masyarakat. Sebab, informasi akurat tidak mungkin didapatkan tanpa adanya ikatan kepercayaan antara polisi dan warga. Khususnya di tingkatan desa yang di dalamnya juga ada unsur TNI. Menurutnya, semua itu perlu dilibatkan untuk mendeteksi tempat pelaku yang disinyalir menggunakan lokasi itu untuk transaksi narkoba. “Perspektifnya, kita perlu menempatkan isu penyalahgunaan narkoba sebagai bagian pembangunan sosial. Bukan persoalan hukum semata,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca