JEMBER, RADARJEMBER.ID – Banjir yang menghantam sebagian permukiman di kawasan bawah Gladak Kembar yang menuju Jalan Sumatera, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, disebut sebagai banjir terparah yang disebabkan luapan Sungai Bedadung. Dampaknya, tak hanya merusak rumah-rumah penduduk, tapi juga membuat fondasi jembatan tersebut retak.
Kondisi ini membuat warga yang tinggal di bantaran sungai bawah jembatan khawatir. Mereka waswas jika dampak banjir belum usai dan berpotensi menimbulkan petaka susulan. Ambruknya jembatan menjadi bayang-bayang yang menghantui warga. Imam, salah satu penduduk setempat, mengungkapkan, warga merasa takut jika terjadi longsor tiba-tiba. Seperti tragedi runtuhnya pertokoan di Jembatan Jompo, tahun lalu.
Melihat kondisi itu, akademisi Universitas Jember (Unej) Bidang Keahlian Geoteknik, Indra Nurtjahningtyas menjelaskan, adanya keretakan di aspal dan fondasi jembatan belum tentu mengindikasikan kerusakan yang serupa seperti Jembatan Jompo. Sebab, secara umum jembatan memiliki cukup banyak bagian dan strukturnya pun berbeda. “Adanya keretakan tidak bisa disimpulkan secara merata. Macam keretakan pun cukup banyak,” imbuh dosen yang akrab disapa Indra tersebut.
Lebih jauh, Indra menyebut, posisi retak juga menjadi pertimbangan. Bisa jadi keretakan jalan yang berada di tengah jembatan disebabkan oleh konstruksi atas. Akan menjadi berbeda, kata dia, jika keretakan tersebut ditimbulkan dari struktur bawah jembatan.
Namun, Indra tidak menjelentrehkan lebih dalam mengenai kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Sumatera ini. Sebab, pihaknya belum melakukan investigasi terhadap kondisi jembatan. “Perlu ada kajian lebih dalam,” tandasnya.
Langkah Pencegahan
Sementara itu, Akademisi Unej yang lain, Gusfan Halik menyatakan, masih ada kemungkinan terjadi banjir yang lebih parah ketimbang bencana akhir Januari kemarin. Sebab, air berpotensi lebih besar ketika curah hujan tinggi mencapai 100 mililiter hingga 150 mililiter. “Nantinya akan ada kejadian serupa,” kata Gusfan.
Menurut dia, sepintas banjir itu menjadi bencana terbesar. Namun, jika ditinjau secara akademik, resapan di Bedadung itu hanya 15 persen. Hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan yang semakin marak di kawasan perkotaan. “Di bawah itu kan ada Dam Bedadung yang meluap. Berarti wilayah yang lebih tinggi, misalnya Maesan, curah hujan juga tinggi. Karena hujan itu sifatnya merambat, maka bakal ada kejadian serupa,” imbuhnya.
Gusfan menuturkan, untuk menghindari adanya banjir, situasi ini dapat dicegah dengan adanya perluasan penghijauan. Penghijuan dapat dilakukan hingga 25 persen dari luas Bedadung. “Harus ada reboisasi. Tapi, ini pun waktunya tidaklah singkat. Bertahun-tahun,” ucapnya.
Selain alternatif tersebut, pembangunan waduk juga dapat dilakukan sebagai pembuangan luapan air. Sebelumnya, harus ada survei untuk menentukan titik mana saja yang dapat dijadikan waduk pembuangan air. Sehingga, ketika air turun langsung ke waduk tidak meluap ke permukiman. “Jadi, dibuat master plan sumber daya air. Bisa dibuat waduk kecil-kecil. Tidak apa-apa. Ini upaya secara struktural mengalirkan air dari atas ke kota secara perlahan,” pungkasnya.