26.8 C
Jember
Sunday, 2 April 2023

Lebih Tua dari Usia Republik

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Indonesia merdeka pada tahun 1945. Tiga tahun sebelumnya, keluarga Mbah Nan sudah memulai usahanya. Pada 1942, membuka warung tahu lontong. Sampai ini, usaha itu dijalankan turun-temurun.

Warung ini terletak di pusat kota, tepatnya di Jalan Panjaitan. Tak jauh dari kantor Pagi Jawa Pos Radar Jember. Sekitar 400 meter ke arah timur dari traffic light Gladak Kembar.
Warung itu kini tetap buka dan bertahan hingga empat generasi. Usia warung tahu lontong itu sendiri lebih tua dari usia republik ini. Mbah Nan adalah generasi pertama sekaligus penggagas usaha kuliner makanan tradisional itu. Tak heran bila warung tersebut menjadi terkenal. Mbah Nan mengelola warung ini dari 1942 sampai tahun 1979.

Di tembok warung tahu lontong itu, terpampang tiga buah pigura dilengkapi foto dari generasi pertama sampai generasi ketiga. Dari foto itu, orang bisa mengetahui perjalanan panjang bagaimana si pemilik membesarkan warung tersebut. Perjuangan keras Mbah Nan tak sia-sia. Meski dia sudah tutup usia, nama tahu lontong itu tetap legendaris.

Mobile_AP_Rectangle 2

Tutuk Kurnia, yang kini mengelola warung, merupakan generasi keempat. Dia menceritakan, awal kali ada, warung itu menempati teras rumah sederhana dan terlihat kuno. Di tahun 1999, Tutuk merenovasi rumah tersebut. Tahun 2019, rumah itu didesain minimalis mengikuti perkembangan zaman.

“Kini warung tahu lontong itu telah berubah menjadi kafe mini. Namun, tahu lontong tetap dipertahankan. Kalau dulu bikin tahu lontong menggunakan cobek dan ulek-ulek, kini tidak lagi,” jelasnya. Sebab, saat ini dia memakai ulek-ulek listrik. Namun, bumbu tetap menggunakan resep keluarga.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember ini mengaku, ia butuh waktu dua tahun untuk mahir meracik tahu lontong. Dan selama itu pula ia saban hari menemani sang ibu berjualan tahu lontong. Dari usaha tersebut, kini Tutuk mampu menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Bahkan, Debbry, anak tunggal Tutuk, telah disiapkan untuk menjadi generasi kelima menjalankan bisnis makanan tradisional itu. Si anak tidak merasa malu bila harus masuk dapur membuat tahu lontong saat Tutuk tidak berada di rumah. Dan dalam sekejap calon pewaris usaha tahu lontong itu terlihat sudah terbiasa berada di warung itu.

“Kan usaha tahu lontong ini bisa jadi bisnis sampingan meski aku setelah lulus kuliah kerja di tempat lain. Eman sekali bila tahu lontong berumur 79 tahun ini tutup karena tidak lagi dikelola. Dan ibu berpesan ke aku untuk tetap menjalani usaha ini karena tahu lontong Mbah Nan sudah telanjur dikenal dan disukai orang,” kata Debbry.

 

 

 

Jurnalis : Winardyasto
Fotografer : Winardyasto
Redaktur : Solikhul Huda

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Indonesia merdeka pada tahun 1945. Tiga tahun sebelumnya, keluarga Mbah Nan sudah memulai usahanya. Pada 1942, membuka warung tahu lontong. Sampai ini, usaha itu dijalankan turun-temurun.

Warung ini terletak di pusat kota, tepatnya di Jalan Panjaitan. Tak jauh dari kantor Pagi Jawa Pos Radar Jember. Sekitar 400 meter ke arah timur dari traffic light Gladak Kembar.
Warung itu kini tetap buka dan bertahan hingga empat generasi. Usia warung tahu lontong itu sendiri lebih tua dari usia republik ini. Mbah Nan adalah generasi pertama sekaligus penggagas usaha kuliner makanan tradisional itu. Tak heran bila warung tersebut menjadi terkenal. Mbah Nan mengelola warung ini dari 1942 sampai tahun 1979.

Di tembok warung tahu lontong itu, terpampang tiga buah pigura dilengkapi foto dari generasi pertama sampai generasi ketiga. Dari foto itu, orang bisa mengetahui perjalanan panjang bagaimana si pemilik membesarkan warung tersebut. Perjuangan keras Mbah Nan tak sia-sia. Meski dia sudah tutup usia, nama tahu lontong itu tetap legendaris.

Tutuk Kurnia, yang kini mengelola warung, merupakan generasi keempat. Dia menceritakan, awal kali ada, warung itu menempati teras rumah sederhana dan terlihat kuno. Di tahun 1999, Tutuk merenovasi rumah tersebut. Tahun 2019, rumah itu didesain minimalis mengikuti perkembangan zaman.

“Kini warung tahu lontong itu telah berubah menjadi kafe mini. Namun, tahu lontong tetap dipertahankan. Kalau dulu bikin tahu lontong menggunakan cobek dan ulek-ulek, kini tidak lagi,” jelasnya. Sebab, saat ini dia memakai ulek-ulek listrik. Namun, bumbu tetap menggunakan resep keluarga.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember ini mengaku, ia butuh waktu dua tahun untuk mahir meracik tahu lontong. Dan selama itu pula ia saban hari menemani sang ibu berjualan tahu lontong. Dari usaha tersebut, kini Tutuk mampu menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Bahkan, Debbry, anak tunggal Tutuk, telah disiapkan untuk menjadi generasi kelima menjalankan bisnis makanan tradisional itu. Si anak tidak merasa malu bila harus masuk dapur membuat tahu lontong saat Tutuk tidak berada di rumah. Dan dalam sekejap calon pewaris usaha tahu lontong itu terlihat sudah terbiasa berada di warung itu.

“Kan usaha tahu lontong ini bisa jadi bisnis sampingan meski aku setelah lulus kuliah kerja di tempat lain. Eman sekali bila tahu lontong berumur 79 tahun ini tutup karena tidak lagi dikelola. Dan ibu berpesan ke aku untuk tetap menjalani usaha ini karena tahu lontong Mbah Nan sudah telanjur dikenal dan disukai orang,” kata Debbry.

 

 

 

Jurnalis : Winardyasto
Fotografer : Winardyasto
Redaktur : Solikhul Huda

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Indonesia merdeka pada tahun 1945. Tiga tahun sebelumnya, keluarga Mbah Nan sudah memulai usahanya. Pada 1942, membuka warung tahu lontong. Sampai ini, usaha itu dijalankan turun-temurun.

Warung ini terletak di pusat kota, tepatnya di Jalan Panjaitan. Tak jauh dari kantor Pagi Jawa Pos Radar Jember. Sekitar 400 meter ke arah timur dari traffic light Gladak Kembar.
Warung itu kini tetap buka dan bertahan hingga empat generasi. Usia warung tahu lontong itu sendiri lebih tua dari usia republik ini. Mbah Nan adalah generasi pertama sekaligus penggagas usaha kuliner makanan tradisional itu. Tak heran bila warung tersebut menjadi terkenal. Mbah Nan mengelola warung ini dari 1942 sampai tahun 1979.

Di tembok warung tahu lontong itu, terpampang tiga buah pigura dilengkapi foto dari generasi pertama sampai generasi ketiga. Dari foto itu, orang bisa mengetahui perjalanan panjang bagaimana si pemilik membesarkan warung tersebut. Perjuangan keras Mbah Nan tak sia-sia. Meski dia sudah tutup usia, nama tahu lontong itu tetap legendaris.

Tutuk Kurnia, yang kini mengelola warung, merupakan generasi keempat. Dia menceritakan, awal kali ada, warung itu menempati teras rumah sederhana dan terlihat kuno. Di tahun 1999, Tutuk merenovasi rumah tersebut. Tahun 2019, rumah itu didesain minimalis mengikuti perkembangan zaman.

“Kini warung tahu lontong itu telah berubah menjadi kafe mini. Namun, tahu lontong tetap dipertahankan. Kalau dulu bikin tahu lontong menggunakan cobek dan ulek-ulek, kini tidak lagi,” jelasnya. Sebab, saat ini dia memakai ulek-ulek listrik. Namun, bumbu tetap menggunakan resep keluarga.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember ini mengaku, ia butuh waktu dua tahun untuk mahir meracik tahu lontong. Dan selama itu pula ia saban hari menemani sang ibu berjualan tahu lontong. Dari usaha tersebut, kini Tutuk mampu menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Bahkan, Debbry, anak tunggal Tutuk, telah disiapkan untuk menjadi generasi kelima menjalankan bisnis makanan tradisional itu. Si anak tidak merasa malu bila harus masuk dapur membuat tahu lontong saat Tutuk tidak berada di rumah. Dan dalam sekejap calon pewaris usaha tahu lontong itu terlihat sudah terbiasa berada di warung itu.

“Kan usaha tahu lontong ini bisa jadi bisnis sampingan meski aku setelah lulus kuliah kerja di tempat lain. Eman sekali bila tahu lontong berumur 79 tahun ini tutup karena tidak lagi dikelola. Dan ibu berpesan ke aku untuk tetap menjalani usaha ini karena tahu lontong Mbah Nan sudah telanjur dikenal dan disukai orang,” kata Debbry.

 

 

 

Jurnalis : Winardyasto
Fotografer : Winardyasto
Redaktur : Solikhul Huda

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca