21.2 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Anak Korban Banjir Perlu Pendampingan

Karena Sering Menangis dan Cemas

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Banjir yang terjadi akibat luapan Sungai Bedadung tidak hanya menimbulkan dampak secara fisik dan material. Namun, juga psikis. Sebab, banyak anak korban banjir yang mengalami trauma. Bahkan ada yang sampai takut pulang ke rumah dan bermain air.

Salah satunya adalah anak Halimatus Sa’diyah. Perempuan ini merupakan salah satu korban banjir yang rumahnya roboh. Saat kejadian, perempuan yang tinggal di bantaran sungai Kelurahan/Kecamatan Sumbersari ini sedang berkumpul dengan anak-anaknya di rumah. Dia tak menyangka, rumah yang baru direnovasi dua bulan belakangan itu ambruk. Fondasinya tidak kuat menahan derasnya arus air yang masuk ke rumah.

Selain menyebabkan rumahnya roboh, Rizal, anaknya, juga ikut terdampak. Bocah yang duduk di bangku SMP ini masih saja murung hingga sekarang. Bahkan, dia terus menangis jika kembali teringat dengan bencana yang menimpa keluarganya. Rizal merasa cemas tentang sekolahnya karena buku-bukunya hancur. “Sampai sekarang anak saya masih menangis kalau ingat,” kata Sa’diyah.

Mobile_AP_Rectangle 2

Rizal juga masih enggan berkunjung ke bekas rumahnya yang rusak. Ia trauma. Untuk sementara waktu, Rizal tinggal dengan pamannya di permukiman Gladak Kembar yang letaknya lebih tinggi dari rumahnya. Sudah tiga hari lebih Rizal diungsikan. Sebab, kecemasan masih terus menghantuinya.

Selain Rizal, adiknya yang masih berusia dua tahun juga mengalami hal serupa. Jika Sa’diyah pergi ke rumah yang hancur itu untuk mengambil baju yang tersisa, anaknya tersebut menangis. “Dia tidak membolehkan saya ke sungai (bekas rumah, Red),” ungkapnya.

Trauma juga dialami oleh Mario Maulana. Siswa SDN Kepatihan 05 ini trauma pada air. Saat banjir berlangsung, ibu Mario menyuruhnya ke rumah sang nenek. Mario diminta membantu menyelamatkan ayam milik neneknya. Namun, lantaran banjir terlalu parah, dampaknya tidak hanya pada hewan ternak, tapi juga barang berharga lainnya. Termasuk buku dan dokumen berharga.

Seusai membantu, Mario enggan bermain di sungai lantaran masih takut. Hingga saat ini, Mario memilih tidak mandi di sungai. Dia hanya melihat teman sepantarannya mandi di sungai. Ia mengaku masih takut. Padahal dulu, sebelum banjir melanda, Mario nyaris tidak pernah absen mandi di sungai tersebut. Sepertinya apa yang menimpa bocah korban banjir ini butuh penanganan lebih lanjut. Mereka perlu mendapatkan pendampingan psikologis.

Psikolog Marisa Selvy Helphina membenarkan hal itu. Dia mengungkapkan, idealnya penanganan psikologi pada korban bencana banjir itu dilakukan sesaat setelah evakuasi. Namun, saat ini proses penyelamatan masih terbatas pada fisik dan barang-barang saja. “Harusnya juga konsentrasi ke trauma psikis. Apalagi pada anak lebih susah dibandingkan dengan orang dewasa,” jelasnya kepada Jawa Pos Radar Jember, kemarin (2/2).

Sebenarnya, kata dia, waktu yang lebih dari tiga hari pascabencana terjadi sudah terlambat. Meski begitu, masih bisa dikejar dengan melakukan langkah-langkah untuk menghindari trauma tersebut. “Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali,” ujar perempuan yang karib disapa Icha ini.

Dia memaparkan, jika trauma pada anak tidak lekas ditangani, maka akan berdampak pada perubahan perilaku. Paling parah, dapat mengganggu kejiwaan anak. “Panik dan cemas itu adalah gangguan psikologis,” imbuhnya.

Sebagai bagian dari trauma healing, anak bisa diberi ruang untuk menyampaikan rasa takut dan cemas. Ini agar kondisi mental yang seperti itu tidak mengendap dalam alam bawah sadar mereka. Untuk itu, Icha menegaskan, orang tua harus andil dengan mendengarkan keluh kesah anak-anak mereka. Juga disertai dengan respons dan alasan yang logis. “Memberikan ruang pada anak itu maksudnya biarkan mereka menangis. Jelaskan bahwa perasaan itu juga dialami oleh orang lain,” pungkasnya.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Banjir yang terjadi akibat luapan Sungai Bedadung tidak hanya menimbulkan dampak secara fisik dan material. Namun, juga psikis. Sebab, banyak anak korban banjir yang mengalami trauma. Bahkan ada yang sampai takut pulang ke rumah dan bermain air.

Salah satunya adalah anak Halimatus Sa’diyah. Perempuan ini merupakan salah satu korban banjir yang rumahnya roboh. Saat kejadian, perempuan yang tinggal di bantaran sungai Kelurahan/Kecamatan Sumbersari ini sedang berkumpul dengan anak-anaknya di rumah. Dia tak menyangka, rumah yang baru direnovasi dua bulan belakangan itu ambruk. Fondasinya tidak kuat menahan derasnya arus air yang masuk ke rumah.

Selain menyebabkan rumahnya roboh, Rizal, anaknya, juga ikut terdampak. Bocah yang duduk di bangku SMP ini masih saja murung hingga sekarang. Bahkan, dia terus menangis jika kembali teringat dengan bencana yang menimpa keluarganya. Rizal merasa cemas tentang sekolahnya karena buku-bukunya hancur. “Sampai sekarang anak saya masih menangis kalau ingat,” kata Sa’diyah.

Rizal juga masih enggan berkunjung ke bekas rumahnya yang rusak. Ia trauma. Untuk sementara waktu, Rizal tinggal dengan pamannya di permukiman Gladak Kembar yang letaknya lebih tinggi dari rumahnya. Sudah tiga hari lebih Rizal diungsikan. Sebab, kecemasan masih terus menghantuinya.

Selain Rizal, adiknya yang masih berusia dua tahun juga mengalami hal serupa. Jika Sa’diyah pergi ke rumah yang hancur itu untuk mengambil baju yang tersisa, anaknya tersebut menangis. “Dia tidak membolehkan saya ke sungai (bekas rumah, Red),” ungkapnya.

Trauma juga dialami oleh Mario Maulana. Siswa SDN Kepatihan 05 ini trauma pada air. Saat banjir berlangsung, ibu Mario menyuruhnya ke rumah sang nenek. Mario diminta membantu menyelamatkan ayam milik neneknya. Namun, lantaran banjir terlalu parah, dampaknya tidak hanya pada hewan ternak, tapi juga barang berharga lainnya. Termasuk buku dan dokumen berharga.

Seusai membantu, Mario enggan bermain di sungai lantaran masih takut. Hingga saat ini, Mario memilih tidak mandi di sungai. Dia hanya melihat teman sepantarannya mandi di sungai. Ia mengaku masih takut. Padahal dulu, sebelum banjir melanda, Mario nyaris tidak pernah absen mandi di sungai tersebut. Sepertinya apa yang menimpa bocah korban banjir ini butuh penanganan lebih lanjut. Mereka perlu mendapatkan pendampingan psikologis.

Psikolog Marisa Selvy Helphina membenarkan hal itu. Dia mengungkapkan, idealnya penanganan psikologi pada korban bencana banjir itu dilakukan sesaat setelah evakuasi. Namun, saat ini proses penyelamatan masih terbatas pada fisik dan barang-barang saja. “Harusnya juga konsentrasi ke trauma psikis. Apalagi pada anak lebih susah dibandingkan dengan orang dewasa,” jelasnya kepada Jawa Pos Radar Jember, kemarin (2/2).

Sebenarnya, kata dia, waktu yang lebih dari tiga hari pascabencana terjadi sudah terlambat. Meski begitu, masih bisa dikejar dengan melakukan langkah-langkah untuk menghindari trauma tersebut. “Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali,” ujar perempuan yang karib disapa Icha ini.

Dia memaparkan, jika trauma pada anak tidak lekas ditangani, maka akan berdampak pada perubahan perilaku. Paling parah, dapat mengganggu kejiwaan anak. “Panik dan cemas itu adalah gangguan psikologis,” imbuhnya.

Sebagai bagian dari trauma healing, anak bisa diberi ruang untuk menyampaikan rasa takut dan cemas. Ini agar kondisi mental yang seperti itu tidak mengendap dalam alam bawah sadar mereka. Untuk itu, Icha menegaskan, orang tua harus andil dengan mendengarkan keluh kesah anak-anak mereka. Juga disertai dengan respons dan alasan yang logis. “Memberikan ruang pada anak itu maksudnya biarkan mereka menangis. Jelaskan bahwa perasaan itu juga dialami oleh orang lain,” pungkasnya.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Banjir yang terjadi akibat luapan Sungai Bedadung tidak hanya menimbulkan dampak secara fisik dan material. Namun, juga psikis. Sebab, banyak anak korban banjir yang mengalami trauma. Bahkan ada yang sampai takut pulang ke rumah dan bermain air.

Salah satunya adalah anak Halimatus Sa’diyah. Perempuan ini merupakan salah satu korban banjir yang rumahnya roboh. Saat kejadian, perempuan yang tinggal di bantaran sungai Kelurahan/Kecamatan Sumbersari ini sedang berkumpul dengan anak-anaknya di rumah. Dia tak menyangka, rumah yang baru direnovasi dua bulan belakangan itu ambruk. Fondasinya tidak kuat menahan derasnya arus air yang masuk ke rumah.

Selain menyebabkan rumahnya roboh, Rizal, anaknya, juga ikut terdampak. Bocah yang duduk di bangku SMP ini masih saja murung hingga sekarang. Bahkan, dia terus menangis jika kembali teringat dengan bencana yang menimpa keluarganya. Rizal merasa cemas tentang sekolahnya karena buku-bukunya hancur. “Sampai sekarang anak saya masih menangis kalau ingat,” kata Sa’diyah.

Rizal juga masih enggan berkunjung ke bekas rumahnya yang rusak. Ia trauma. Untuk sementara waktu, Rizal tinggal dengan pamannya di permukiman Gladak Kembar yang letaknya lebih tinggi dari rumahnya. Sudah tiga hari lebih Rizal diungsikan. Sebab, kecemasan masih terus menghantuinya.

Selain Rizal, adiknya yang masih berusia dua tahun juga mengalami hal serupa. Jika Sa’diyah pergi ke rumah yang hancur itu untuk mengambil baju yang tersisa, anaknya tersebut menangis. “Dia tidak membolehkan saya ke sungai (bekas rumah, Red),” ungkapnya.

Trauma juga dialami oleh Mario Maulana. Siswa SDN Kepatihan 05 ini trauma pada air. Saat banjir berlangsung, ibu Mario menyuruhnya ke rumah sang nenek. Mario diminta membantu menyelamatkan ayam milik neneknya. Namun, lantaran banjir terlalu parah, dampaknya tidak hanya pada hewan ternak, tapi juga barang berharga lainnya. Termasuk buku dan dokumen berharga.

Seusai membantu, Mario enggan bermain di sungai lantaran masih takut. Hingga saat ini, Mario memilih tidak mandi di sungai. Dia hanya melihat teman sepantarannya mandi di sungai. Ia mengaku masih takut. Padahal dulu, sebelum banjir melanda, Mario nyaris tidak pernah absen mandi di sungai tersebut. Sepertinya apa yang menimpa bocah korban banjir ini butuh penanganan lebih lanjut. Mereka perlu mendapatkan pendampingan psikologis.

Psikolog Marisa Selvy Helphina membenarkan hal itu. Dia mengungkapkan, idealnya penanganan psikologi pada korban bencana banjir itu dilakukan sesaat setelah evakuasi. Namun, saat ini proses penyelamatan masih terbatas pada fisik dan barang-barang saja. “Harusnya juga konsentrasi ke trauma psikis. Apalagi pada anak lebih susah dibandingkan dengan orang dewasa,” jelasnya kepada Jawa Pos Radar Jember, kemarin (2/2).

Sebenarnya, kata dia, waktu yang lebih dari tiga hari pascabencana terjadi sudah terlambat. Meski begitu, masih bisa dikejar dengan melakukan langkah-langkah untuk menghindari trauma tersebut. “Lebih baik terlambat daripada tidak melakukan sama sekali,” ujar perempuan yang karib disapa Icha ini.

Dia memaparkan, jika trauma pada anak tidak lekas ditangani, maka akan berdampak pada perubahan perilaku. Paling parah, dapat mengganggu kejiwaan anak. “Panik dan cemas itu adalah gangguan psikologis,” imbuhnya.

Sebagai bagian dari trauma healing, anak bisa diberi ruang untuk menyampaikan rasa takut dan cemas. Ini agar kondisi mental yang seperti itu tidak mengendap dalam alam bawah sadar mereka. Untuk itu, Icha menegaskan, orang tua harus andil dengan mendengarkan keluh kesah anak-anak mereka. Juga disertai dengan respons dan alasan yang logis. “Memberikan ruang pada anak itu maksudnya biarkan mereka menangis. Jelaskan bahwa perasaan itu juga dialami oleh orang lain,” pungkasnya.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca