JEMBER, RADARJEMBER.ID – Salah satu fenomena menarik yang luput dari perhatian kita saat ini adalah maraknya praktik nikah sirri yang dilakukan oleh mahasiswa selama masa studi di kampus. Menarik, karena Fenomena ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan kesadaran hukum mahasiswa. Bagi mahasiswa yang belum memenuhi persyaratan finansial dan mental, efek nikah sirri telah berimplikasi pada tidak optimalnya pelaksanaan tanggung jawab mahasiswa sebagai anggota keluarga disamping juga telah mengancam kelangsungan pendidikannya.
Fenomena ini ternyata berbanding terbalik dengan hasil literasi terhadap sejumlah rumusan kode etik mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Karena sampai saat ini tidak satupun kampus yang memunculkan rumusan kode etik nikah sirri bagi mahasiwa aktif dikampus. Praktik nikah sirri yang nota benenya telah berlangsung lama ini akhirnya berjalan tampa adanya kontrol dari institusi Kenyataan ini telah melahirkan beragam problem. Pada level aksiologis, kevakuman regulasi ini telah melahirkan budaya kebebasan secara mutlak dalam mempraktikkan nikah sirri dikampus tanpa adanya persyaratan, baik menyangkut administratif maupun teknis. Sedangkan pada level implementatif, terminologi “akad nikah sirri”, cenderung disalahgunakan untuk kepentingan menutupi perbuatan asusila. Tidak sedikit mahasiswa yang menggunakan statmen “saya telah melakukan akad nikah sirri” disaat mereka diinterogasi karena berbuat mesum atau melakukan perzinahan. Tidak hanya itu, mahasiswa semakin “lihai” memanfaatkan situasi dan alasan ini sebagai “tameng” untuk mengelabui cercahan warga disaat mereka kepergok melahirkan akibat perbuatan zina.
Kondisi vakumnya pengaturan nikah sirri dikampus tersebut tentu paradoks dengan tujuan dikeluarkannya sejumlah regulasi oleh pemerintah tentang penghapusan pernikahan dibawah tangan dan kekerasan seksual. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa fenomena ini luput dari perhatian dan terkesan adanya “pembiaran”? Sementara hal yang sangat teknis semisal ”model, tata kesopanan berpakaian” justru diatur dalam kode etik- walaupun tidak mempunyai efek langsung pada nilai-nilai kepatutan, kehormatan kampus maupun keberlangsungan studi.
Usut demi usut, terjadinya kevakuman regulasi ini ternyata bukan karena “pembiaran secara sengaja”, tetapi lebih dipicu oleh adanya kontroversi yang tidak berkesudahan dilingkup pemegang kebijakan. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan 3 varian format rumusan kode etik nikah sirri bagi mahasiswa aktif yang selama ini berkembang di sejumlah kampus, yaitu: 1) rumusan yang agak lengkap; 2) rumusan sangat global; dan 3) rumusan kode etik yang sama sekali tidak menyinggung diktum nikah sirri. Kelompok yang disebut terakhir (sebagai kelompok yang kontra terhadap perumusan kode etik nikah sirri dikampus) merupakan kelompok mainstreeam yang akhirnya juga menjadi uswah hasanah bagi kampus-kampus lain untuk meniadakan rumusan nikah sirri dalam konstruksi regulasi kode etiknya.
Hal yang menarik adalah pemosisian alasan privasi sebagai basis utama kelompok kontra untuk menolak perumusan Kode etik nikah sirri ini dikampus. Kelompok ini memasukkan masalah nikah sirri sebagai urusan privasi yang secara yuridis dilarang adanya campur tangan dari pihak lain. Selama tidak mengganggu atau merugikan orang lain dan sepanjang tidak ada peraturan yang dilanggar, maka “klausul privasi” berimplikasi pada tidak adanya kewenangan bagi pihak kampus untuk membatasi kemutlakan bolehnya pelaksanaan nikah sirri. Hal-hal yang menyangkut dampak harus ditanggung oleh masing masing. Pada level ini, Lembaga menurut kelompok ini tidak perlu membatasi apalagi “mengkriminalkan” pelakunya karena mereka melakukan pernikahan sirri atas dasar pilihan sadarnya. Pernikahan sirri inipun menurut mereka juga tidak bisa dipandang melanggar nilai kepatutan maupun martabat institusi karena tidak ada satupun bukti nilai kepatutan yang dilanggar dan juga tidak ada penistaan dalam bentuk apapun terhadap martabat lembaga. Ide perumusan kode etik nikah sirri menurut kelompok ini justru akan kontradiktif, bahkan bisa dianggap memarjinalisasikan ajaran agama yang secara jelas melegalkan nikah sirri disamping akan menyalahi substansi Hukum Pidana.
Di sela-sela menguatnya pandangan maintreeam ini, terdapat kelompok yang pro terhadap gagasan perumusan kode etik nikah sirri. Argumentasi “privasi” menurut persepsi kelompok pro etik bukan pada tempatnya untuk dilekatkan pada mahasiswa yang sedang aktif. Selama statusnya masih aktif sebagai mahasiswa, maka didalam dirinya ada kewajiban dan tanggung-jawab untuk memelihara nilai kepatutan dan martabat lembaga. Pada level ini, klausul privasi tidak lagi bisa ditafsir dengan “kebebasan mutlak” untuk melakukan nikah sirri di kampus karena persoalan nikah sirri dikampus, tidak lagi hanya sebagai persoalan keabsahan agama dan persoalan privasi ansich, tetapi telah menyentuh aspek publik, aspek sosial dan institusi. Konsekwensinya mahasiswa dalam setiap aksinya harus memperhatikan nilai kepatutan dan martabat institusi ini.
Secara faktual, status nikah sirri dikampus menurut kelompok ini telah melanggar nilai kepatutan dan telah mendegradasikan marwah kampus disamping juga telah mengakibatkan tidak adanya perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar keluarga secara optimal. Akan menjadi pemandangan yang paradoks jika kemudian para dosen dan mahasiswa diperintah untuk mensosialisasikan dampak perkawinan sirri, sementara dirinya sedang dalam status melanggar regulasi pencatatan perkawinan. Pada level ini, pertimbangan nilai “kepatutan” harus menjadi landasan utama dirumuskannya kode etik pernikahan sirri. Mengacu pada pertimbangan efek negatif dan pentingnya menjaga marwah institusi, kelompok ini kemudian mengidealkan munculnya rumusan kode etik yang lebih rinci mencakup persyaratan pelaksanaanya lengkap dengan sanksi admitratif yang diperlukan. Tujuannya untuk menjamin keterpenuhan keberlangsungan studi dan tidak dilanggarnya nilai kepatutan dan kehormatan institusi.
Pro-kontra terhadap perumusan kode etik nikah sirri ini pasti akan terus berlanjut. Saat ini, posisi kelompok mainstreeam (kelompok kontra terhadap ide perumusan kode etik) terus mengalami penguatan, terutama karena adanya keberpihakan sejumlah regulasi yang muncul akhir akhir ini. Seperti Keputusan MK. No 46/PUU-VIII/2010 yang mengesahkan hubungan keperdataan anak dengan ayah yang lahir diluar pernikahan tercatat, Permendagri No 108 tahun 2018 tentang keharusan penulisan klausul “anak lahir dari pernikahan yang tidak tercatat” dalam KK, serta Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dengan klausul “bukan atas dasar persetujuan”, untuk bisanya sebuah aksi seksualitas menjadi kekerasan seksual disamping juga KUHP dan hukum Islam.
Terlepas dari kontroversi ini, kita berharap agar persoalan ini segera selesaikan. Jika tidak, maka taruhannya adalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keilmuan yang lambat laun tapi pasti akan mengalami keterpisahan dari ruhnya, yaitu nilai etik dan moralitas. Penulis sepakat jika nikah sirri bagi mahasiswa aktif dikampus segera dirumuskan regulasinya berikut kelengkapan administratif yang diperlukan sehingga menjadi jelas siapa yang benar-benar melakukan nikah sirri. Tujuannya tentu bukan untuk membatasi, tetapi untuk pendataan agar perilaku nikah sirri menjadi tidak liar, dan agar dipergunakan secara benar dan bertanggung jawab sehingga tidak menyalahi nilai kepatutan dan merendahkan kehormatan ilmu dan istitusi.
*) Dr. Ishaq, M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).