24.8 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Antara Orientalisme, Studi Islam, dan Dakwah di Barat

Dr. Aminullah Elhady, M.Ag.

Mobile_AP_Rectangle 1

Ada relasi antara orientalisme dan studi Islam, baik yang dilakukan di Barat maupun di negara-negara Muslim. Demikian juga ada keterkaitan antara pengkajian dan pengenalan pada Islam dengan perkembangan dakwah Islam di negara-negara Barat di mana Muslim sebagai penduduk minoritas. Di sini disajikan bagaimana orientalisme dalam pandangan orang-orang Muslim, bagaimana orientalisme berkontribusi pada studi Islam, serta bagaimana dakwah Islam dapat berkembang di negara-negara Barat.

Orientalisme

Di mata sebagian muslim orientalisme dinilai hanya bermuatan hal-hal yang negatif, atau setidaknya mereka mencurigainya karena kajian yang dilakukan oleh sarjana Non-Muslim itu memandang Islam dengan pandangan “miring”, tidak tegak dan objektif. Demikianlah pandangan dan kesan umum terhadap orientalisme dan kaum orientalis. Meskipun demikian, ada juga sebagian dari kalangan terpelajar Muslim yang menemukan ada manfaat dari orientalisme untuk pengembangan studi Islam, atau dengan perkataan lain pandangan ini menyatakan bahwa gerakan dan kajian itu tidak hanya merugikan sebagaimana dikatakan oleh sebagian lainnya, melainkan juga berkontribusi bagi pengembangan studi-studi keislaman, baik di Barat maupun di Timur.

Mobile_AP_Rectangle 2

Pandangan kategori pertama itu tentu saja tidak salah jika dihubungkan dengan sikap kaum orientalis dan tujuan orientalisme sebelum abad ke-20. Hal itu disebabkan orientalisme didesain untuk menampakkan citra negatif atau yang tidak baik tentang Islam, yang menurut sebagian sumber hal itu sebagai akibat dari Perang Salib yang berlangsung selama dua abad itu, mulai dari Perang Salib I sampai VIII (tahun 1095-1291). Sedangkan pandangan kedua itu tentu saja memiliki latar belakang, baik karena pengalaman nyata atau karena jejak sebagian orientalis melalui karya-karya mereka.

Pada abad ke-20 memang telah muncul pandangan yang berbeda pada sikap orientalis dan tujuan orientalisme. Mereka tidak lagi melihat Islam semata dengan kebencian dan semangat permusuhan sebagaimana sebelumnya sebagai akibat dari Perang Salib yang sudah disebutkan di atas. Penampilan orientalisme menjadi  lebih simpatik pada Islam. Karena adanya perubahan itu, sikap kaum orientalis dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: pertama mereka yang masih belum  berubah dari sikap lama memandang dengan citra negatif, prasangka, dan mispersepsi baik kepada Islam maupun Muslim. Islam dipandang sebagai musuh dan ancaman bagi dominasi Barat. Itulah yang dikritik oleh Edward Wadi Said melalui bukunya Orientalism: Western Conceptions of the Orient yang menggugat hegemoni Barat yang selama itu menjadikan Timur sebagai objek.

Kedua, mereka yang menampilkan sikap simpatik terhadap Islam, karena agama ini telah lama disalahmengertikan oleh Barat. Mereka bersikap netral dalam memandang Islam. Ada sejumlah nama yang dapat disebutkan termasuk kelompok kedua ini, antara lain Louis Massignon, William Montgomery Watt, Bernard Lewis, Annemarie Schimmel.

Perubahan pandangan itu disebabkan mereka melihat Islam tidak semata dari sudut pandang politik dan teologi sebagaimana sebelumnya. Kini mereka melihat Islam secara lebih komprehensif, dari berbagai dimensi. Sebagaimana realitas yang mereka rasakan, bahwa Islam telah menjadi sumber dan inspirasi bengkitnya kemanusiaan, melalui ilmu dan peradaban. Seorang orientalis, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, pernah menyatakan Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. Itu menggambarkan bahwa ia melihat Islam sebagai hal yang penting untuk kehidupan dan kemanusiaan.

 

Kontribusi pada Studi Islam

Mesti  diakui bahwa orientalisme telah berkontribusi pada perkembangan  kajian keislaman, termasuk di Dunia  Islam. Orientalisme menjadikan Islam  sebagai  objek  kajian  historis  dan  sosiologis, tanpa masuk ke dalam keyakinan, yang karenanya ia dapat dikatakan tidak mengganggu keyakinan penganut Islam. Di abad ke-20 tampak tegas bahwa orientalisme mengembangkan kajian Islam historis dan sosiologis, bukan teologis.

Sejumlah orientalis menghasilkan karya yang  memperkaya literatur Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, karya mengenai studi keislaman yang dihasilkan oleh orientalis berjumlah ratusan, dan dari sisi kualitas, mereka menyajikan kajian keislaman dengan metode kajian Barat, jadilah kajian itu menarik perhatian kaum terpelajar Muslim, sehingga dengan demikian turut memperkaya khazanah studi keislaman.

Karya para pemikir dan ilmuwan Muslim abad pertengahan menjadi magnit yang manarik perhatian para sarjana Barat itu. Mereka antara lain Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi,  Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibn Rushd, Al-Mawardi, Ibn Khaldun adalah tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan yang mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Sejumlah sarjana Barat mengakui pengaruh tokoh-tokoh Muslim itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban bagi dunia, yang untuk masa tertentu diklaim oleh sebagian orang sebagai kemajuan yang dihasilkan oleh Barat. Thomas Arnold dan Alfred Gullaum menulis buku The Legacy of Islam, di mana mereka menggambarkan sumbangan Islam kepada kemajuan Barat dan Dunia.

 

Dakwah Islam di Barat

Relasi gerakan orientalisme di Barat serta pengkajian Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat tidak selalu menghasilkan citra buruk dan negatif. Masyarakat Barat secara umum memiliki sikap rasional dalam menghadapi sesuatu sebagai konsekuensi dari pandangan “disini kini” mereka sehingga tidak ada yang absolut, termasuk juga opini publik yang berkembang tentang Islam. Setiap waktu bisa saja berubah.

Peta dakwah Islam di negara-negara Barat berkembang mengiringi dinamika dan kondisi sosial politiknya. Sebagai contoh, di Amerika setelah terjadi peristiwa WTC 9/11 Islam dan orang-orang Muslim di negara-negara non-Muslim mendapat sorotan dengan kebencian, sinisme, kecurigaan, sinisme, dan permusuhan. Keadaan demikian disebabkan citra yang dibangun oleh kekuatan politik dengan dukungan media yang mengidentikkan Islam dan penganutnya dengan kekerasan dan terorisme. Karena citra yang dibangun sedemikian itu, maka tidak sedikit Muslim di negara-negara Non-Muslim itu mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminatif. Jadilah peristiwa itu melengkapi atau memperkuat resistensi masyarakat Barat terhadap Islam, yang selanjutnya berkembang menjadi sikap Islamophobia, kebencian karena ketakutan akan kebangkitan Islam di Dunia.

Dari sisi dakwah, terjadi suatu keajaiban sejarah karena peristiwa tersebut, sebab realitasnya Islam berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Bahwa realitas menunjukkan bahwa Islam berhasil berjalan di luar nalar manusia, meskipun dengan logika akal sehat. Nalar yang dimaksud di sini adalah ketika Islam dan pengikutnya dikecam dan dicemooh, karena dicitrakan berkait dengan tragedi tersebut, sehingga dapat dilogikakan bahwa Islam dan Muslim itu berkait dengan kekerasan dan terorisme, serta nir-kemanusiaan dan peradaban. Akan tetapi pada saat bersamaan, tidak sedikit dari kalangan cerdik-cendekia yang menyangsikan kebenaran peristiwa yang dianggap tragedi itu. Logika seperti terbalik-balik, dari satu sisi orang bisa percaya Islam mengajarkan “jihad” yang dalam bahasa Barat sering disebut sebagai holy war (perang suci), tetapi dari sisi lain ada yang tidak yakin kalau ada agama mengajarkan tindakan destruktif terhadap peradaban dan kemanusiaan, kecuali agama yang diselewengkan.

Ternyata memang benar “ada hikmah di balik petaka”, sebab tidak lama setelah tragedi itu, bukan rahasia bahwa ada ratusan atau bahkan ribuan orang menyatakan diri berkonversi masuk Islam dan kemudian menyatakan mengalami kedamaian sejak itu. Artinya, ada kekuatan adikodrati yang terlibat dengan terjadinya blessing in disguise karena peristiwa tersebut. Di sinilah dakwah yang digerakkan oleh tangan Tuhan itu mencapai hasilnya, di mana karena peristiwa WTC 9/11 yang sangat mengerikan itu dituduhkan kepada Islam dan umatnya, maka banyak anggota masyarakat Amerika terpanggil untuk tahu, timbul curiousity mereka untuk mengetahui hakikat Islam lebih dalam dan lebih jauh.

Media dakwah Islam bukan hanya Islamic  Center di beberapa kota di negara-negara Barat, melainkan kampus-kampus, tentu saja bukan kampus lembaga pendidikan Islam, pun menjadi jembatan untuk tersebarnya informasi tentang Islam, di mana sering diselenggarakan forum-forum interfaith dialogue, atau dialog antar-keyakinan. Banyak forum menyelenggarakan konferensi tentang agama dan kekerasan, dengan menghadirkan akademisi dan tokoh agama sebagai narasumber. Forum-forum itu menjadi sumber pencerahan bagi masyarakat sekaligus menjadi media penerangan tentang Islam.

Diskursus mengenai gerakan dan kajian Barat atas Islam merupakan sebagian dari tema dalam Islamic Studies, tidak hanya disajikan pada institusi pendidikan tinggi di Barat, melainkan juga di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena itu pula, Universitas Islam Negeri  UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS  Jember) mulai tahun akademik 2021/2022  ini menyelenggarakan pendidikan dalam bidang Studi Islam (Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies) pada Program Doktor, yang dua tahun sebelumnya diawali dengan penyelenggaraan pendidikan dalam bidang tersebut pada jenjang Program Magister.

 

 

*Dr. H. Aminullah Elhady, M.Ag., Dosen Pemikiran Islam, Wakil Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

- Advertisement -

Ada relasi antara orientalisme dan studi Islam, baik yang dilakukan di Barat maupun di negara-negara Muslim. Demikian juga ada keterkaitan antara pengkajian dan pengenalan pada Islam dengan perkembangan dakwah Islam di negara-negara Barat di mana Muslim sebagai penduduk minoritas. Di sini disajikan bagaimana orientalisme dalam pandangan orang-orang Muslim, bagaimana orientalisme berkontribusi pada studi Islam, serta bagaimana dakwah Islam dapat berkembang di negara-negara Barat.

Orientalisme

Di mata sebagian muslim orientalisme dinilai hanya bermuatan hal-hal yang negatif, atau setidaknya mereka mencurigainya karena kajian yang dilakukan oleh sarjana Non-Muslim itu memandang Islam dengan pandangan “miring”, tidak tegak dan objektif. Demikianlah pandangan dan kesan umum terhadap orientalisme dan kaum orientalis. Meskipun demikian, ada juga sebagian dari kalangan terpelajar Muslim yang menemukan ada manfaat dari orientalisme untuk pengembangan studi Islam, atau dengan perkataan lain pandangan ini menyatakan bahwa gerakan dan kajian itu tidak hanya merugikan sebagaimana dikatakan oleh sebagian lainnya, melainkan juga berkontribusi bagi pengembangan studi-studi keislaman, baik di Barat maupun di Timur.

Pandangan kategori pertama itu tentu saja tidak salah jika dihubungkan dengan sikap kaum orientalis dan tujuan orientalisme sebelum abad ke-20. Hal itu disebabkan orientalisme didesain untuk menampakkan citra negatif atau yang tidak baik tentang Islam, yang menurut sebagian sumber hal itu sebagai akibat dari Perang Salib yang berlangsung selama dua abad itu, mulai dari Perang Salib I sampai VIII (tahun 1095-1291). Sedangkan pandangan kedua itu tentu saja memiliki latar belakang, baik karena pengalaman nyata atau karena jejak sebagian orientalis melalui karya-karya mereka.

Pada abad ke-20 memang telah muncul pandangan yang berbeda pada sikap orientalis dan tujuan orientalisme. Mereka tidak lagi melihat Islam semata dengan kebencian dan semangat permusuhan sebagaimana sebelumnya sebagai akibat dari Perang Salib yang sudah disebutkan di atas. Penampilan orientalisme menjadi  lebih simpatik pada Islam. Karena adanya perubahan itu, sikap kaum orientalis dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: pertama mereka yang masih belum  berubah dari sikap lama memandang dengan citra negatif, prasangka, dan mispersepsi baik kepada Islam maupun Muslim. Islam dipandang sebagai musuh dan ancaman bagi dominasi Barat. Itulah yang dikritik oleh Edward Wadi Said melalui bukunya Orientalism: Western Conceptions of the Orient yang menggugat hegemoni Barat yang selama itu menjadikan Timur sebagai objek.

Kedua, mereka yang menampilkan sikap simpatik terhadap Islam, karena agama ini telah lama disalahmengertikan oleh Barat. Mereka bersikap netral dalam memandang Islam. Ada sejumlah nama yang dapat disebutkan termasuk kelompok kedua ini, antara lain Louis Massignon, William Montgomery Watt, Bernard Lewis, Annemarie Schimmel.

Perubahan pandangan itu disebabkan mereka melihat Islam tidak semata dari sudut pandang politik dan teologi sebagaimana sebelumnya. Kini mereka melihat Islam secara lebih komprehensif, dari berbagai dimensi. Sebagaimana realitas yang mereka rasakan, bahwa Islam telah menjadi sumber dan inspirasi bengkitnya kemanusiaan, melalui ilmu dan peradaban. Seorang orientalis, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, pernah menyatakan Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. Itu menggambarkan bahwa ia melihat Islam sebagai hal yang penting untuk kehidupan dan kemanusiaan.

 

Kontribusi pada Studi Islam

Mesti  diakui bahwa orientalisme telah berkontribusi pada perkembangan  kajian keislaman, termasuk di Dunia  Islam. Orientalisme menjadikan Islam  sebagai  objek  kajian  historis  dan  sosiologis, tanpa masuk ke dalam keyakinan, yang karenanya ia dapat dikatakan tidak mengganggu keyakinan penganut Islam. Di abad ke-20 tampak tegas bahwa orientalisme mengembangkan kajian Islam historis dan sosiologis, bukan teologis.

Sejumlah orientalis menghasilkan karya yang  memperkaya literatur Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, karya mengenai studi keislaman yang dihasilkan oleh orientalis berjumlah ratusan, dan dari sisi kualitas, mereka menyajikan kajian keislaman dengan metode kajian Barat, jadilah kajian itu menarik perhatian kaum terpelajar Muslim, sehingga dengan demikian turut memperkaya khazanah studi keislaman.

Karya para pemikir dan ilmuwan Muslim abad pertengahan menjadi magnit yang manarik perhatian para sarjana Barat itu. Mereka antara lain Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi,  Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibn Rushd, Al-Mawardi, Ibn Khaldun adalah tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan yang mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Sejumlah sarjana Barat mengakui pengaruh tokoh-tokoh Muslim itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban bagi dunia, yang untuk masa tertentu diklaim oleh sebagian orang sebagai kemajuan yang dihasilkan oleh Barat. Thomas Arnold dan Alfred Gullaum menulis buku The Legacy of Islam, di mana mereka menggambarkan sumbangan Islam kepada kemajuan Barat dan Dunia.

 

Dakwah Islam di Barat

Relasi gerakan orientalisme di Barat serta pengkajian Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat tidak selalu menghasilkan citra buruk dan negatif. Masyarakat Barat secara umum memiliki sikap rasional dalam menghadapi sesuatu sebagai konsekuensi dari pandangan “disini kini” mereka sehingga tidak ada yang absolut, termasuk juga opini publik yang berkembang tentang Islam. Setiap waktu bisa saja berubah.

Peta dakwah Islam di negara-negara Barat berkembang mengiringi dinamika dan kondisi sosial politiknya. Sebagai contoh, di Amerika setelah terjadi peristiwa WTC 9/11 Islam dan orang-orang Muslim di negara-negara non-Muslim mendapat sorotan dengan kebencian, sinisme, kecurigaan, sinisme, dan permusuhan. Keadaan demikian disebabkan citra yang dibangun oleh kekuatan politik dengan dukungan media yang mengidentikkan Islam dan penganutnya dengan kekerasan dan terorisme. Karena citra yang dibangun sedemikian itu, maka tidak sedikit Muslim di negara-negara Non-Muslim itu mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminatif. Jadilah peristiwa itu melengkapi atau memperkuat resistensi masyarakat Barat terhadap Islam, yang selanjutnya berkembang menjadi sikap Islamophobia, kebencian karena ketakutan akan kebangkitan Islam di Dunia.

Dari sisi dakwah, terjadi suatu keajaiban sejarah karena peristiwa tersebut, sebab realitasnya Islam berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Bahwa realitas menunjukkan bahwa Islam berhasil berjalan di luar nalar manusia, meskipun dengan logika akal sehat. Nalar yang dimaksud di sini adalah ketika Islam dan pengikutnya dikecam dan dicemooh, karena dicitrakan berkait dengan tragedi tersebut, sehingga dapat dilogikakan bahwa Islam dan Muslim itu berkait dengan kekerasan dan terorisme, serta nir-kemanusiaan dan peradaban. Akan tetapi pada saat bersamaan, tidak sedikit dari kalangan cerdik-cendekia yang menyangsikan kebenaran peristiwa yang dianggap tragedi itu. Logika seperti terbalik-balik, dari satu sisi orang bisa percaya Islam mengajarkan “jihad” yang dalam bahasa Barat sering disebut sebagai holy war (perang suci), tetapi dari sisi lain ada yang tidak yakin kalau ada agama mengajarkan tindakan destruktif terhadap peradaban dan kemanusiaan, kecuali agama yang diselewengkan.

Ternyata memang benar “ada hikmah di balik petaka”, sebab tidak lama setelah tragedi itu, bukan rahasia bahwa ada ratusan atau bahkan ribuan orang menyatakan diri berkonversi masuk Islam dan kemudian menyatakan mengalami kedamaian sejak itu. Artinya, ada kekuatan adikodrati yang terlibat dengan terjadinya blessing in disguise karena peristiwa tersebut. Di sinilah dakwah yang digerakkan oleh tangan Tuhan itu mencapai hasilnya, di mana karena peristiwa WTC 9/11 yang sangat mengerikan itu dituduhkan kepada Islam dan umatnya, maka banyak anggota masyarakat Amerika terpanggil untuk tahu, timbul curiousity mereka untuk mengetahui hakikat Islam lebih dalam dan lebih jauh.

Media dakwah Islam bukan hanya Islamic  Center di beberapa kota di negara-negara Barat, melainkan kampus-kampus, tentu saja bukan kampus lembaga pendidikan Islam, pun menjadi jembatan untuk tersebarnya informasi tentang Islam, di mana sering diselenggarakan forum-forum interfaith dialogue, atau dialog antar-keyakinan. Banyak forum menyelenggarakan konferensi tentang agama dan kekerasan, dengan menghadirkan akademisi dan tokoh agama sebagai narasumber. Forum-forum itu menjadi sumber pencerahan bagi masyarakat sekaligus menjadi media penerangan tentang Islam.

Diskursus mengenai gerakan dan kajian Barat atas Islam merupakan sebagian dari tema dalam Islamic Studies, tidak hanya disajikan pada institusi pendidikan tinggi di Barat, melainkan juga di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena itu pula, Universitas Islam Negeri  UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS  Jember) mulai tahun akademik 2021/2022  ini menyelenggarakan pendidikan dalam bidang Studi Islam (Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies) pada Program Doktor, yang dua tahun sebelumnya diawali dengan penyelenggaraan pendidikan dalam bidang tersebut pada jenjang Program Magister.

 

 

*Dr. H. Aminullah Elhady, M.Ag., Dosen Pemikiran Islam, Wakil Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

Ada relasi antara orientalisme dan studi Islam, baik yang dilakukan di Barat maupun di negara-negara Muslim. Demikian juga ada keterkaitan antara pengkajian dan pengenalan pada Islam dengan perkembangan dakwah Islam di negara-negara Barat di mana Muslim sebagai penduduk minoritas. Di sini disajikan bagaimana orientalisme dalam pandangan orang-orang Muslim, bagaimana orientalisme berkontribusi pada studi Islam, serta bagaimana dakwah Islam dapat berkembang di negara-negara Barat.

Orientalisme

Di mata sebagian muslim orientalisme dinilai hanya bermuatan hal-hal yang negatif, atau setidaknya mereka mencurigainya karena kajian yang dilakukan oleh sarjana Non-Muslim itu memandang Islam dengan pandangan “miring”, tidak tegak dan objektif. Demikianlah pandangan dan kesan umum terhadap orientalisme dan kaum orientalis. Meskipun demikian, ada juga sebagian dari kalangan terpelajar Muslim yang menemukan ada manfaat dari orientalisme untuk pengembangan studi Islam, atau dengan perkataan lain pandangan ini menyatakan bahwa gerakan dan kajian itu tidak hanya merugikan sebagaimana dikatakan oleh sebagian lainnya, melainkan juga berkontribusi bagi pengembangan studi-studi keislaman, baik di Barat maupun di Timur.

Pandangan kategori pertama itu tentu saja tidak salah jika dihubungkan dengan sikap kaum orientalis dan tujuan orientalisme sebelum abad ke-20. Hal itu disebabkan orientalisme didesain untuk menampakkan citra negatif atau yang tidak baik tentang Islam, yang menurut sebagian sumber hal itu sebagai akibat dari Perang Salib yang berlangsung selama dua abad itu, mulai dari Perang Salib I sampai VIII (tahun 1095-1291). Sedangkan pandangan kedua itu tentu saja memiliki latar belakang, baik karena pengalaman nyata atau karena jejak sebagian orientalis melalui karya-karya mereka.

Pada abad ke-20 memang telah muncul pandangan yang berbeda pada sikap orientalis dan tujuan orientalisme. Mereka tidak lagi melihat Islam semata dengan kebencian dan semangat permusuhan sebagaimana sebelumnya sebagai akibat dari Perang Salib yang sudah disebutkan di atas. Penampilan orientalisme menjadi  lebih simpatik pada Islam. Karena adanya perubahan itu, sikap kaum orientalis dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: pertama mereka yang masih belum  berubah dari sikap lama memandang dengan citra negatif, prasangka, dan mispersepsi baik kepada Islam maupun Muslim. Islam dipandang sebagai musuh dan ancaman bagi dominasi Barat. Itulah yang dikritik oleh Edward Wadi Said melalui bukunya Orientalism: Western Conceptions of the Orient yang menggugat hegemoni Barat yang selama itu menjadikan Timur sebagai objek.

Kedua, mereka yang menampilkan sikap simpatik terhadap Islam, karena agama ini telah lama disalahmengertikan oleh Barat. Mereka bersikap netral dalam memandang Islam. Ada sejumlah nama yang dapat disebutkan termasuk kelompok kedua ini, antara lain Louis Massignon, William Montgomery Watt, Bernard Lewis, Annemarie Schimmel.

Perubahan pandangan itu disebabkan mereka melihat Islam tidak semata dari sudut pandang politik dan teologi sebagaimana sebelumnya. Kini mereka melihat Islam secara lebih komprehensif, dari berbagai dimensi. Sebagaimana realitas yang mereka rasakan, bahwa Islam telah menjadi sumber dan inspirasi bengkitnya kemanusiaan, melalui ilmu dan peradaban. Seorang orientalis, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, pernah menyatakan Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. Itu menggambarkan bahwa ia melihat Islam sebagai hal yang penting untuk kehidupan dan kemanusiaan.

 

Kontribusi pada Studi Islam

Mesti  diakui bahwa orientalisme telah berkontribusi pada perkembangan  kajian keislaman, termasuk di Dunia  Islam. Orientalisme menjadikan Islam  sebagai  objek  kajian  historis  dan  sosiologis, tanpa masuk ke dalam keyakinan, yang karenanya ia dapat dikatakan tidak mengganggu keyakinan penganut Islam. Di abad ke-20 tampak tegas bahwa orientalisme mengembangkan kajian Islam historis dan sosiologis, bukan teologis.

Sejumlah orientalis menghasilkan karya yang  memperkaya literatur Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, karya mengenai studi keislaman yang dihasilkan oleh orientalis berjumlah ratusan, dan dari sisi kualitas, mereka menyajikan kajian keislaman dengan metode kajian Barat, jadilah kajian itu menarik perhatian kaum terpelajar Muslim, sehingga dengan demikian turut memperkaya khazanah studi keislaman.

Karya para pemikir dan ilmuwan Muslim abad pertengahan menjadi magnit yang manarik perhatian para sarjana Barat itu. Mereka antara lain Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi,  Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Ibn Rushd, Al-Mawardi, Ibn Khaldun adalah tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan yang mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Sejumlah sarjana Barat mengakui pengaruh tokoh-tokoh Muslim itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban bagi dunia, yang untuk masa tertentu diklaim oleh sebagian orang sebagai kemajuan yang dihasilkan oleh Barat. Thomas Arnold dan Alfred Gullaum menulis buku The Legacy of Islam, di mana mereka menggambarkan sumbangan Islam kepada kemajuan Barat dan Dunia.

 

Dakwah Islam di Barat

Relasi gerakan orientalisme di Barat serta pengkajian Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat tidak selalu menghasilkan citra buruk dan negatif. Masyarakat Barat secara umum memiliki sikap rasional dalam menghadapi sesuatu sebagai konsekuensi dari pandangan “disini kini” mereka sehingga tidak ada yang absolut, termasuk juga opini publik yang berkembang tentang Islam. Setiap waktu bisa saja berubah.

Peta dakwah Islam di negara-negara Barat berkembang mengiringi dinamika dan kondisi sosial politiknya. Sebagai contoh, di Amerika setelah terjadi peristiwa WTC 9/11 Islam dan orang-orang Muslim di negara-negara non-Muslim mendapat sorotan dengan kebencian, sinisme, kecurigaan, sinisme, dan permusuhan. Keadaan demikian disebabkan citra yang dibangun oleh kekuatan politik dengan dukungan media yang mengidentikkan Islam dan penganutnya dengan kekerasan dan terorisme. Karena citra yang dibangun sedemikian itu, maka tidak sedikit Muslim di negara-negara Non-Muslim itu mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminatif. Jadilah peristiwa itu melengkapi atau memperkuat resistensi masyarakat Barat terhadap Islam, yang selanjutnya berkembang menjadi sikap Islamophobia, kebencian karena ketakutan akan kebangkitan Islam di Dunia.

Dari sisi dakwah, terjadi suatu keajaiban sejarah karena peristiwa tersebut, sebab realitasnya Islam berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Bahwa realitas menunjukkan bahwa Islam berhasil berjalan di luar nalar manusia, meskipun dengan logika akal sehat. Nalar yang dimaksud di sini adalah ketika Islam dan pengikutnya dikecam dan dicemooh, karena dicitrakan berkait dengan tragedi tersebut, sehingga dapat dilogikakan bahwa Islam dan Muslim itu berkait dengan kekerasan dan terorisme, serta nir-kemanusiaan dan peradaban. Akan tetapi pada saat bersamaan, tidak sedikit dari kalangan cerdik-cendekia yang menyangsikan kebenaran peristiwa yang dianggap tragedi itu. Logika seperti terbalik-balik, dari satu sisi orang bisa percaya Islam mengajarkan “jihad” yang dalam bahasa Barat sering disebut sebagai holy war (perang suci), tetapi dari sisi lain ada yang tidak yakin kalau ada agama mengajarkan tindakan destruktif terhadap peradaban dan kemanusiaan, kecuali agama yang diselewengkan.

Ternyata memang benar “ada hikmah di balik petaka”, sebab tidak lama setelah tragedi itu, bukan rahasia bahwa ada ratusan atau bahkan ribuan orang menyatakan diri berkonversi masuk Islam dan kemudian menyatakan mengalami kedamaian sejak itu. Artinya, ada kekuatan adikodrati yang terlibat dengan terjadinya blessing in disguise karena peristiwa tersebut. Di sinilah dakwah yang digerakkan oleh tangan Tuhan itu mencapai hasilnya, di mana karena peristiwa WTC 9/11 yang sangat mengerikan itu dituduhkan kepada Islam dan umatnya, maka banyak anggota masyarakat Amerika terpanggil untuk tahu, timbul curiousity mereka untuk mengetahui hakikat Islam lebih dalam dan lebih jauh.

Media dakwah Islam bukan hanya Islamic  Center di beberapa kota di negara-negara Barat, melainkan kampus-kampus, tentu saja bukan kampus lembaga pendidikan Islam, pun menjadi jembatan untuk tersebarnya informasi tentang Islam, di mana sering diselenggarakan forum-forum interfaith dialogue, atau dialog antar-keyakinan. Banyak forum menyelenggarakan konferensi tentang agama dan kekerasan, dengan menghadirkan akademisi dan tokoh agama sebagai narasumber. Forum-forum itu menjadi sumber pencerahan bagi masyarakat sekaligus menjadi media penerangan tentang Islam.

Diskursus mengenai gerakan dan kajian Barat atas Islam merupakan sebagian dari tema dalam Islamic Studies, tidak hanya disajikan pada institusi pendidikan tinggi di Barat, melainkan juga di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Karena itu pula, Universitas Islam Negeri  UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS  Jember) mulai tahun akademik 2021/2022  ini menyelenggarakan pendidikan dalam bidang Studi Islam (Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies) pada Program Doktor, yang dua tahun sebelumnya diawali dengan penyelenggaraan pendidikan dalam bidang tersebut pada jenjang Program Magister.

 

 

*Dr. H. Aminullah Elhady, M.Ag., Dosen Pemikiran Islam, Wakil Direktur Pascasarjana UIN KHAS Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/