Salah satu tradisi pesantren yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan keislaman adalah tradisi Rihlah Ilmiah. Tradisi ini merupakan aktifitas perpindahan kaum santri menuju tempat-tempat belajar atau pusat keilmuan Islam untuk memperoleh ilmu dari seorang guru yang lebih tinggi dan lebih otoritatif dari guru sebelumnya. Pada masa lalu, tradisi perpindahan tempat dan pencarian guru menjadi keniscayaan bagi seorang santri untuk meningkatkan status sosial dan otoritas keilmuannya. Status sosial dan kadar otoritas keilmuannya akan dipandang meningkat jika tempat dan guru/syekh yang dituju dipandang mempunyai kadar otoritas yang lebih tinggi
Bisanya seorang santri akan melakukan perpindahan tempat belajar setelah mengusasi ilmu keislaman dasar di sekitar pondok pesantren yang tidak jauh dari kediamnnaya. Bagi santri yang telah berkemampuan dan mempunyai biaya, mereka akan melakukan Rihlah Ilmiah ke pusat-pusat keislaman di luar negeri semiasal Arab Saudi, Mesir, Maroko, Syiria dan lain-lain. Jika tidak berkemampuan, rihlah dicukupkan pada pusat keislaman di lintas kabupaten. Perpindahan tempat dan guru ini terus dilakukan tanpa adanya batasan waktu yang mengikat. Aktifitas Rihlah Ilmiah akan berakhir jika telah ada tuntutan agar sang santri segera pulang kampung untuk kepentingan penyebaran keilmuan atau kepemimpinan pesantren.
Praktik tradisi Rihlah Ilmiah kaum santri ini berakar pada tradisi rihlah para shahabat dan tabiin disaat mereka melakukan dakwah dan penyebaran ilmu keislaman. Kebiasaan rihlah para shahabat kemudian terimplementasikan secara massif dan lebih tertata dalam dunia hadist untuk pengumpulan hadist, termasuk untuk memastikan kebenaran data periwayatan perawi dan matan hadist. Praktik Rihlah Ilmiah salafu sholeh ternyata mengispirasi para ilmuan muslim berikutnya dari berbagai disiplin ilmu untuk keperluan yang lebih luas. Tradisi ini bukan hanya untuk keperluan mendatangi pusat keilmuan Islam untuk belajar pada guru/syekh pemegang otoritas ilmu, tetapi juga untuk keperluan penelitian, studi banding dan observasi. Secara bertahap, tradisi ini kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap momen kegiatan keilmuan keislaman.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (w. 440 H/ 1048 M) adalah contoh ilmuwan muslim eksperimentalis yang melakukan Rihlah Ilmiah ke India dalam waktu 40 tahun dan menghasilkan karya monomental berjudul “Tahqiq Ma li al-Hind Min Maqulah Maqbulah fi al-Aql Au Mardzulah” yang berisi kajian masyarakat India dari beragam aspek. Sedangkan di Indonesia, tradisi Rihlah Ilmiah dilakukan oleh ulama nusantara dengan cara pindah ke Haramaian dan tempat lain di Timur Tengah. Hamzah Fansuri misalnya, melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk mengunjungi beberapa pusat pengetahuan Islam, di antaranya Makkah, Madinah, Yerusalem dan Baghdad. Begitu juga halnya dengan Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), KH Mahfud al-Tirmisi (1338/1919 M), KH. Khalil Bangkalan (1819-1925) K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959), KH. Hasyim Asjari, KH. Wahab Hasbullah, Syekh Yasin Al-Fadani, dan Ahmad Khatib al-Minangkabauwi.
Santri dan Halaqah Ilmiah di Nusantara
Dalam praktik perjalanan intelektual santri Nusantara, fungsi Rihlah Ilmiah ternyata bukan hanya untuk keperluan pencarian guru yang otoritatif, tetapi juga untuk keperluan pertemuan ilmiah, observasi dan penelitian yang hasilnya kemudian dituangkan dalam bentuk karangan kitab monomental. Tercatat hingga abad ke-19- para ulama santri Nusantara telah berhasil membangun “otoritas” keilmuan di Haramain dengan mendirikan halaqah-halaqah. Pembentukan halaqah ilmiah ini juga terjadi di Nusantara maupun dari di negeri lain. Bahkan diantara mereka ada yang mencapai puncak karir akademiknya sebagai maha guru keilmuan Islam di Haramain. Otoritas ini terbangun secara alami melalui pengakuan para ulama dunia. Tradisi ini terus dijaga keberlangsungannya dengan membangun jaringan dengan pusat-pusat keilmuan islam di berbagai negara melalui pengiriman peserta didik santri dan pengiriman delegasi untuk acara forum halaqoh ilmiah santri. Pada pertengahan abad ke 19- tradisi rihlah mengalami pengalihan orientasi setelah maraknya lembaga formal masuk ke dunia pesantren. Bahkan diabad ke-20 ini, praktik Rihlah Ilmiah lebih mengarah pada penjelajahan data dan pengetahuan di internet. Walaupun demikian, ruh Rihlah Ilmiah tetap menjadi vitalitas dalam tradisi intelektual santri.
Terlepas dari perubahan orientasi ini, tradisi Rihlah Ilmiah santri telah mendorong terbentuknya iklim ilmiah baru yang belum ada di zaman sebelumnya. Tradisi ini telah membuahkan ilmuwan yang berkualitas dan telah memainkan peranan penting di peradaban Islam. Tentu menjadi keniscayaaan bagi cendekiawan kampus muslim untuk mengadaptasikan nilai-nilai Rihlah Ilmiah pada regulasi akademik untuk pengembangan keilmuan yang kompetitif.
Adapun keahlian dan kemampuan yang telah dicapai oleh kaum santri masa lalu melalui tradisi Rihlah Ilmiah adalah 1). Kemampuan menciptakan pusat keilmuan dunia; 2). Kemampuan membangun otoritas keilmuan secara kontinyu; 3). Kemampuan membangun jaringan intelektual berskala dunia yang solid; 4). Kemampuan melahirkan sejumlah karya ilmiah yang monumental yang otoritatif; 5). Kemampuan memainkan roda peradaban. Ini semua dihasilkan dari implentasi nilai yang dikandung dalam Rihlah Ilmiah yang mencakup 1). Nilai inovasi dan kreatifitas sebagai basis orientasi penerapanan tradisi Rihlah Ilmiah yang selalu dipegang oleh setiap pe-rihlah; 2). Nilai vitalitas dan mobilitas tinggi dalam pencarian informasi dan data pengetahuan; 3). Nilai dedikasi keilmuan dan kompetisi. Semua nilai ini merupakan ruh dari akumulasi dalam momen-momen penting Rihlah Ilmiah santri.
Pada level ini, sesungguhnya telah banyak program pengembangan keilmuan kampus yang berorientasi pada target luaran Rihlah Ilmiah ini. Mulai dari studi komparatif, short course, study tour, PPL, Magang, program penelitian luar negeri, pertukaran mahasiswa, project independent study, studi mandiri dan lain lain. Begitu juga dengan program pengembangan jejaring keilmuan, program pembentukan otoritas keilmuan, dan program pembentukan pusat keilmuan berskala internasional. Namun, output yang dihasilkan tetap jauh dibawah peringkat otoritas keilmuan, karya ilmiah yang dicapai masih jauh dari skala internasional. Sudah saaatnya kita mengalihkan orientasi program Rihlah Ilmiah formalitas kampus menuju program Rihlah Ilmiah yang beroientasi pada nilai inovasi, mobilitas dan kreatifitas serta nilai kompetitif dan dedikasi keilmuan yang tinggi. Semoga sukses, Amin ya Rabbal alamin!
*) Dr. Ishaq, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).
Adaptasi Nilai Tradisi Rihlah Ilmiah Pesantren di Perguruan Tinggi Islam

Salah satu tradisi pesantren yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan keislaman adalah tradisi Rihlah Ilmiah. Tradisi ini merupakan aktifitas perpindahan kaum santri menuju tempat-tempat belajar atau pusat keilmuan Islam untuk memperoleh ilmu dari seorang guru yang lebih tinggi dan lebih otoritatif dari guru sebelumnya. Pada masa lalu, tradisi perpindahan tempat dan pencarian guru menjadi keniscayaan bagi seorang santri untuk meningkatkan status sosial dan otoritas keilmuannya. Status sosial dan kadar otoritas keilmuannya akan dipandang meningkat jika tempat dan guru/syekh yang dituju dipandang mempunyai kadar otoritas yang lebih tinggi
Bisanya seorang santri akan melakukan perpindahan tempat belajar setelah mengusasi ilmu keislaman dasar di sekitar pondok pesantren yang tidak jauh dari kediamnnaya. Bagi santri yang telah berkemampuan dan mempunyai biaya, mereka akan melakukan Rihlah Ilmiah ke pusat-pusat keislaman di luar negeri semiasal Arab Saudi, Mesir, Maroko, Syiria dan lain-lain. Jika tidak berkemampuan, rihlah dicukupkan pada pusat keislaman di lintas kabupaten. Perpindahan tempat dan guru ini terus dilakukan tanpa adanya batasan waktu yang mengikat. Aktifitas Rihlah Ilmiah akan berakhir jika telah ada tuntutan agar sang santri segera pulang kampung untuk kepentingan penyebaran keilmuan atau kepemimpinan pesantren.
Praktik tradisi Rihlah Ilmiah kaum santri ini berakar pada tradisi rihlah para shahabat dan tabiin disaat mereka melakukan dakwah dan penyebaran ilmu keislaman. Kebiasaan rihlah para shahabat kemudian terimplementasikan secara massif dan lebih tertata dalam dunia hadist untuk pengumpulan hadist, termasuk untuk memastikan kebenaran data periwayatan perawi dan matan hadist. Praktik Rihlah Ilmiah salafu sholeh ternyata mengispirasi para ilmuan muslim berikutnya dari berbagai disiplin ilmu untuk keperluan yang lebih luas. Tradisi ini bukan hanya untuk keperluan mendatangi pusat keilmuan Islam untuk belajar pada guru/syekh pemegang otoritas ilmu, tetapi juga untuk keperluan penelitian, studi banding dan observasi. Secara bertahap, tradisi ini kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap momen kegiatan keilmuan keislaman.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (w. 440 H/ 1048 M) adalah contoh ilmuwan muslim eksperimentalis yang melakukan Rihlah Ilmiah ke India dalam waktu 40 tahun dan menghasilkan karya monomental berjudul “Tahqiq Ma li al-Hind Min Maqulah Maqbulah fi al-Aql Au Mardzulah” yang berisi kajian masyarakat India dari beragam aspek. Sedangkan di Indonesia, tradisi Rihlah Ilmiah dilakukan oleh ulama nusantara dengan cara pindah ke Haramaian dan tempat lain di Timur Tengah. Hamzah Fansuri misalnya, melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk mengunjungi beberapa pusat pengetahuan Islam, di antaranya Makkah, Madinah, Yerusalem dan Baghdad. Begitu juga halnya dengan Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), KH Mahfud al-Tirmisi (1338/1919 M), KH. Khalil Bangkalan (1819-1925) K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959), KH. Hasyim Asjari, KH. Wahab Hasbullah, Syekh Yasin Al-Fadani, dan Ahmad Khatib al-Minangkabauwi.
Santri dan Halaqah Ilmiah di Nusantara
Dalam praktik perjalanan intelektual santri Nusantara, fungsi Rihlah Ilmiah ternyata bukan hanya untuk keperluan pencarian guru yang otoritatif, tetapi juga untuk keperluan pertemuan ilmiah, observasi dan penelitian yang hasilnya kemudian dituangkan dalam bentuk karangan kitab monomental. Tercatat hingga abad ke-19- para ulama santri Nusantara telah berhasil membangun “otoritas” keilmuan di Haramain dengan mendirikan halaqah-halaqah. Pembentukan halaqah ilmiah ini juga terjadi di Nusantara maupun dari di negeri lain. Bahkan diantara mereka ada yang mencapai puncak karir akademiknya sebagai maha guru keilmuan Islam di Haramain. Otoritas ini terbangun secara alami melalui pengakuan para ulama dunia. Tradisi ini terus dijaga keberlangsungannya dengan membangun jaringan dengan pusat-pusat keilmuan islam di berbagai negara melalui pengiriman peserta didik santri dan pengiriman delegasi untuk acara forum halaqoh ilmiah santri. Pada pertengahan abad ke 19- tradisi rihlah mengalami pengalihan orientasi setelah maraknya lembaga formal masuk ke dunia pesantren. Bahkan diabad ke-20 ini, praktik Rihlah Ilmiah lebih mengarah pada penjelajahan data dan pengetahuan di internet. Walaupun demikian, ruh Rihlah Ilmiah tetap menjadi vitalitas dalam tradisi intelektual santri.
Terlepas dari perubahan orientasi ini, tradisi Rihlah Ilmiah santri telah mendorong terbentuknya iklim ilmiah baru yang belum ada di zaman sebelumnya. Tradisi ini telah membuahkan ilmuwan yang berkualitas dan telah memainkan peranan penting di peradaban Islam. Tentu menjadi keniscayaaan bagi cendekiawan kampus muslim untuk mengadaptasikan nilai-nilai Rihlah Ilmiah pada regulasi akademik untuk pengembangan keilmuan yang kompetitif.
Adapun keahlian dan kemampuan yang telah dicapai oleh kaum santri masa lalu melalui tradisi Rihlah Ilmiah adalah 1). Kemampuan menciptakan pusat keilmuan dunia; 2). Kemampuan membangun otoritas keilmuan secara kontinyu; 3). Kemampuan membangun jaringan intelektual berskala dunia yang solid; 4). Kemampuan melahirkan sejumlah karya ilmiah yang monumental yang otoritatif; 5). Kemampuan memainkan roda peradaban. Ini semua dihasilkan dari implentasi nilai yang dikandung dalam Rihlah Ilmiah yang mencakup 1). Nilai inovasi dan kreatifitas sebagai basis orientasi penerapanan tradisi Rihlah Ilmiah yang selalu dipegang oleh setiap pe-rihlah; 2). Nilai vitalitas dan mobilitas tinggi dalam pencarian informasi dan data pengetahuan; 3). Nilai dedikasi keilmuan dan kompetisi. Semua nilai ini merupakan ruh dari akumulasi dalam momen-momen penting Rihlah Ilmiah santri.
Pada level ini, sesungguhnya telah banyak program pengembangan keilmuan kampus yang berorientasi pada target luaran Rihlah Ilmiah ini. Mulai dari studi komparatif, short course, study tour, PPL, Magang, program penelitian luar negeri, pertukaran mahasiswa, project independent study, studi mandiri dan lain lain. Begitu juga dengan program pengembangan jejaring keilmuan, program pembentukan otoritas keilmuan, dan program pembentukan pusat keilmuan berskala internasional. Namun, output yang dihasilkan tetap jauh dibawah peringkat otoritas keilmuan, karya ilmiah yang dicapai masih jauh dari skala internasional. Sudah saaatnya kita mengalihkan orientasi program Rihlah Ilmiah formalitas kampus menuju program Rihlah Ilmiah yang beroientasi pada nilai inovasi, mobilitas dan kreatifitas serta nilai kompetitif dan dedikasi keilmuan yang tinggi. Semoga sukses, Amin ya Rabbal alamin!
*) Dr. Ishaq, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).
Salah satu tradisi pesantren yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan keislaman adalah tradisi Rihlah Ilmiah. Tradisi ini merupakan aktifitas perpindahan kaum santri menuju tempat-tempat belajar atau pusat keilmuan Islam untuk memperoleh ilmu dari seorang guru yang lebih tinggi dan lebih otoritatif dari guru sebelumnya. Pada masa lalu, tradisi perpindahan tempat dan pencarian guru menjadi keniscayaan bagi seorang santri untuk meningkatkan status sosial dan otoritas keilmuannya. Status sosial dan kadar otoritas keilmuannya akan dipandang meningkat jika tempat dan guru/syekh yang dituju dipandang mempunyai kadar otoritas yang lebih tinggi
Bisanya seorang santri akan melakukan perpindahan tempat belajar setelah mengusasi ilmu keislaman dasar di sekitar pondok pesantren yang tidak jauh dari kediamnnaya. Bagi santri yang telah berkemampuan dan mempunyai biaya, mereka akan melakukan Rihlah Ilmiah ke pusat-pusat keislaman di luar negeri semiasal Arab Saudi, Mesir, Maroko, Syiria dan lain-lain. Jika tidak berkemampuan, rihlah dicukupkan pada pusat keislaman di lintas kabupaten. Perpindahan tempat dan guru ini terus dilakukan tanpa adanya batasan waktu yang mengikat. Aktifitas Rihlah Ilmiah akan berakhir jika telah ada tuntutan agar sang santri segera pulang kampung untuk kepentingan penyebaran keilmuan atau kepemimpinan pesantren.
Praktik tradisi Rihlah Ilmiah kaum santri ini berakar pada tradisi rihlah para shahabat dan tabiin disaat mereka melakukan dakwah dan penyebaran ilmu keislaman. Kebiasaan rihlah para shahabat kemudian terimplementasikan secara massif dan lebih tertata dalam dunia hadist untuk pengumpulan hadist, termasuk untuk memastikan kebenaran data periwayatan perawi dan matan hadist. Praktik Rihlah Ilmiah salafu sholeh ternyata mengispirasi para ilmuan muslim berikutnya dari berbagai disiplin ilmu untuk keperluan yang lebih luas. Tradisi ini bukan hanya untuk keperluan mendatangi pusat keilmuan Islam untuk belajar pada guru/syekh pemegang otoritas ilmu, tetapi juga untuk keperluan penelitian, studi banding dan observasi. Secara bertahap, tradisi ini kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap momen kegiatan keilmuan keislaman.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (w. 440 H/ 1048 M) adalah contoh ilmuwan muslim eksperimentalis yang melakukan Rihlah Ilmiah ke India dalam waktu 40 tahun dan menghasilkan karya monomental berjudul “Tahqiq Ma li al-Hind Min Maqulah Maqbulah fi al-Aql Au Mardzulah” yang berisi kajian masyarakat India dari beragam aspek. Sedangkan di Indonesia, tradisi Rihlah Ilmiah dilakukan oleh ulama nusantara dengan cara pindah ke Haramaian dan tempat lain di Timur Tengah. Hamzah Fansuri misalnya, melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk mengunjungi beberapa pusat pengetahuan Islam, di antaranya Makkah, Madinah, Yerusalem dan Baghdad. Begitu juga halnya dengan Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), KH Mahfud al-Tirmisi (1338/1919 M), KH. Khalil Bangkalan (1819-1925) K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959), KH. Hasyim Asjari, KH. Wahab Hasbullah, Syekh Yasin Al-Fadani, dan Ahmad Khatib al-Minangkabauwi.
Santri dan Halaqah Ilmiah di Nusantara
Dalam praktik perjalanan intelektual santri Nusantara, fungsi Rihlah Ilmiah ternyata bukan hanya untuk keperluan pencarian guru yang otoritatif, tetapi juga untuk keperluan pertemuan ilmiah, observasi dan penelitian yang hasilnya kemudian dituangkan dalam bentuk karangan kitab monomental. Tercatat hingga abad ke-19- para ulama santri Nusantara telah berhasil membangun “otoritas” keilmuan di Haramain dengan mendirikan halaqah-halaqah. Pembentukan halaqah ilmiah ini juga terjadi di Nusantara maupun dari di negeri lain. Bahkan diantara mereka ada yang mencapai puncak karir akademiknya sebagai maha guru keilmuan Islam di Haramain. Otoritas ini terbangun secara alami melalui pengakuan para ulama dunia. Tradisi ini terus dijaga keberlangsungannya dengan membangun jaringan dengan pusat-pusat keilmuan islam di berbagai negara melalui pengiriman peserta didik santri dan pengiriman delegasi untuk acara forum halaqoh ilmiah santri. Pada pertengahan abad ke 19- tradisi rihlah mengalami pengalihan orientasi setelah maraknya lembaga formal masuk ke dunia pesantren. Bahkan diabad ke-20 ini, praktik Rihlah Ilmiah lebih mengarah pada penjelajahan data dan pengetahuan di internet. Walaupun demikian, ruh Rihlah Ilmiah tetap menjadi vitalitas dalam tradisi intelektual santri.
Terlepas dari perubahan orientasi ini, tradisi Rihlah Ilmiah santri telah mendorong terbentuknya iklim ilmiah baru yang belum ada di zaman sebelumnya. Tradisi ini telah membuahkan ilmuwan yang berkualitas dan telah memainkan peranan penting di peradaban Islam. Tentu menjadi keniscayaaan bagi cendekiawan kampus muslim untuk mengadaptasikan nilai-nilai Rihlah Ilmiah pada regulasi akademik untuk pengembangan keilmuan yang kompetitif.
Adapun keahlian dan kemampuan yang telah dicapai oleh kaum santri masa lalu melalui tradisi Rihlah Ilmiah adalah 1). Kemampuan menciptakan pusat keilmuan dunia; 2). Kemampuan membangun otoritas keilmuan secara kontinyu; 3). Kemampuan membangun jaringan intelektual berskala dunia yang solid; 4). Kemampuan melahirkan sejumlah karya ilmiah yang monumental yang otoritatif; 5). Kemampuan memainkan roda peradaban. Ini semua dihasilkan dari implentasi nilai yang dikandung dalam Rihlah Ilmiah yang mencakup 1). Nilai inovasi dan kreatifitas sebagai basis orientasi penerapanan tradisi Rihlah Ilmiah yang selalu dipegang oleh setiap pe-rihlah; 2). Nilai vitalitas dan mobilitas tinggi dalam pencarian informasi dan data pengetahuan; 3). Nilai dedikasi keilmuan dan kompetisi. Semua nilai ini merupakan ruh dari akumulasi dalam momen-momen penting Rihlah Ilmiah santri.
Pada level ini, sesungguhnya telah banyak program pengembangan keilmuan kampus yang berorientasi pada target luaran Rihlah Ilmiah ini. Mulai dari studi komparatif, short course, study tour, PPL, Magang, program penelitian luar negeri, pertukaran mahasiswa, project independent study, studi mandiri dan lain lain. Begitu juga dengan program pengembangan jejaring keilmuan, program pembentukan otoritas keilmuan, dan program pembentukan pusat keilmuan berskala internasional. Namun, output yang dihasilkan tetap jauh dibawah peringkat otoritas keilmuan, karya ilmiah yang dicapai masih jauh dari skala internasional. Sudah saaatnya kita mengalihkan orientasi program Rihlah Ilmiah formalitas kampus menuju program Rihlah Ilmiah yang beroientasi pada nilai inovasi, mobilitas dan kreatifitas serta nilai kompetitif dan dedikasi keilmuan yang tinggi. Semoga sukses, Amin ya Rabbal alamin!
*) Dr. Ishaq, M.Ag., Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).