23.3 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Islam Wasatiyah sebagai Mandat Transformasi Kelembagaan 

Mobile_AP_Rectangle 1

Transformasi kelembagaan perguruan tinggi keagamaan Islam sejatinya memiliki argumentasi filosofis. Perubahan bentuk dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat, utamanya tentang pembukaan program studi umum. 

Dalam konteks itu, transformasi IAIN Jember menjadi UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2021 tanggal 11 Mei 2021 juga meniscayakan untuk membuka program studi umum. Sudah barang tentu, transformasi kelembagaan dimaksudkan sebagai perwujudan integrasi agama dan sains yang menjadi salah satu mandat dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi keagamaan Islam.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi keagamaan terus mengalami perubahan seiring tuntutan dan dinamika perkembangan zaman. Dalam perjalanan sejarahnya, perguruan tinggi keagamaan Islam, yang dikenal dengan IAIN, lebih fokus pada lembaga dakwah yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Saat ini, hal itu tidak berkurang, namun diperluas dengan memantapkan kelembagaannya sebagai wadah yang bertanggung jawab secara akademis-ilmiah. Perguruan tinggi keagamaan Islam ini kemudian memikul tanggung jawab sebagai meeting pot dan melting pot pelbagai pendekatan studi Islam. Aneka pendekatan studi keislaman kemudian tidak hanya diwujudkan dalam pendalaman program studi keagamaan an sich, melainkan penyediaan program studi umum, sebagaimana di perguruan tinggi umum negeri lainnya. Sekedar ambil contoh, program studi sains dan teknologi, pertanian, kedokteran, dan lainnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

 

Pekerjaan Besar 

Seiring dengan dibukanya program studi umum sebagai konsekuensi logis dari transformasi kelembagaan di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka pekerjaan besar dari hal tersebut adalah komitmen untuk menjaga dan merawat pelbagai pandangan dan argumen yang berkembang dalam titik pijak Islam yang moderat. Selain itu, perkembangan pesat yang terjadi di lingkungan UIN, menuntut untuk menggunakan pelbagai pendekatan dalam memahami keislaman dengan analisis yang mendalam. Kajian yang harus dikembangkan adalah pemaduan antara problem kontemporer dengan basis-basis teks klasik tetap harus dilestarikan, termasuk dalam kajian-kajian yang nantinya dikembangkan dalam program studi umum.

Lahirnya program studi umum tidak kemudian mengenyampingkan kajian keislaman yang bernafaskan Islam wasatiyah di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam. Momentum transformasi kelembagaan justru menjadi rumah baru untuk dikuatkan dalam pembumian Islam rahmatan lil alamin melalui kajian-kajian yang memberi dampak pada pemahaman yang plural terhadap kekayaan dan keragaman tradisi intelektual Islam, yang selama ini menjadi core business IAIN dan UIN. Pemahaman yang beragam, yang tidak hanya berkutat pada satu pandangan eksklusif, akan mengantarkan pada munculnya an Islam based on tolerance and inclusiveness di Indonesia. 

Tentu pekerjaan ini menjadi tantangan berat kedepan karena gejala pemahaman keagamaan yang eksklusif, intoleran, sudah sangat nampak di hadapan kita. Yang mencengangkan, riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tiga besar perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Djati Bandung dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menunjukkan adanya ketimpangan antara harapan dan realita. 

Harapan yang sangat besar tertumpu pada perguruan tinggi keagamaan Islam adalah lahirnya pemahaman keagamaan yang moderat, toleran, dan berkeadaban. Perguruan tinggi keagamaan Islam diharapkan menjadi lokomotif penyemaian nilai-nilai moderasi beragama untuk kemudian lahir para generasi bangsa yang memiliki komitmen kebangsaan tinggi. Namun, faktanya justru mengagetkan, berdasar riset tersebut, di tiga perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri terkonfirmasi bahwa nilai empati eksternal dan internal yang merupakan turunan konseptual moderasi beragama dari aspek toleransi cenderung rentan di kalangan mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa empati seseorang terhadap penganut agama lain relatif rendah dan penolakan terhadap penganut aliran lain di dalam Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah relatif tinggi. Tentu, gejala penolakan terhadap kelompok lain yang berbeda dapat menjadi gejala awal lahirnya sifat diskriminatif-eksklusif.

Pertanyaannya kemudian, apakah transformasi kelembagaan membuka ruang luas terdegradasinya kajian keislaman dari kajian-kajian umum yang notabene ditandai dengan program studi umum? Tentu, jawabannya adalah tidak. Penulis justru berkeyakinan bahwa transformasi kelembagaan yang kemudian memiliki mandat untuk membuka program studi umum, semakin menguatkan perguruan tinggi keagamaan Islam secara kelembagaan untuk menguatkan Islam wasatiyah. Perguruan tinggi keagamaan Islam yang lahir dari rahim STAIN, IAIN, kemudian menjadi UIN, harus seutuhnya dimiliki oleh para sarjana yang memiliki cara pandang dan cara fikir moderat, toleran, dan kokoh menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa. 

Perluasan cakupan kajian keilmuan dapat mewujudkan perguruan tinggi untuk memantapkan diri menjadi institusi akademik yang kokoh membangun masyarakat Indonesia dengan pemahaman Islam inklusif. Kajian Islam inklusif yang terbuka dengan pendekatan integrasi sains dan agama dapat mengantarkan perguruan tinggi keagamaan Islam sebagai lembaga akademis, yang menitikberatkan pada kajian empiris-sosilogis-historis, dan tidak hanya berpijak pada pendekatan dogmatis-konservatif. Jika ini dapat dilakukan, niscaya transformasi kelembagaan dapat menjadi wasilah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Semoga!

 

*) Dr. H. Hepni Zain, S.Ag, M.M., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember

- Advertisement -

Transformasi kelembagaan perguruan tinggi keagamaan Islam sejatinya memiliki argumentasi filosofis. Perubahan bentuk dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat, utamanya tentang pembukaan program studi umum. 

Dalam konteks itu, transformasi IAIN Jember menjadi UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2021 tanggal 11 Mei 2021 juga meniscayakan untuk membuka program studi umum. Sudah barang tentu, transformasi kelembagaan dimaksudkan sebagai perwujudan integrasi agama dan sains yang menjadi salah satu mandat dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi keagamaan Islam.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi keagamaan terus mengalami perubahan seiring tuntutan dan dinamika perkembangan zaman. Dalam perjalanan sejarahnya, perguruan tinggi keagamaan Islam, yang dikenal dengan IAIN, lebih fokus pada lembaga dakwah yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Saat ini, hal itu tidak berkurang, namun diperluas dengan memantapkan kelembagaannya sebagai wadah yang bertanggung jawab secara akademis-ilmiah. Perguruan tinggi keagamaan Islam ini kemudian memikul tanggung jawab sebagai meeting pot dan melting pot pelbagai pendekatan studi Islam. Aneka pendekatan studi keislaman kemudian tidak hanya diwujudkan dalam pendalaman program studi keagamaan an sich, melainkan penyediaan program studi umum, sebagaimana di perguruan tinggi umum negeri lainnya. Sekedar ambil contoh, program studi sains dan teknologi, pertanian, kedokteran, dan lainnya.

 

Pekerjaan Besar 

Seiring dengan dibukanya program studi umum sebagai konsekuensi logis dari transformasi kelembagaan di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka pekerjaan besar dari hal tersebut adalah komitmen untuk menjaga dan merawat pelbagai pandangan dan argumen yang berkembang dalam titik pijak Islam yang moderat. Selain itu, perkembangan pesat yang terjadi di lingkungan UIN, menuntut untuk menggunakan pelbagai pendekatan dalam memahami keislaman dengan analisis yang mendalam. Kajian yang harus dikembangkan adalah pemaduan antara problem kontemporer dengan basis-basis teks klasik tetap harus dilestarikan, termasuk dalam kajian-kajian yang nantinya dikembangkan dalam program studi umum.

Lahirnya program studi umum tidak kemudian mengenyampingkan kajian keislaman yang bernafaskan Islam wasatiyah di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam. Momentum transformasi kelembagaan justru menjadi rumah baru untuk dikuatkan dalam pembumian Islam rahmatan lil alamin melalui kajian-kajian yang memberi dampak pada pemahaman yang plural terhadap kekayaan dan keragaman tradisi intelektual Islam, yang selama ini menjadi core business IAIN dan UIN. Pemahaman yang beragam, yang tidak hanya berkutat pada satu pandangan eksklusif, akan mengantarkan pada munculnya an Islam based on tolerance and inclusiveness di Indonesia. 

Tentu pekerjaan ini menjadi tantangan berat kedepan karena gejala pemahaman keagamaan yang eksklusif, intoleran, sudah sangat nampak di hadapan kita. Yang mencengangkan, riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tiga besar perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Djati Bandung dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menunjukkan adanya ketimpangan antara harapan dan realita. 

Harapan yang sangat besar tertumpu pada perguruan tinggi keagamaan Islam adalah lahirnya pemahaman keagamaan yang moderat, toleran, dan berkeadaban. Perguruan tinggi keagamaan Islam diharapkan menjadi lokomotif penyemaian nilai-nilai moderasi beragama untuk kemudian lahir para generasi bangsa yang memiliki komitmen kebangsaan tinggi. Namun, faktanya justru mengagetkan, berdasar riset tersebut, di tiga perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri terkonfirmasi bahwa nilai empati eksternal dan internal yang merupakan turunan konseptual moderasi beragama dari aspek toleransi cenderung rentan di kalangan mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa empati seseorang terhadap penganut agama lain relatif rendah dan penolakan terhadap penganut aliran lain di dalam Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah relatif tinggi. Tentu, gejala penolakan terhadap kelompok lain yang berbeda dapat menjadi gejala awal lahirnya sifat diskriminatif-eksklusif.

Pertanyaannya kemudian, apakah transformasi kelembagaan membuka ruang luas terdegradasinya kajian keislaman dari kajian-kajian umum yang notabene ditandai dengan program studi umum? Tentu, jawabannya adalah tidak. Penulis justru berkeyakinan bahwa transformasi kelembagaan yang kemudian memiliki mandat untuk membuka program studi umum, semakin menguatkan perguruan tinggi keagamaan Islam secara kelembagaan untuk menguatkan Islam wasatiyah. Perguruan tinggi keagamaan Islam yang lahir dari rahim STAIN, IAIN, kemudian menjadi UIN, harus seutuhnya dimiliki oleh para sarjana yang memiliki cara pandang dan cara fikir moderat, toleran, dan kokoh menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa. 

Perluasan cakupan kajian keilmuan dapat mewujudkan perguruan tinggi untuk memantapkan diri menjadi institusi akademik yang kokoh membangun masyarakat Indonesia dengan pemahaman Islam inklusif. Kajian Islam inklusif yang terbuka dengan pendekatan integrasi sains dan agama dapat mengantarkan perguruan tinggi keagamaan Islam sebagai lembaga akademis, yang menitikberatkan pada kajian empiris-sosilogis-historis, dan tidak hanya berpijak pada pendekatan dogmatis-konservatif. Jika ini dapat dilakukan, niscaya transformasi kelembagaan dapat menjadi wasilah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Semoga!

 

*) Dr. H. Hepni Zain, S.Ag, M.M., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember

Transformasi kelembagaan perguruan tinggi keagamaan Islam sejatinya memiliki argumentasi filosofis. Perubahan bentuk dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat, utamanya tentang pembukaan program studi umum. 

Dalam konteks itu, transformasi IAIN Jember menjadi UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2021 tanggal 11 Mei 2021 juga meniscayakan untuk membuka program studi umum. Sudah barang tentu, transformasi kelembagaan dimaksudkan sebagai perwujudan integrasi agama dan sains yang menjadi salah satu mandat dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi keagamaan Islam.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi keagamaan terus mengalami perubahan seiring tuntutan dan dinamika perkembangan zaman. Dalam perjalanan sejarahnya, perguruan tinggi keagamaan Islam, yang dikenal dengan IAIN, lebih fokus pada lembaga dakwah yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Saat ini, hal itu tidak berkurang, namun diperluas dengan memantapkan kelembagaannya sebagai wadah yang bertanggung jawab secara akademis-ilmiah. Perguruan tinggi keagamaan Islam ini kemudian memikul tanggung jawab sebagai meeting pot dan melting pot pelbagai pendekatan studi Islam. Aneka pendekatan studi keislaman kemudian tidak hanya diwujudkan dalam pendalaman program studi keagamaan an sich, melainkan penyediaan program studi umum, sebagaimana di perguruan tinggi umum negeri lainnya. Sekedar ambil contoh, program studi sains dan teknologi, pertanian, kedokteran, dan lainnya.

 

Pekerjaan Besar 

Seiring dengan dibukanya program studi umum sebagai konsekuensi logis dari transformasi kelembagaan di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka pekerjaan besar dari hal tersebut adalah komitmen untuk menjaga dan merawat pelbagai pandangan dan argumen yang berkembang dalam titik pijak Islam yang moderat. Selain itu, perkembangan pesat yang terjadi di lingkungan UIN, menuntut untuk menggunakan pelbagai pendekatan dalam memahami keislaman dengan analisis yang mendalam. Kajian yang harus dikembangkan adalah pemaduan antara problem kontemporer dengan basis-basis teks klasik tetap harus dilestarikan, termasuk dalam kajian-kajian yang nantinya dikembangkan dalam program studi umum.

Lahirnya program studi umum tidak kemudian mengenyampingkan kajian keislaman yang bernafaskan Islam wasatiyah di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam. Momentum transformasi kelembagaan justru menjadi rumah baru untuk dikuatkan dalam pembumian Islam rahmatan lil alamin melalui kajian-kajian yang memberi dampak pada pemahaman yang plural terhadap kekayaan dan keragaman tradisi intelektual Islam, yang selama ini menjadi core business IAIN dan UIN. Pemahaman yang beragam, yang tidak hanya berkutat pada satu pandangan eksklusif, akan mengantarkan pada munculnya an Islam based on tolerance and inclusiveness di Indonesia. 

Tentu pekerjaan ini menjadi tantangan berat kedepan karena gejala pemahaman keagamaan yang eksklusif, intoleran, sudah sangat nampak di hadapan kita. Yang mencengangkan, riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tiga besar perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Djati Bandung dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menunjukkan adanya ketimpangan antara harapan dan realita. 

Harapan yang sangat besar tertumpu pada perguruan tinggi keagamaan Islam adalah lahirnya pemahaman keagamaan yang moderat, toleran, dan berkeadaban. Perguruan tinggi keagamaan Islam diharapkan menjadi lokomotif penyemaian nilai-nilai moderasi beragama untuk kemudian lahir para generasi bangsa yang memiliki komitmen kebangsaan tinggi. Namun, faktanya justru mengagetkan, berdasar riset tersebut, di tiga perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri terkonfirmasi bahwa nilai empati eksternal dan internal yang merupakan turunan konseptual moderasi beragama dari aspek toleransi cenderung rentan di kalangan mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa empati seseorang terhadap penganut agama lain relatif rendah dan penolakan terhadap penganut aliran lain di dalam Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah relatif tinggi. Tentu, gejala penolakan terhadap kelompok lain yang berbeda dapat menjadi gejala awal lahirnya sifat diskriminatif-eksklusif.

Pertanyaannya kemudian, apakah transformasi kelembagaan membuka ruang luas terdegradasinya kajian keislaman dari kajian-kajian umum yang notabene ditandai dengan program studi umum? Tentu, jawabannya adalah tidak. Penulis justru berkeyakinan bahwa transformasi kelembagaan yang kemudian memiliki mandat untuk membuka program studi umum, semakin menguatkan perguruan tinggi keagamaan Islam secara kelembagaan untuk menguatkan Islam wasatiyah. Perguruan tinggi keagamaan Islam yang lahir dari rahim STAIN, IAIN, kemudian menjadi UIN, harus seutuhnya dimiliki oleh para sarjana yang memiliki cara pandang dan cara fikir moderat, toleran, dan kokoh menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa. 

Perluasan cakupan kajian keilmuan dapat mewujudkan perguruan tinggi untuk memantapkan diri menjadi institusi akademik yang kokoh membangun masyarakat Indonesia dengan pemahaman Islam inklusif. Kajian Islam inklusif yang terbuka dengan pendekatan integrasi sains dan agama dapat mengantarkan perguruan tinggi keagamaan Islam sebagai lembaga akademis, yang menitikberatkan pada kajian empiris-sosilogis-historis, dan tidak hanya berpijak pada pendekatan dogmatis-konservatif. Jika ini dapat dilakukan, niscaya transformasi kelembagaan dapat menjadi wasilah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Semoga!

 

*) Dr. H. Hepni Zain, S.Ag, M.M., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca