Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke bumi Nusantara melalui jalur perdagangan. Bermula dari relasi dagang para saudagar muslim dengan penduduk pribumi, terjadilah akulturasi dan asimilasi ajaran-ajaran Islam dengan budaya setempat. Dari sini berkembang corak keberagamaan Islam yang khas bercirikan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjelma menjadi Islam Nusantara.
Kearifan lokal atau local wisdom dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Ketika Islam masuk ke Indonesia nilai-nilai dalam kearifan lokal tersebut menjadi modal utama para pendakwah muslim dalam membangun masyarakat baru, tanpa merusak tatanan sosial dan lingkungan alam yang sudah ada sebelumnya.
Berkenaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, terdapat empat teori yakni pertama: Teori India (Gujarat) menyebutkan agama Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang muslim dari India (Gujarat) yang berdagang di Nusantara pada abad ke-13. Para saudagar muslim tersebut datang dari Malaka dan menjalin relasi dengan orang-orang di wilayah barat Indonesia. Relasi itu berlanjut hingga terbentuklah sebuah kerajaan Islam yang bernama kerajaan Samudra Pasai. Teori ini dikemukakan oleh S. Hurgronje dan J. Pijnapel.
Kedua: Teori Arab (Mekah) menyebutkan Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Mekah) pada masa kekhalifahan. Teori ini didukung oleh J.C. Van Leur dan Buya Hamka. Menurut Buya Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Teori Hamka tersebut didukung oleh T.W. Arnold, dengan melihat cukup kuatnya dominasi kaum saudagar dari Arab dalam aktivitas perdagangan ke wilayah Nusantara.
Ketiga: Teori Persia (Iran) menyatakan asal mula Islam masuk ke Indonesia dari Negara Persia. Teori ini didukung oleh Husen Djadjadiningrat dan Umar Amir Husen, yang disasarkan pada adanya kesamaan tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia dengan Persia. Salah satu contoh dalam seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Indonesia.
Keempat: Teori Tiongkok meyakini bahwa Islam memasuki Indonesia bersamaan migrasi orang-orang Tiongkok ke Asia Tenggara. Mereka memasuki wilayah Sumatra bagian selatan pada tahun 879 atau abad ke-9 M. Teori ini dibuktikan dengan banyaknya pendakwah Islam keturunan Tiongkok yang mempunyai pengaruh besar di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 M. Sebagian dari mereka dikenal dengan nama Wali Songo.
Empat teori tentang masuknya Islam ke Indonesia memiliki perbedaan dalam hal tahun masuk dan juga daerah asal pada pendakwah Muslim. Meski demikian, keempatnya sepakat dalam hal cara masuknya Islam dengan melalui jalur perdagangan yang nyaris tanpa kekerasan. Meraka membaur dalam kehidupan masyarakat setempat dan sekaligus memperkenalkan ajaran-ajaran Islam dengan penuh kedamaian. Sehingga Islam dapat hidup berdampingan dan beradaptasi dengan nilai-nilai, adat istiadat, tradisi dan budaya masyarakat setempat yang sebelumnya sudah ada dan diwariskan secara turun temurun.
Dalam prose adaptasi itu adakalanya terjadi asimilasi Islam dengan tradisi masyarakat lokal. Dalam hal ini Islam melakukan interaksi, komunikasi dan penyesuaian dengan kearifan lokal setempat. Proses ini berlangsung secara perlahan, dalam waktu yang relatif panjang. Proses itu tanpa disadari akan menghasilkan satu bentuk nilai kolektif yang dipakai bersama. Bukti nyata dari proses ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Wali Songo dengan mengembangkan kesenian tradisional bercorak Islam. Pondok pesantren pun diyakini sebagai hasil asimilasi Islam terhadap lembaga pendidikan yang sudah berkembang pada masyarakat Hindu dan Budha di Jawa.
Islam juga banyak melakukan akulturasi dengan nilai kearifan lokal pada awal penyebarannya. Dengan proses ini kedua nilai dapat hidup berdampingan tanpa harus kehilangan cirinya masing-masing. Proses ini berlangsung secara dinamis tanpa menghilangkan kebudayaan lama yang sudah ada. Di antara bukti nyata proses ini bisa dilihat pada bentuk makam, batu nisan, arsitektur bangunan masjid, termasuk tulisan pegon (Arab Jawa).
Adaptasi, komunikasi, dan relasi Islam dengan budaya-budaya lokal dengan berbagai bentuknya, sudah berjalan sangat lama seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indosesia. Proses ini sangat wajar dan alamiah mengingat Agama Islam harus difahami tidak saja sebagai kepercayaan (faith) tetapi sekaligus sebagai tradisi (tradition) jika menyangkut perilaku keberagaman para pemeluknya.
Seiring berkembangnya waktu Islam yang bercirikan kearifan lokal ini juga harus terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan realitas zaman yang selalu berubah. Gaya hidup dan kecenderungan baru dalam masyarakat harus mampu di respon oleh Islam tanpa harus kehilangan ciri kearifan lokalnya. Oleh karenanya, proses transformasi nilai-nilai Islam Nusantara harus secara konsisten dilakukan. Di sinilah pentingnya Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berbasis pada kearifan lokal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, pasal 2 (2) di jelaskan bahwa Pendidikan Agama bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama dan menyesuaikan penguasaannya dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Merujuk pada pasal ini maka Pendidikan Agama dituntut untuk mampu menghasilkan peserta didik yang taat beragama dan sekaligus bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Untuk itu, dalam proses pemberian pengetahuan, pembentukan sikap, dan ketrampilan tentang ajaran agama harus selalu diselaraskan dengan nilai-nilai kearifan lokal di setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan.
PAI pun mengemban tugas untuk menjamin terciptakan harmoni ajaran Islam dengan nilai-nilai kearifan lokal. Ruang lingkup PAI yang meliputi Aqidah Akhlaq, Fiqh, Al Qur’an Hadits dan Sejarah Kebudayaan Islam, harus mengedepankan ciri keindonesiaan, tanpa kehilangan kesakralannya. Tradisi-tradisi, adat istiadat, kesenian-kesenian, adat istiadat, manuskrip kuno warisan leluhur, sangat tepat untuk diperkenalkan pada peserta didik untuk penyampaian materi-materi PAI tersebut.
Pada materi akidah akhlaq guru bisa memperkenalkan kesenian wayang kulit yang di dalamnya sarat dengan ajaran-ajaran keimanan. Di daerah Sumatera Selatan ada “Petatah Petitih Besemah” yang berisi nasihat dan petuah untuk pedoman hidup sehari-hari. Pada materi Fiqh peserta didik–terutama di sekolah– perlu dikenalkan Kitab Kuning dengan Huruf pegon disamping buku-buku yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Arab. Dalam kajian Al Qur’an dan Hadits perlu dikembangkan penafsiran yang sesuai konteks masyarakat Indonesia. Wisata Religi ke makam Wali Songo penting juga untuk ditradisikan agar peserta didik memahami akar sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
PAI yang bercirikan kearifan lokal menjadi kebutuhan untuk saat ini seiring dengan agenda penguatan Moderasi Beragama. Saat ini, Indonesia sedang menghadapi tantangan dari dua kelompok ekstrim, yakni kelompok liberal dan kelompok konservatif. Moderasi Beragama bertujuan untuk menghadirkan jalan tengah dari dua kelompok ekstrim ini, agar tercipta keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. PAI, dengan demikian, harus bisa menghadirkan wajah Islam yang toleran dan bisa mengadopsi nilai-nilai masyarakat yang terdiri dari beragam suku dan bangsa, agar bisa hidup berdampingan tanpa merendahkan satu sama lain.
*) Dr. Dyah Nawangsari, M.Ag., Kaprodi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember .