22.1 C
Jember
Friday, 9 June 2023

PSB, SPAB, dan Kurikulum PAI

Oleh: Dr. Dyah Nawangsari, M.Ag*

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Fenomena ragam bencana alam, seperti banjir bandang, gempa bumi hingga erupsi masih terjadi di Indonesia. Awal Januari 2021, misalnya erupsi (keluarnya magma ke permukaan bumi) yang terjadi pada gunung Merapi (perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah), gunung Semeru (kawasan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang Jawa Timur), dan gunung Sinabung (wilayah Kabupaten Karo, Sumetara Utara) membuat kita harus “menyalakan api” waspada terhadap bencana vulkanik itu.  Tiga  erupsi  ini menjadi bagian dari 127 gunung api aktif di wilayah Indonesia dan tercatat terbanyak di dunia.

Berbagai peristiwa alam yang terjadi di wilayah Nusantara ini menjadikan Indonesia sebagai kawasan dengan tingkat resiko tinggi terhadap bencana. Hal ini disebabkan letaknya di persimpangan tiga lempeng teknotik, yakni Lempeng Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Selain itu, kita berada di “area” cincin pasifik dunia dengan 127 gunung api aktif dan terbanyak di dunia. Faktor alam ini mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-33 dunia dalam World Risk Index tahun 2017.

Faktor geografis ditambah kerusakan lingkungan akibat kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, menjadikan Indonesia hampir tidak pernah luput dari  bencana setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 1.944 bencana sepanjang tahun 2020. Dari angka tersebut yang paling banyak adalah bencana banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrim. Di tahun 2020 ini juga terdapat bencana non alam, yakni wabah pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Fenomena bencana ini nampaknya masih akan berlanjut di tahun 2021.

Mobile_AP_Rectangle 2

Mitigasi Bencana dan PSB

Menyikapi berbagai fenomena ini, yang harus dilakukan adalah “bersahabat dengan bencana”. Peristiwa-peristiwa bencana alam bukan untuk ditakuti, diratapi, ataupun disesali, melainkan harus diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya harus disiapkan fisik, mental, dan psikologis masyarakat sejak dini.

Sudah waktunya ada perubahan paradigma dalam menghadapi bencana, dari paradigma mengatasi bencana menjadi mencegah terjadinya bencana. Jika kejadian bencana memang tidak bisa dicegah, maka yang diperlukan adalah mitigasi bencana, upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Untuk itu diperlukan Pendidikan Siaga Bencana (PSB).

PSB merupakan sarana untuk mendidik masyarakat agar siap, tanggap dan cekatan saat bencana datang. Mengaca pada Jepang sebagai negara dengan resiko tinggi terhadap bencana, PSB ini sudah menjadi bagian dari kurikulum mulai pendidikan dasar sampai menengah. Anak-anak di Jepang sudah diajarkan cara bersikap ketika terjadi bencana. Setiap tahun mereka diberi simulasi evakuasi dari bencana. Langkah ini sangat efektif dalam rangka meminimalisir jumlah korban pada saat bencana terjadi.

Sesungguhnya sejak tahun 2010 pemerintah sudah berkomitmen untuk melaksanakan Sekolah Aman Bencana (Safe School). Komitmen ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 tentang penerapan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Terdapat tiga hal yang menjadi pilar SPAB yakni; fasilitas pembelajaran yang aman bencana di sekolah, managemen bencana di sekolah dan pencegahan dan pengurangan resiko bencana (mitigasi) di sekolah.

Mitigasi bencana di sekolah dilakukan melalui tiga tahap yakni: tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana. Semua tahapan ini harus terintegrasi dalam kurikulum pendidikan di setiap satuan pendidikan, karena sampai saat ini belum ada kurikulum khusus siaga bencana. Selain integrasi juga harus ada interkoneksi pada semua mata pelajaran agar terbentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan tanggap bencana.

 

Integrasi Mitigasi dalam Kurikulum PAI

Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pun harus mengupayakan terwujudnya integrasi dan interkoneksi pada setiap tahapan mitigasi tersebut. Pada tahap  prabencana  harus ditanamkan kesadaran anak terhadap potensi bencana di daerahnya masing-masing dengan segala resikonya. Pada materi Aqidah Akhlaq perlu  ditanamkan bahwa bencana  alam adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berfikir (QS. Ali Imran: 190). Oleh karenanya pengetahuan tentang bencana dengan segala resikonya sangat penting untuk digali.

Selanjutnya perlu dikampanyekan kebiasaan-kebiasaan positif untuk mencegah terjadinya bencana misalnya dengan membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menggalakkan penghijauan, menjaga kebersihan diri, dan selalu menerapkan protokol kesehatan. Pesan-pesan singkat tentang Siaga Bencana perlu disebarluaskan pada anak-anak dengan memanfaatkan berbagai media yang ada. Perilaku ini sebagai aktualisasi akhlak kepada sesama dan juga kepada lingkungan.

Pada tahap kedua yaitu saat terjadi bencana, peserta didik diajak untuk menelaah  dan memahami bahwa bencana bukan adzab Tuhan. Interkoneksi dengan mata pelajaran (mapel) lain sangat diperlukan untuk menjelaskan bahwa kejadian bencana adalah peristiwa alamiah dan bukan akibat dosa manusia. Misalnya dalam menyikapi bencana gempa bumi dan gunung meletus, harus difahami sebagai peristiwa alam akibat kondisi geografis Indonesia yang berada di posisi Ring of Fire sehingga rawan terjadi erupsi. Interkoneksi dengan Mapel Geografi sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Pada tahap ini perlu dilakukan simulasi cara melindungi diri  dan  merespons bencana secara tepat dan cepat. Penting juga dilatih ketrampilan-ketrampilan teknis untuk menghindari resiko bencana lebih besar. Tentu saja guru PAI tidak mungkin bisa melakukan ini sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan tenaga-tenaga yang profesional di bidangnya. Misalnya guna mencegah resiko lebih besar bencana pandemi Covid-19, harus digalakkan penerapan protokol kesehatan yang benar dengan melibatkan Tim Tenaga Kesehatan yang profesional. Pelatihan ini sangat penting diajarkan sebab mengutip pendapat Abu Ishaq As Syatibi tujuan di turunkannya syariat Islam adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta agar bisa melangsungkan kehidupannya di muka bumi.

Selanjutnya pada tahap pascabencana, mitigasi dilakukan dengan memberikan pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan jika terpaksa harus berada di pengungsian agar tidak terpisah dari keluarga. Selain itu, perlu ada trauma healing agar anak-anak tidak terguncang saat berhadapan dengan bencana. Harus dibangun kesadaran pada diri anak bahwa pasti akan ada hikmah besar di balik sebuah bencana. Tidak berhenti sampai di situ, anak-anak harus di ajak untuk tidak putus asa dan segera bangkit untuk merubah  keadaannya. Sebab, dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du ayat 11 diyatakan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu merubah keadaannya sendiri.

PSB sebagai sebuah rekayasa sosial tidak bisa dilakukan oleh orang per orang. Dibutuhkan kesadaran kolektif yang melibatkan semua elemen masyarakat agar betul-betul tercipta generasi yang tangguh terhadap bencana. PSB tidak akan bisa optimal dilakukan sekolah jika tidak di dukung oleh masyarakat dan juga keluarga. Upaya ini mendesak untuk segera dilakukan, mengingat bencana nampaknya masih akan singgah di Tanah Air Tercinta.

 

*) Dr. Dyah Nawangsari , M.Ag., Kaprodi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana IAIN Jember .

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Fenomena ragam bencana alam, seperti banjir bandang, gempa bumi hingga erupsi masih terjadi di Indonesia. Awal Januari 2021, misalnya erupsi (keluarnya magma ke permukaan bumi) yang terjadi pada gunung Merapi (perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah), gunung Semeru (kawasan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang Jawa Timur), dan gunung Sinabung (wilayah Kabupaten Karo, Sumetara Utara) membuat kita harus “menyalakan api” waspada terhadap bencana vulkanik itu.  Tiga  erupsi  ini menjadi bagian dari 127 gunung api aktif di wilayah Indonesia dan tercatat terbanyak di dunia.

Berbagai peristiwa alam yang terjadi di wilayah Nusantara ini menjadikan Indonesia sebagai kawasan dengan tingkat resiko tinggi terhadap bencana. Hal ini disebabkan letaknya di persimpangan tiga lempeng teknotik, yakni Lempeng Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Selain itu, kita berada di “area” cincin pasifik dunia dengan 127 gunung api aktif dan terbanyak di dunia. Faktor alam ini mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-33 dunia dalam World Risk Index tahun 2017.

Faktor geografis ditambah kerusakan lingkungan akibat kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, menjadikan Indonesia hampir tidak pernah luput dari  bencana setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 1.944 bencana sepanjang tahun 2020. Dari angka tersebut yang paling banyak adalah bencana banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrim. Di tahun 2020 ini juga terdapat bencana non alam, yakni wabah pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Fenomena bencana ini nampaknya masih akan berlanjut di tahun 2021.

Mitigasi Bencana dan PSB

Menyikapi berbagai fenomena ini, yang harus dilakukan adalah “bersahabat dengan bencana”. Peristiwa-peristiwa bencana alam bukan untuk ditakuti, diratapi, ataupun disesali, melainkan harus diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya harus disiapkan fisik, mental, dan psikologis masyarakat sejak dini.

Sudah waktunya ada perubahan paradigma dalam menghadapi bencana, dari paradigma mengatasi bencana menjadi mencegah terjadinya bencana. Jika kejadian bencana memang tidak bisa dicegah, maka yang diperlukan adalah mitigasi bencana, upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Untuk itu diperlukan Pendidikan Siaga Bencana (PSB).

PSB merupakan sarana untuk mendidik masyarakat agar siap, tanggap dan cekatan saat bencana datang. Mengaca pada Jepang sebagai negara dengan resiko tinggi terhadap bencana, PSB ini sudah menjadi bagian dari kurikulum mulai pendidikan dasar sampai menengah. Anak-anak di Jepang sudah diajarkan cara bersikap ketika terjadi bencana. Setiap tahun mereka diberi simulasi evakuasi dari bencana. Langkah ini sangat efektif dalam rangka meminimalisir jumlah korban pada saat bencana terjadi.

Sesungguhnya sejak tahun 2010 pemerintah sudah berkomitmen untuk melaksanakan Sekolah Aman Bencana (Safe School). Komitmen ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 tentang penerapan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Terdapat tiga hal yang menjadi pilar SPAB yakni; fasilitas pembelajaran yang aman bencana di sekolah, managemen bencana di sekolah dan pencegahan dan pengurangan resiko bencana (mitigasi) di sekolah.

Mitigasi bencana di sekolah dilakukan melalui tiga tahap yakni: tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana. Semua tahapan ini harus terintegrasi dalam kurikulum pendidikan di setiap satuan pendidikan, karena sampai saat ini belum ada kurikulum khusus siaga bencana. Selain integrasi juga harus ada interkoneksi pada semua mata pelajaran agar terbentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan tanggap bencana.

 

Integrasi Mitigasi dalam Kurikulum PAI

Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pun harus mengupayakan terwujudnya integrasi dan interkoneksi pada setiap tahapan mitigasi tersebut. Pada tahap  prabencana  harus ditanamkan kesadaran anak terhadap potensi bencana di daerahnya masing-masing dengan segala resikonya. Pada materi Aqidah Akhlaq perlu  ditanamkan bahwa bencana  alam adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berfikir (QS. Ali Imran: 190). Oleh karenanya pengetahuan tentang bencana dengan segala resikonya sangat penting untuk digali.

Selanjutnya perlu dikampanyekan kebiasaan-kebiasaan positif untuk mencegah terjadinya bencana misalnya dengan membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menggalakkan penghijauan, menjaga kebersihan diri, dan selalu menerapkan protokol kesehatan. Pesan-pesan singkat tentang Siaga Bencana perlu disebarluaskan pada anak-anak dengan memanfaatkan berbagai media yang ada. Perilaku ini sebagai aktualisasi akhlak kepada sesama dan juga kepada lingkungan.

Pada tahap kedua yaitu saat terjadi bencana, peserta didik diajak untuk menelaah  dan memahami bahwa bencana bukan adzab Tuhan. Interkoneksi dengan mata pelajaran (mapel) lain sangat diperlukan untuk menjelaskan bahwa kejadian bencana adalah peristiwa alamiah dan bukan akibat dosa manusia. Misalnya dalam menyikapi bencana gempa bumi dan gunung meletus, harus difahami sebagai peristiwa alam akibat kondisi geografis Indonesia yang berada di posisi Ring of Fire sehingga rawan terjadi erupsi. Interkoneksi dengan Mapel Geografi sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Pada tahap ini perlu dilakukan simulasi cara melindungi diri  dan  merespons bencana secara tepat dan cepat. Penting juga dilatih ketrampilan-ketrampilan teknis untuk menghindari resiko bencana lebih besar. Tentu saja guru PAI tidak mungkin bisa melakukan ini sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan tenaga-tenaga yang profesional di bidangnya. Misalnya guna mencegah resiko lebih besar bencana pandemi Covid-19, harus digalakkan penerapan protokol kesehatan yang benar dengan melibatkan Tim Tenaga Kesehatan yang profesional. Pelatihan ini sangat penting diajarkan sebab mengutip pendapat Abu Ishaq As Syatibi tujuan di turunkannya syariat Islam adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta agar bisa melangsungkan kehidupannya di muka bumi.

Selanjutnya pada tahap pascabencana, mitigasi dilakukan dengan memberikan pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan jika terpaksa harus berada di pengungsian agar tidak terpisah dari keluarga. Selain itu, perlu ada trauma healing agar anak-anak tidak terguncang saat berhadapan dengan bencana. Harus dibangun kesadaran pada diri anak bahwa pasti akan ada hikmah besar di balik sebuah bencana. Tidak berhenti sampai di situ, anak-anak harus di ajak untuk tidak putus asa dan segera bangkit untuk merubah  keadaannya. Sebab, dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du ayat 11 diyatakan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu merubah keadaannya sendiri.

PSB sebagai sebuah rekayasa sosial tidak bisa dilakukan oleh orang per orang. Dibutuhkan kesadaran kolektif yang melibatkan semua elemen masyarakat agar betul-betul tercipta generasi yang tangguh terhadap bencana. PSB tidak akan bisa optimal dilakukan sekolah jika tidak di dukung oleh masyarakat dan juga keluarga. Upaya ini mendesak untuk segera dilakukan, mengingat bencana nampaknya masih akan singgah di Tanah Air Tercinta.

 

*) Dr. Dyah Nawangsari , M.Ag., Kaprodi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana IAIN Jember .

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Fenomena ragam bencana alam, seperti banjir bandang, gempa bumi hingga erupsi masih terjadi di Indonesia. Awal Januari 2021, misalnya erupsi (keluarnya magma ke permukaan bumi) yang terjadi pada gunung Merapi (perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah), gunung Semeru (kawasan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang Jawa Timur), dan gunung Sinabung (wilayah Kabupaten Karo, Sumetara Utara) membuat kita harus “menyalakan api” waspada terhadap bencana vulkanik itu.  Tiga  erupsi  ini menjadi bagian dari 127 gunung api aktif di wilayah Indonesia dan tercatat terbanyak di dunia.

Berbagai peristiwa alam yang terjadi di wilayah Nusantara ini menjadikan Indonesia sebagai kawasan dengan tingkat resiko tinggi terhadap bencana. Hal ini disebabkan letaknya di persimpangan tiga lempeng teknotik, yakni Lempeng Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia. Selain itu, kita berada di “area” cincin pasifik dunia dengan 127 gunung api aktif dan terbanyak di dunia. Faktor alam ini mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-33 dunia dalam World Risk Index tahun 2017.

Faktor geografis ditambah kerusakan lingkungan akibat kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, menjadikan Indonesia hampir tidak pernah luput dari  bencana setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 1.944 bencana sepanjang tahun 2020. Dari angka tersebut yang paling banyak adalah bencana banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrim. Di tahun 2020 ini juga terdapat bencana non alam, yakni wabah pandemi Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Fenomena bencana ini nampaknya masih akan berlanjut di tahun 2021.

Mitigasi Bencana dan PSB

Menyikapi berbagai fenomena ini, yang harus dilakukan adalah “bersahabat dengan bencana”. Peristiwa-peristiwa bencana alam bukan untuk ditakuti, diratapi, ataupun disesali, melainkan harus diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya harus disiapkan fisik, mental, dan psikologis masyarakat sejak dini.

Sudah waktunya ada perubahan paradigma dalam menghadapi bencana, dari paradigma mengatasi bencana menjadi mencegah terjadinya bencana. Jika kejadian bencana memang tidak bisa dicegah, maka yang diperlukan adalah mitigasi bencana, upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Untuk itu diperlukan Pendidikan Siaga Bencana (PSB).

PSB merupakan sarana untuk mendidik masyarakat agar siap, tanggap dan cekatan saat bencana datang. Mengaca pada Jepang sebagai negara dengan resiko tinggi terhadap bencana, PSB ini sudah menjadi bagian dari kurikulum mulai pendidikan dasar sampai menengah. Anak-anak di Jepang sudah diajarkan cara bersikap ketika terjadi bencana. Setiap tahun mereka diberi simulasi evakuasi dari bencana. Langkah ini sangat efektif dalam rangka meminimalisir jumlah korban pada saat bencana terjadi.

Sesungguhnya sejak tahun 2010 pemerintah sudah berkomitmen untuk melaksanakan Sekolah Aman Bencana (Safe School). Komitmen ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 tentang penerapan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Terdapat tiga hal yang menjadi pilar SPAB yakni; fasilitas pembelajaran yang aman bencana di sekolah, managemen bencana di sekolah dan pencegahan dan pengurangan resiko bencana (mitigasi) di sekolah.

Mitigasi bencana di sekolah dilakukan melalui tiga tahap yakni: tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana. Semua tahapan ini harus terintegrasi dalam kurikulum pendidikan di setiap satuan pendidikan, karena sampai saat ini belum ada kurikulum khusus siaga bencana. Selain integrasi juga harus ada interkoneksi pada semua mata pelajaran agar terbentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan tanggap bencana.

 

Integrasi Mitigasi dalam Kurikulum PAI

Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) pun harus mengupayakan terwujudnya integrasi dan interkoneksi pada setiap tahapan mitigasi tersebut. Pada tahap  prabencana  harus ditanamkan kesadaran anak terhadap potensi bencana di daerahnya masing-masing dengan segala resikonya. Pada materi Aqidah Akhlaq perlu  ditanamkan bahwa bencana  alam adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berfikir (QS. Ali Imran: 190). Oleh karenanya pengetahuan tentang bencana dengan segala resikonya sangat penting untuk digali.

Selanjutnya perlu dikampanyekan kebiasaan-kebiasaan positif untuk mencegah terjadinya bencana misalnya dengan membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menggalakkan penghijauan, menjaga kebersihan diri, dan selalu menerapkan protokol kesehatan. Pesan-pesan singkat tentang Siaga Bencana perlu disebarluaskan pada anak-anak dengan memanfaatkan berbagai media yang ada. Perilaku ini sebagai aktualisasi akhlak kepada sesama dan juga kepada lingkungan.

Pada tahap kedua yaitu saat terjadi bencana, peserta didik diajak untuk menelaah  dan memahami bahwa bencana bukan adzab Tuhan. Interkoneksi dengan mata pelajaran (mapel) lain sangat diperlukan untuk menjelaskan bahwa kejadian bencana adalah peristiwa alamiah dan bukan akibat dosa manusia. Misalnya dalam menyikapi bencana gempa bumi dan gunung meletus, harus difahami sebagai peristiwa alam akibat kondisi geografis Indonesia yang berada di posisi Ring of Fire sehingga rawan terjadi erupsi. Interkoneksi dengan Mapel Geografi sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Pada tahap ini perlu dilakukan simulasi cara melindungi diri  dan  merespons bencana secara tepat dan cepat. Penting juga dilatih ketrampilan-ketrampilan teknis untuk menghindari resiko bencana lebih besar. Tentu saja guru PAI tidak mungkin bisa melakukan ini sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan tenaga-tenaga yang profesional di bidangnya. Misalnya guna mencegah resiko lebih besar bencana pandemi Covid-19, harus digalakkan penerapan protokol kesehatan yang benar dengan melibatkan Tim Tenaga Kesehatan yang profesional. Pelatihan ini sangat penting diajarkan sebab mengutip pendapat Abu Ishaq As Syatibi tujuan di turunkannya syariat Islam adalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta agar bisa melangsungkan kehidupannya di muka bumi.

Selanjutnya pada tahap pascabencana, mitigasi dilakukan dengan memberikan pengarahan tentang hal-hal yang harus dilakukan jika terpaksa harus berada di pengungsian agar tidak terpisah dari keluarga. Selain itu, perlu ada trauma healing agar anak-anak tidak terguncang saat berhadapan dengan bencana. Harus dibangun kesadaran pada diri anak bahwa pasti akan ada hikmah besar di balik sebuah bencana. Tidak berhenti sampai di situ, anak-anak harus di ajak untuk tidak putus asa dan segera bangkit untuk merubah  keadaannya. Sebab, dalam Al Qur’an surah Ar Ra’du ayat 11 diyatakan bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu merubah keadaannya sendiri.

PSB sebagai sebuah rekayasa sosial tidak bisa dilakukan oleh orang per orang. Dibutuhkan kesadaran kolektif yang melibatkan semua elemen masyarakat agar betul-betul tercipta generasi yang tangguh terhadap bencana. PSB tidak akan bisa optimal dilakukan sekolah jika tidak di dukung oleh masyarakat dan juga keluarga. Upaya ini mendesak untuk segera dilakukan, mengingat bencana nampaknya masih akan singgah di Tanah Air Tercinta.

 

*) Dr. Dyah Nawangsari , M.Ag., Kaprodi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana IAIN Jember .

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca