30.4 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Kuasa Fatwa Kiai Medsos dan Gagal Fokus Fikih Kaum Milenial

Mobile_AP_Rectangle 1

Merebaknya sejumlah fatwa di media sosial telah melahirkan fenomena fatwa baru dalam dunia fikih. Saat ini, para ustadz dan organisasi sedang berlomba membuat chanel dan Situs dengan tawaran beragam gaya dan model fatwa. Mulai dari model dialogis, tanya jawab, chatting on line, bahkan ada yang membiarkan portalnya diakses tanpa komunikasi timbal balik. Merekapun hadir dengan ragam latar belakang, mulai dari kalangan Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang memang memiliki kapasitas ifta sampai kalangan ustad yang memaksakan diri dengan hanya bermodalkan popularitas. Hal ini tentu bukan hanya berdampak pada eksistensi otoritas fatwa offline, tetapi juga berdampak pada pola keberagaman kaum milenial. Tentu kita harus meng-arifi secara bijak gejala impersonalisasi otoritas fatwa ini.

Mengapa tidak, karena fenomena kebebasan berfatwa telah melahirkan problem, diantaranya; pertama, adanya pengkaburan pemaknaan otoritas fatwa sebagai akibat dari penentukan otoritas fatwa secara mandiri oleh masing masing ustad atau lembaga. Kedua, semakin banyaknya sumber-sumber otoritas keagamaan baru diluar sumber otoritas tradisional ditambah dengan maraknya fatwa shopping. Ketiga, semakin mudahnya kaum milenial mengakses fatwa /informasi Islam. Keempat, kosongnya peran wasit yang bisa mendialogkan situs-situs dan mufti/kiai baru. Efek lanjut dari tidak adanya kontrol ini adalah “gagalnya fokus fikih” kalangan milenial yang tentu akan berdampak pada proses pematangan keagamaan mereka.

Fatwa dan Mufti Model Baru di Medsos
Pada prinsipnya fatwa merupakan pandangan personal atau sekelompok ulama tentang kasus hukum yang diajukan oleh seseorang. Konsekwensinya, posisi fatwa hampir sama dengan posisi konsultasi fikih yang relatif dan tidak wajib di ikuti. Walaupun demikian, fatwa masih bisa dijadikan rujukan keberagamaan apabila mekanisme iftanya telah memenuhi persyaratan, yaitu; Pertama, fatwa tersebut muncul dari orang yang memenuhi kualifikasi ifta yaitu memiliki pengetahuan al-Quran, Hadis serta perangkat ilmu pendukungnya, pengetahuan tentang ushul fiqhi dan qawaid fiqhiyah, termasuk juga pengetahuan tentang sosial kemasyarakatan.
Secara tradisional, otoritas fatwa memang ada di tangan ulama atau kiai/ ustad. Namun, pada tingkat global, tidak ada pemilik otoritas tunggal untuk seorang mufti di dunia Islam. Di Indonesia, otoritas fatwa telah banyak diambilalih oleh lembaga-lembaga keagamaan atau ormas Islam. Pemilik otoritas fatwa bisa jadi seorang ulama secara pribadi dan bisa juga dari sejumlah ulama yang berserikat dalam organisasi atau lembaga. Saat ini, organisasi keagamaan telah menyediakan lembaga fatwanya yang tidak saling mengikat satu sama lain. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan yang cukup jauh menyangkut kualifikasi seorang mufti.
Lalu, apakah para mufti di media sosial (medsos) sudah masuk katagori ototitatif? Dengan segala hormat dan sikap khusnudhon, kita yakin bahwa penetapan kualifikasi mufti medsos di situs-situs ormas dan pesantren besar akan mempertimbangkan kualifikasi mufti maisntreeam. Akan tetapi, untuk kalangan mufti personal akan memungkinkan terjadinya pelanggaran syarat dan prosedur ijtihad akibat dari tidak terpenuhinya standar kualifikasi dan tidak adanya kontrol yang memadahi. Pada level ini, kuasa dan kepentingan diluar kepentingan syara sangat berpeluang terjadi.
Kedua, menyangkut mekanisme dan prosedur ifta literatur tradisional menetapkan agar sang mufti memahami akar masalahnya, menetapkan illatnya dengan berbasis pada realitas kasus secara benar, pencarian landasan secara benar, penerapan metodologi ijtihad yang relevan. Dalam tataran deskriptifnya, mekanisme dan prosedur ifta di medsos tidak dideskripsikan secara utuh. Fatwa hanya dinarasikan dengan deskripsi tentang status hukum kasus yang dipertanyakan dan kalaupun ada hanya dilengkapi dengan deskripsi landasannya dari nash dan tidak dilengkapi dengan rujukan sumber, apalagi landasan metodologisnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Gagalnya Fokus Komunikasi Fikih Kaum milenia
Gagal fokus fikih merupakan bentuk kesalahan pemahaman kaum melinia terhadap substansi pesan komunikasi fatwa. Substansi pesan fatwa tidak lain adalah keyakinan atau keraguan terhadap fatwa dari kasus yang pertanyakan. Keyakinan atau keraguan akan muncul setelah mustafti melakukan perenungan terhadap kerja ijtihad dari sang mufti, materi fatwa dan relasinya dengan tujuan hukum penanya. Tentu keyakinan atau keraguan bisa muncul jika si penanya mempunyai kemampuan yang cukup untuk menfilter kualitas dan kecocokan fatwa. Persyaratan ini tentu masih jauh panggang dari api. Karena hampir 54% kaum milenia mendahulukan mencari jawaban di internet, dengan membuka web Islam atau lembaga-lembaga keislaman. Hanya sekitar sekitar 14% yang bertanya kepada ustad atau kiai atau dosen dan orang-orang yang dianggap dapat memberikan jawaban. Sementara 32% mencari jawaban dengan membaca buku (termasuk majalah, koran, dan leaflet).
Fenomena Literasi fatwa di medsos tentu perlu disikapi secara khusus karena otoritas keagamaan online memiliki potensi untuk mengubah aspek pemahaman dan ekspresi keagamaan kaum milenia. Fenomena ini menjadi semakin berbahaya jika fatwa yang tidak memiliki kelayakan dijadikan rujukan dan dilakukan pengutipan secara berjenjang di lingkungan akdemik, berbahaya karena melahirkan anggapan kebenaran, bahkan sebuah dogma baru yang merugikan keberagaan yang kondusif.
Pentingnya Wasit Fatwa di Medsos
Di abad budaya kebebasan berfatwa seperti sekarang ini, dibutuhkan minimal dua hal Pertama, kehadiran wasit yang mampu menyemprit sengkarut kelompok “mufti-mufti dadakan” agar fenomena gagal pahamnya komunikasi fatwa kaum milenial bisa ditekan. Tugas utamnaya adalah mengajak warganet senantiasa bergandengan tangan guna membangun kesepahaman bersama saat menjalankan proses komunikasi fatwa di medsos. Hal itu wajib dilakukan agar antar warganet kaum milenia yang terbelenggu belitan kuasa tangan gurita sosok mufti bayangan kembali pada jalan yang benar. Mengapa tidak, karena medsos telah memengaruhi peran pendidikan kaum milenial. Saat ini, mereka sedang mengalami kelabilan beragama akibat hibridasi identitas keberagamaan karena tidak adanya sandaran yang meyakinkan. Jika tidak, berarti kita mulai melakukan bunuh diri massal terhadap penerus bangsa dan agama.
Kedua, pentingnya etika dan sikap ber-ifta di medsos. Diantara yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh, toleransi satu sama lain, sambil mengurangi kecenderungan dominatif dan hegemonif di antara ragam otoritas tersebut. Lebih dari itu, mengembangkan dan membiasakan sikap intelektual yang jujur dan sinergis. Ini penting karena dalam ruang keberagamaan baru, yang mana fatwa online menjadi salah satu sandaran otoritas- segenap fatwa harus siap untuk diperiksa dengan teliti dan dipertaruhkan secara kompetitif dan terbuka.

*) Dr. Ishaq, M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).

 

- Advertisement -

Merebaknya sejumlah fatwa di media sosial telah melahirkan fenomena fatwa baru dalam dunia fikih. Saat ini, para ustadz dan organisasi sedang berlomba membuat chanel dan Situs dengan tawaran beragam gaya dan model fatwa. Mulai dari model dialogis, tanya jawab, chatting on line, bahkan ada yang membiarkan portalnya diakses tanpa komunikasi timbal balik. Merekapun hadir dengan ragam latar belakang, mulai dari kalangan Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang memang memiliki kapasitas ifta sampai kalangan ustad yang memaksakan diri dengan hanya bermodalkan popularitas. Hal ini tentu bukan hanya berdampak pada eksistensi otoritas fatwa offline, tetapi juga berdampak pada pola keberagaman kaum milenial. Tentu kita harus meng-arifi secara bijak gejala impersonalisasi otoritas fatwa ini.

Mengapa tidak, karena fenomena kebebasan berfatwa telah melahirkan problem, diantaranya; pertama, adanya pengkaburan pemaknaan otoritas fatwa sebagai akibat dari penentukan otoritas fatwa secara mandiri oleh masing masing ustad atau lembaga. Kedua, semakin banyaknya sumber-sumber otoritas keagamaan baru diluar sumber otoritas tradisional ditambah dengan maraknya fatwa shopping. Ketiga, semakin mudahnya kaum milenial mengakses fatwa /informasi Islam. Keempat, kosongnya peran wasit yang bisa mendialogkan situs-situs dan mufti/kiai baru. Efek lanjut dari tidak adanya kontrol ini adalah “gagalnya fokus fikih” kalangan milenial yang tentu akan berdampak pada proses pematangan keagamaan mereka.

Fatwa dan Mufti Model Baru di Medsos
Pada prinsipnya fatwa merupakan pandangan personal atau sekelompok ulama tentang kasus hukum yang diajukan oleh seseorang. Konsekwensinya, posisi fatwa hampir sama dengan posisi konsultasi fikih yang relatif dan tidak wajib di ikuti. Walaupun demikian, fatwa masih bisa dijadikan rujukan keberagamaan apabila mekanisme iftanya telah memenuhi persyaratan, yaitu; Pertama, fatwa tersebut muncul dari orang yang memenuhi kualifikasi ifta yaitu memiliki pengetahuan al-Quran, Hadis serta perangkat ilmu pendukungnya, pengetahuan tentang ushul fiqhi dan qawaid fiqhiyah, termasuk juga pengetahuan tentang sosial kemasyarakatan.
Secara tradisional, otoritas fatwa memang ada di tangan ulama atau kiai/ ustad. Namun, pada tingkat global, tidak ada pemilik otoritas tunggal untuk seorang mufti di dunia Islam. Di Indonesia, otoritas fatwa telah banyak diambilalih oleh lembaga-lembaga keagamaan atau ormas Islam. Pemilik otoritas fatwa bisa jadi seorang ulama secara pribadi dan bisa juga dari sejumlah ulama yang berserikat dalam organisasi atau lembaga. Saat ini, organisasi keagamaan telah menyediakan lembaga fatwanya yang tidak saling mengikat satu sama lain. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan yang cukup jauh menyangkut kualifikasi seorang mufti.
Lalu, apakah para mufti di media sosial (medsos) sudah masuk katagori ototitatif? Dengan segala hormat dan sikap khusnudhon, kita yakin bahwa penetapan kualifikasi mufti medsos di situs-situs ormas dan pesantren besar akan mempertimbangkan kualifikasi mufti maisntreeam. Akan tetapi, untuk kalangan mufti personal akan memungkinkan terjadinya pelanggaran syarat dan prosedur ijtihad akibat dari tidak terpenuhinya standar kualifikasi dan tidak adanya kontrol yang memadahi. Pada level ini, kuasa dan kepentingan diluar kepentingan syara sangat berpeluang terjadi.
Kedua, menyangkut mekanisme dan prosedur ifta literatur tradisional menetapkan agar sang mufti memahami akar masalahnya, menetapkan illatnya dengan berbasis pada realitas kasus secara benar, pencarian landasan secara benar, penerapan metodologi ijtihad yang relevan. Dalam tataran deskriptifnya, mekanisme dan prosedur ifta di medsos tidak dideskripsikan secara utuh. Fatwa hanya dinarasikan dengan deskripsi tentang status hukum kasus yang dipertanyakan dan kalaupun ada hanya dilengkapi dengan deskripsi landasannya dari nash dan tidak dilengkapi dengan rujukan sumber, apalagi landasan metodologisnya.

Gagalnya Fokus Komunikasi Fikih Kaum milenia
Gagal fokus fikih merupakan bentuk kesalahan pemahaman kaum melinia terhadap substansi pesan komunikasi fatwa. Substansi pesan fatwa tidak lain adalah keyakinan atau keraguan terhadap fatwa dari kasus yang pertanyakan. Keyakinan atau keraguan akan muncul setelah mustafti melakukan perenungan terhadap kerja ijtihad dari sang mufti, materi fatwa dan relasinya dengan tujuan hukum penanya. Tentu keyakinan atau keraguan bisa muncul jika si penanya mempunyai kemampuan yang cukup untuk menfilter kualitas dan kecocokan fatwa. Persyaratan ini tentu masih jauh panggang dari api. Karena hampir 54% kaum milenia mendahulukan mencari jawaban di internet, dengan membuka web Islam atau lembaga-lembaga keislaman. Hanya sekitar sekitar 14% yang bertanya kepada ustad atau kiai atau dosen dan orang-orang yang dianggap dapat memberikan jawaban. Sementara 32% mencari jawaban dengan membaca buku (termasuk majalah, koran, dan leaflet).
Fenomena Literasi fatwa di medsos tentu perlu disikapi secara khusus karena otoritas keagamaan online memiliki potensi untuk mengubah aspek pemahaman dan ekspresi keagamaan kaum milenia. Fenomena ini menjadi semakin berbahaya jika fatwa yang tidak memiliki kelayakan dijadikan rujukan dan dilakukan pengutipan secara berjenjang di lingkungan akdemik, berbahaya karena melahirkan anggapan kebenaran, bahkan sebuah dogma baru yang merugikan keberagaan yang kondusif.
Pentingnya Wasit Fatwa di Medsos
Di abad budaya kebebasan berfatwa seperti sekarang ini, dibutuhkan minimal dua hal Pertama, kehadiran wasit yang mampu menyemprit sengkarut kelompok “mufti-mufti dadakan” agar fenomena gagal pahamnya komunikasi fatwa kaum milenial bisa ditekan. Tugas utamnaya adalah mengajak warganet senantiasa bergandengan tangan guna membangun kesepahaman bersama saat menjalankan proses komunikasi fatwa di medsos. Hal itu wajib dilakukan agar antar warganet kaum milenia yang terbelenggu belitan kuasa tangan gurita sosok mufti bayangan kembali pada jalan yang benar. Mengapa tidak, karena medsos telah memengaruhi peran pendidikan kaum milenial. Saat ini, mereka sedang mengalami kelabilan beragama akibat hibridasi identitas keberagamaan karena tidak adanya sandaran yang meyakinkan. Jika tidak, berarti kita mulai melakukan bunuh diri massal terhadap penerus bangsa dan agama.
Kedua, pentingnya etika dan sikap ber-ifta di medsos. Diantara yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh, toleransi satu sama lain, sambil mengurangi kecenderungan dominatif dan hegemonif di antara ragam otoritas tersebut. Lebih dari itu, mengembangkan dan membiasakan sikap intelektual yang jujur dan sinergis. Ini penting karena dalam ruang keberagamaan baru, yang mana fatwa online menjadi salah satu sandaran otoritas- segenap fatwa harus siap untuk diperiksa dengan teliti dan dipertaruhkan secara kompetitif dan terbuka.

*) Dr. Ishaq, M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).

 

Merebaknya sejumlah fatwa di media sosial telah melahirkan fenomena fatwa baru dalam dunia fikih. Saat ini, para ustadz dan organisasi sedang berlomba membuat chanel dan Situs dengan tawaran beragam gaya dan model fatwa. Mulai dari model dialogis, tanya jawab, chatting on line, bahkan ada yang membiarkan portalnya diakses tanpa komunikasi timbal balik. Merekapun hadir dengan ragam latar belakang, mulai dari kalangan Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang memang memiliki kapasitas ifta sampai kalangan ustad yang memaksakan diri dengan hanya bermodalkan popularitas. Hal ini tentu bukan hanya berdampak pada eksistensi otoritas fatwa offline, tetapi juga berdampak pada pola keberagaman kaum milenial. Tentu kita harus meng-arifi secara bijak gejala impersonalisasi otoritas fatwa ini.

Mengapa tidak, karena fenomena kebebasan berfatwa telah melahirkan problem, diantaranya; pertama, adanya pengkaburan pemaknaan otoritas fatwa sebagai akibat dari penentukan otoritas fatwa secara mandiri oleh masing masing ustad atau lembaga. Kedua, semakin banyaknya sumber-sumber otoritas keagamaan baru diluar sumber otoritas tradisional ditambah dengan maraknya fatwa shopping. Ketiga, semakin mudahnya kaum milenial mengakses fatwa /informasi Islam. Keempat, kosongnya peran wasit yang bisa mendialogkan situs-situs dan mufti/kiai baru. Efek lanjut dari tidak adanya kontrol ini adalah “gagalnya fokus fikih” kalangan milenial yang tentu akan berdampak pada proses pematangan keagamaan mereka.

Fatwa dan Mufti Model Baru di Medsos
Pada prinsipnya fatwa merupakan pandangan personal atau sekelompok ulama tentang kasus hukum yang diajukan oleh seseorang. Konsekwensinya, posisi fatwa hampir sama dengan posisi konsultasi fikih yang relatif dan tidak wajib di ikuti. Walaupun demikian, fatwa masih bisa dijadikan rujukan keberagamaan apabila mekanisme iftanya telah memenuhi persyaratan, yaitu; Pertama, fatwa tersebut muncul dari orang yang memenuhi kualifikasi ifta yaitu memiliki pengetahuan al-Quran, Hadis serta perangkat ilmu pendukungnya, pengetahuan tentang ushul fiqhi dan qawaid fiqhiyah, termasuk juga pengetahuan tentang sosial kemasyarakatan.
Secara tradisional, otoritas fatwa memang ada di tangan ulama atau kiai/ ustad. Namun, pada tingkat global, tidak ada pemilik otoritas tunggal untuk seorang mufti di dunia Islam. Di Indonesia, otoritas fatwa telah banyak diambilalih oleh lembaga-lembaga keagamaan atau ormas Islam. Pemilik otoritas fatwa bisa jadi seorang ulama secara pribadi dan bisa juga dari sejumlah ulama yang berserikat dalam organisasi atau lembaga. Saat ini, organisasi keagamaan telah menyediakan lembaga fatwanya yang tidak saling mengikat satu sama lain. Bahkan tidak jarang terjadi perbedaan yang cukup jauh menyangkut kualifikasi seorang mufti.
Lalu, apakah para mufti di media sosial (medsos) sudah masuk katagori ototitatif? Dengan segala hormat dan sikap khusnudhon, kita yakin bahwa penetapan kualifikasi mufti medsos di situs-situs ormas dan pesantren besar akan mempertimbangkan kualifikasi mufti maisntreeam. Akan tetapi, untuk kalangan mufti personal akan memungkinkan terjadinya pelanggaran syarat dan prosedur ijtihad akibat dari tidak terpenuhinya standar kualifikasi dan tidak adanya kontrol yang memadahi. Pada level ini, kuasa dan kepentingan diluar kepentingan syara sangat berpeluang terjadi.
Kedua, menyangkut mekanisme dan prosedur ifta literatur tradisional menetapkan agar sang mufti memahami akar masalahnya, menetapkan illatnya dengan berbasis pada realitas kasus secara benar, pencarian landasan secara benar, penerapan metodologi ijtihad yang relevan. Dalam tataran deskriptifnya, mekanisme dan prosedur ifta di medsos tidak dideskripsikan secara utuh. Fatwa hanya dinarasikan dengan deskripsi tentang status hukum kasus yang dipertanyakan dan kalaupun ada hanya dilengkapi dengan deskripsi landasannya dari nash dan tidak dilengkapi dengan rujukan sumber, apalagi landasan metodologisnya.

Gagalnya Fokus Komunikasi Fikih Kaum milenia
Gagal fokus fikih merupakan bentuk kesalahan pemahaman kaum melinia terhadap substansi pesan komunikasi fatwa. Substansi pesan fatwa tidak lain adalah keyakinan atau keraguan terhadap fatwa dari kasus yang pertanyakan. Keyakinan atau keraguan akan muncul setelah mustafti melakukan perenungan terhadap kerja ijtihad dari sang mufti, materi fatwa dan relasinya dengan tujuan hukum penanya. Tentu keyakinan atau keraguan bisa muncul jika si penanya mempunyai kemampuan yang cukup untuk menfilter kualitas dan kecocokan fatwa. Persyaratan ini tentu masih jauh panggang dari api. Karena hampir 54% kaum milenia mendahulukan mencari jawaban di internet, dengan membuka web Islam atau lembaga-lembaga keislaman. Hanya sekitar sekitar 14% yang bertanya kepada ustad atau kiai atau dosen dan orang-orang yang dianggap dapat memberikan jawaban. Sementara 32% mencari jawaban dengan membaca buku (termasuk majalah, koran, dan leaflet).
Fenomena Literasi fatwa di medsos tentu perlu disikapi secara khusus karena otoritas keagamaan online memiliki potensi untuk mengubah aspek pemahaman dan ekspresi keagamaan kaum milenia. Fenomena ini menjadi semakin berbahaya jika fatwa yang tidak memiliki kelayakan dijadikan rujukan dan dilakukan pengutipan secara berjenjang di lingkungan akdemik, berbahaya karena melahirkan anggapan kebenaran, bahkan sebuah dogma baru yang merugikan keberagaan yang kondusif.
Pentingnya Wasit Fatwa di Medsos
Di abad budaya kebebasan berfatwa seperti sekarang ini, dibutuhkan minimal dua hal Pertama, kehadiran wasit yang mampu menyemprit sengkarut kelompok “mufti-mufti dadakan” agar fenomena gagal pahamnya komunikasi fatwa kaum milenial bisa ditekan. Tugas utamnaya adalah mengajak warganet senantiasa bergandengan tangan guna membangun kesepahaman bersama saat menjalankan proses komunikasi fatwa di medsos. Hal itu wajib dilakukan agar antar warganet kaum milenia yang terbelenggu belitan kuasa tangan gurita sosok mufti bayangan kembali pada jalan yang benar. Mengapa tidak, karena medsos telah memengaruhi peran pendidikan kaum milenial. Saat ini, mereka sedang mengalami kelabilan beragama akibat hibridasi identitas keberagamaan karena tidak adanya sandaran yang meyakinkan. Jika tidak, berarti kita mulai melakukan bunuh diri massal terhadap penerus bangsa dan agama.
Kedua, pentingnya etika dan sikap ber-ifta di medsos. Diantara yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh, toleransi satu sama lain, sambil mengurangi kecenderungan dominatif dan hegemonif di antara ragam otoritas tersebut. Lebih dari itu, mengembangkan dan membiasakan sikap intelektual yang jujur dan sinergis. Ini penting karena dalam ruang keberagamaan baru, yang mana fatwa online menjadi salah satu sandaran otoritas- segenap fatwa harus siap untuk diperiksa dengan teliti dan dipertaruhkan secara kompetitif dan terbuka.

*) Dr. Ishaq, M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca