Beberapa waktu lalu saya menyampaikan hasil riset di sebuah forum ilmiah. Pada sesi dialog, ada seorang kepala “sekolah Islam ternama” mengkritik hasil riset saya. Menurutnya, pilihan lokus riset saya tidak tepat lantaran usia sekolah yang dipilih beragam: 42 tahun, 20 tahun dan 10 tahun. “Sekolah yang usianya masih muda tidak mungkin mengalahkan sekolah yang lebih tua,” ungkapnya dengan sangat yakin.
Nalar semacam ini masih dipegang kuat oleh sebagian kepala sekolah pendidikan. Seolah-olah mutu dan daya saing sekolah sama dengan usia seseorang. Dia yang lahir 1990-an tentu tidak mungkin mengalahkan usia yang lahir 1980-an.
Kalau mengikuti nalar ini, maka semua sekolah yang lebih tua pasti lebih bermutu dan berdaya saing dibanding sekolah lebih muda. Akan tetapi, faktanya tidak demikian. Sangat banyak sekolah tua yang tidak bermutu rendah. Bahkan tidak sedikit yang tutup. Sebaliknya, juga banyak sekolah muda yang bermutu dan oleh publik dipersepsikan sekolah favorit. Jadi, mutu dan daya saing sekolah praktis tidak berkaitan dengan usianya, melainkan pada manajemenya.
Benchmarking
Daya saing pada tingkat sekolah dapat diasumsikan relatif sama dengan perusahaan atau negara, tentu dengan sejumlah adaptasi dan modifikasi. Daya saing sekolah adalah kemampuan sekolah untuk melakukan aktivitas-aktivitas pendidikan dengan cara sebaik atau bahkan lebih baik daripada sekolah-sekolah lain yang menawarkan jasa yang sama.
Bila daya saing diamsalkan sebagai lomba lari, maka seorang atlet belum dianggap berdaya saing jika semata-mata memecahkan rekor larinya hari ini. Seandainya seorang atlet dari Jember berlatih setiap hari untuk memperbaiki prestasinya dalam lari 100 meter dan dia mampu mencapai prestasi puncak 11 detik, naik secara meyakinkan dari catatan 15 detik sebelumnya, maka atlet itu belum dapat dikatakan sebagai pelari unggul. Atlet dari Jember itu baru dikenal sebagai pelari berdaya saing bila dia mampu menyaingi atlet-atlet daerah lain dalam suatu perlombaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang mungkin saja terdiri atas pelari-pelari berprestasi di bawah 11 detik.
Singkat kata, dia harus berlari lebih cepat dibandingkan dengan pelari-pelari lainnya yang turut serta dalam sebuah kompetisi. Artinya, ukuran utama dalam melihat kemampuan daya saing sekolah terletak pada bagaimana produktivitas sekolah itu dibanding sekolah-sekolah lainnya pada kerangka waktu tertentu – suatu hal yang harus dapat diperbandingkan (benchmarking).
Sekadar analogi, Singapura dipandang sebagai negara berdaya saing tinggi kendati sumber daya alam dan jumlah penduduknya tidak “banyak”. Sebaliknya, sebagian negara yang memiliki diversifikasi sumber daya alam cukup beragam dan besar seperti Brazil dan Indonesia belum dikategorikan sebagai negara berdaya saing tinggi lantaran produktivitas keduanya masih rendah. Jadi, “produktivitas” merupakan kata kunci daya saing sebuah negara.
Demikian halnya dengan daya saing sekolah. Fasilitas sekolah yang lengkap dan canggih serta sumber daya yang banyak tidak menjamin sekolah itu berdaya saing. Perpaduan dari keduanya memang merupakan sebuah kekuatan, namun belum menjadi daya saing sekolah. Kekuatan itu baru menjadi daya saing hanya jika dapat melahirkan dan meningkatkan produktivitas sekolah yang dapat diukur melalui mutunya, terutama mutu proses dan output-nya.
Inovasi
Michael E. Porter, pakar manajemen dari Harvard University, tegas mengatakan, “Keunggulan bersaing diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang benar-benar dilokalisasi secara ketat.” Daya saing itu bukan diwariskan, tetapi diciptakan. Makanya, daya saing sekolah tergantung pada kapasitas dalam berinovasi.
Setuju dengan Porter, inovasi tidak harus berupa gagasan yang sama sekali baru. Ia mungkin berupa gagasan yang sudah ada sebelumnya, namun kurang mendapat perhatian yang serius. Justru banyak inovasi yang kelihatannya biasa-biasa saja dan bersifat penambahan-penambahan dari yang sebelumnya. Ia lebih berupa akumulasi wawasan-wawasan dan kemajuan-kemajuan kecil (small insights and advances) daripada terobosan teknologi canggih.
Cukup banyak inovasi yang melahirkan keunggulan bersaing dengan cara menyadari adanya peluang pasar yang benar-benar baru atau dengan melayani segmen pasar yang diabaikan oleh pihak lain. Pada saat pesaing merespons dengan lambat, sebuah inovasi akan menghasilkan keunggulan bersaing.
Sekolah dikatakan memiliki keunggulan bersaing jika ia berinovasi sehingga memiliki kelebihan dibanding pesaing-pesaingnya untuk menarik para pengguna jasa pendidikan dan dapat mempertahankan diri dengan sebaik-baiknya dari tekanan-tekanan persaingan pasar atau bahkan memengaruhi tekanan-tekanan tersebut secara positif.
Pada titik ini, kepala sekolah dituntut untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone). Dia tidak mengulang-ulang program masa lalu. Dia melihat jauh ke depan. Dia membaca, mengeksploitasi dan mengendalikan masa depan bukan untuk dilakukan pada hari esok, melainkan dilakukan pada hari ini. Hanya kepala sekolah seperti inilah yang mampu membuat sekolahnya mencapai keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage).
* Dr Zainal Abidin adalah Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama FTIK IAIN Jember