29 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Momentum Tahun Baru 2022 Mengembangkan Mutu Lembaga Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Khotibul Umam, M.A.

Mobile_AP_Rectangle 1

Memasuki abad XXI atau millenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan (khususnya pendidikan Islam) ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya lembaga pendidikan Islam yang bermutu dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. 

Hal tersebut di atas dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan Islam merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan Islam dalam menyiapkan masa depan umat manusia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Sejalan dengan permasalahan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas yaitu menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan ajaran Islam yang luas, menyeluruh dan holistik serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat usia anak didik dan perkembangan zaman.

Sejumlah pemerhati dan praktisi mencoba menawarkan berbagai konsep untuk mengatasi kelemahan-kelemahan lembaga pendidikan Islam. Tawaran konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam menjadi institusi yang maju dan unggul.

Mobile_AP_Rectangle 2

Manajemen menjadi kunci pemecahan karena mengandung kaidah-kaidah penataan secara rapi dan teratur walau sayangnya belum banyak dipraktikkan secara serius dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas. Manajemen profesional telah menjadi andalan dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Kaidah-kaidah manajerial telah berkali-kali diujicobakan atau dipraktikkan dalam mengendalikan lembaga pendidikan Islam. Bahkan, dilakukan juga penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan fenomena-fenomena baru yang muncul di lapangan yang sebelumnya tidak menjadi pertimbangan dalam kaidah-kaidah yang terdahulu.

 Oleh karena itu, kaidah-kaidah manajerial tersebut dirumuskan tidak hanya berdasarkan apriori (pengetahuan  sebelum mengalami semacam ide-ide murni dan gagasan-gagasan murni) melainkan juga berdasarkan aposteriori (Pengetahuan  yang diperoleh berdasarkan pengalaman yang dialami seseorang atau lembaga pendidikan). Kombinasi antara pengetahuan apriori dan aposteriori inilah yang dijadikan pijakan dalam merumuskan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam, agar suatu lembaga pendidikan Islam dapat dikendalikan melalui strategi yang komprehensif. Meskipun demikian, sebagai watak dari suatu disiplin ilmu, kita harus terus-menerus melakukan pencermatan, jika ada hal-hal yang dapat menyempurnakan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam.

Dalam kasus lembaga pendidikan (khususnya madrasah), berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultural masyarakat, kebijakan politik negara terutama yang menyangkut keuangan/ pendanaan, beban pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana-prasarana, alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang profesional, maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, penulis mengutip pendapat Abuddin Nata (2007:165-168) dijelaskan bahwa yang menjadi prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan kepada empat hal pemikiran diantaranya yaitu: 

Pertama, pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi tertentu kepada anak didik. Pendidikan Islam jangan memperlakukan anak didik sebagai konsumen dari sebuah paham atau gugusan ilmu-ilmu tertentu, melainkan harus mampu memberikan fasilitas vang memungkinkan dia menjadi produsen ilmu dan membentuk pemahaman agama dalam dirinya yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus lebih dilihat sebagai proses vang didalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan-pesan dasar yang diberikan Agama. Dengan pandangan yang demikian, maka seorang guru harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Seorang yang mendidik bukanlah guru yang memamerkan pengetahuan ketika ia berada di depan kelas, tetapi seorang guru vang mendidik adalah guru yang mampu membangkitkan kreatifitas dan imajinasi para siswa untuk menghasilkan dan menemukan kebenaran.

Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andaian-andaian model yang diidealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebih-lebihan. Hal itu, dalam segala manifestasinya, seperti kerinduan kita agar anak dapat mengulangi pengalaman dan pengetahuan yang pernah kita peroleh. Umpamanya saja, kita menuntut anak kita agar mampu mengaji Al-Quran sama fasihnya dengan kita sendiri. Atau dalam membaca al-Fatihah selancar yang kita lakukan di pesantren dahulu, padahal anak-anak kita sekarang dikirim ke sekolah umum. Jika romantisme ini kita kembangkan secara berlebih-lebihan, saya khawatir, kita akan terpaku pada mitos yang akhirnya membuat kita lebih bermimpi daripada berpikir obyektif dalam menyusun program pendidikan agama demi masa depan anak didik.

Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik di sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat parsial dan segmentatif. Hal ini penting dalam kaitannya dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial, di mana anak harus berlatih untuk menggunakan persepsi normatif terhadap realitas. Oleh karena itu anak harus selalu diajak melakukan refleksi teologis dalam rangka menanggapi setiap bentuk tantangan hidup yang dihadapinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya anak-anak tidak akan hampa iman dan tidak memiliki ketergantungan terhadap pengaruh kaum profesional agama dalam hal ini para produsen norma dan spiritual di luar dirinya secara berlebih-lebihan. Dengan cara demikian agama yang dianutnya bukan hanya sekedar menjadi pengetahuan, melainkan lebih merupakan sikap dan amalan yang manfaatnya dapat dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.

Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris  dalam proses belajai mengajar agama. Sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subtansi agama, dan 

Kelima, jika visi pendidikan agama seperti diutarakan di atas harus diterjemahkan dalam ruang lingkup atau lingkungan pendidikan, sebaiknya hal-hal yang bersifat menanamkan keharusan emosional keagamaan, berperilaku yang baik (akhlak), dan memiliki sikap terpuji (muruah), mungkin lebih tepat ditekankan dalam program pendidikan agama di lingkungan keluarga. Sebab dalam lingkungan keluarga, qalb (hati nurani) dan dzikir senantiasa mempunyai peluang untuk dipertajam agar potensi ma’rifat anak-anak kita dapat tumbuh dengan baik. Adapun di sekolah, lingkungan belajar di kelas yang terbatas itu, dapat digunakan secara efektif untuk melatih kemampuan pembacaan kritis anak didik, agar mereka berkemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normatif agama. Sehingga, anak didik memiliki sikap-sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etis dunia yang berasal dari kesadaran religius yang dalam.

 

*) Dr. Khotibul Umam, M.A., Kepala Pusat Audit Mutu dan Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, Ketua Yayasan PP. Mabdaul Ma`arif Jember.

- Advertisement -

Memasuki abad XXI atau millenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan (khususnya pendidikan Islam) ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya lembaga pendidikan Islam yang bermutu dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. 

Hal tersebut di atas dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan Islam merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan Islam dalam menyiapkan masa depan umat manusia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Sejalan dengan permasalahan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas yaitu menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan ajaran Islam yang luas, menyeluruh dan holistik serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat usia anak didik dan perkembangan zaman.

Sejumlah pemerhati dan praktisi mencoba menawarkan berbagai konsep untuk mengatasi kelemahan-kelemahan lembaga pendidikan Islam. Tawaran konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam menjadi institusi yang maju dan unggul.

Manajemen menjadi kunci pemecahan karena mengandung kaidah-kaidah penataan secara rapi dan teratur walau sayangnya belum banyak dipraktikkan secara serius dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas. Manajemen profesional telah menjadi andalan dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Kaidah-kaidah manajerial telah berkali-kali diujicobakan atau dipraktikkan dalam mengendalikan lembaga pendidikan Islam. Bahkan, dilakukan juga penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan fenomena-fenomena baru yang muncul di lapangan yang sebelumnya tidak menjadi pertimbangan dalam kaidah-kaidah yang terdahulu.

 Oleh karena itu, kaidah-kaidah manajerial tersebut dirumuskan tidak hanya berdasarkan apriori (pengetahuan  sebelum mengalami semacam ide-ide murni dan gagasan-gagasan murni) melainkan juga berdasarkan aposteriori (Pengetahuan  yang diperoleh berdasarkan pengalaman yang dialami seseorang atau lembaga pendidikan). Kombinasi antara pengetahuan apriori dan aposteriori inilah yang dijadikan pijakan dalam merumuskan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam, agar suatu lembaga pendidikan Islam dapat dikendalikan melalui strategi yang komprehensif. Meskipun demikian, sebagai watak dari suatu disiplin ilmu, kita harus terus-menerus melakukan pencermatan, jika ada hal-hal yang dapat menyempurnakan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam.

Dalam kasus lembaga pendidikan (khususnya madrasah), berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultural masyarakat, kebijakan politik negara terutama yang menyangkut keuangan/ pendanaan, beban pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana-prasarana, alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang profesional, maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, penulis mengutip pendapat Abuddin Nata (2007:165-168) dijelaskan bahwa yang menjadi prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan kepada empat hal pemikiran diantaranya yaitu: 

Pertama, pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi tertentu kepada anak didik. Pendidikan Islam jangan memperlakukan anak didik sebagai konsumen dari sebuah paham atau gugusan ilmu-ilmu tertentu, melainkan harus mampu memberikan fasilitas vang memungkinkan dia menjadi produsen ilmu dan membentuk pemahaman agama dalam dirinya yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus lebih dilihat sebagai proses vang didalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan-pesan dasar yang diberikan Agama. Dengan pandangan yang demikian, maka seorang guru harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Seorang yang mendidik bukanlah guru yang memamerkan pengetahuan ketika ia berada di depan kelas, tetapi seorang guru vang mendidik adalah guru yang mampu membangkitkan kreatifitas dan imajinasi para siswa untuk menghasilkan dan menemukan kebenaran.

Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andaian-andaian model yang diidealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebih-lebihan. Hal itu, dalam segala manifestasinya, seperti kerinduan kita agar anak dapat mengulangi pengalaman dan pengetahuan yang pernah kita peroleh. Umpamanya saja, kita menuntut anak kita agar mampu mengaji Al-Quran sama fasihnya dengan kita sendiri. Atau dalam membaca al-Fatihah selancar yang kita lakukan di pesantren dahulu, padahal anak-anak kita sekarang dikirim ke sekolah umum. Jika romantisme ini kita kembangkan secara berlebih-lebihan, saya khawatir, kita akan terpaku pada mitos yang akhirnya membuat kita lebih bermimpi daripada berpikir obyektif dalam menyusun program pendidikan agama demi masa depan anak didik.

Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik di sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat parsial dan segmentatif. Hal ini penting dalam kaitannya dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial, di mana anak harus berlatih untuk menggunakan persepsi normatif terhadap realitas. Oleh karena itu anak harus selalu diajak melakukan refleksi teologis dalam rangka menanggapi setiap bentuk tantangan hidup yang dihadapinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya anak-anak tidak akan hampa iman dan tidak memiliki ketergantungan terhadap pengaruh kaum profesional agama dalam hal ini para produsen norma dan spiritual di luar dirinya secara berlebih-lebihan. Dengan cara demikian agama yang dianutnya bukan hanya sekedar menjadi pengetahuan, melainkan lebih merupakan sikap dan amalan yang manfaatnya dapat dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.

Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris  dalam proses belajai mengajar agama. Sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subtansi agama, dan 

Kelima, jika visi pendidikan agama seperti diutarakan di atas harus diterjemahkan dalam ruang lingkup atau lingkungan pendidikan, sebaiknya hal-hal yang bersifat menanamkan keharusan emosional keagamaan, berperilaku yang baik (akhlak), dan memiliki sikap terpuji (muruah), mungkin lebih tepat ditekankan dalam program pendidikan agama di lingkungan keluarga. Sebab dalam lingkungan keluarga, qalb (hati nurani) dan dzikir senantiasa mempunyai peluang untuk dipertajam agar potensi ma’rifat anak-anak kita dapat tumbuh dengan baik. Adapun di sekolah, lingkungan belajar di kelas yang terbatas itu, dapat digunakan secara efektif untuk melatih kemampuan pembacaan kritis anak didik, agar mereka berkemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normatif agama. Sehingga, anak didik memiliki sikap-sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etis dunia yang berasal dari kesadaran religius yang dalam.

 

*) Dr. Khotibul Umam, M.A., Kepala Pusat Audit Mutu dan Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, Ketua Yayasan PP. Mabdaul Ma`arif Jember.

Memasuki abad XXI atau millenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan (khususnya pendidikan Islam) ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya lembaga pendidikan Islam yang bermutu dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. 

Hal tersebut di atas dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan Islam merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan Islam dalam menyiapkan masa depan umat manusia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Sejalan dengan permasalahan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, maka prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas yaitu menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan ajaran Islam yang luas, menyeluruh dan holistik serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat usia anak didik dan perkembangan zaman.

Sejumlah pemerhati dan praktisi mencoba menawarkan berbagai konsep untuk mengatasi kelemahan-kelemahan lembaga pendidikan Islam. Tawaran konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam menjadi institusi yang maju dan unggul.

Manajemen menjadi kunci pemecahan karena mengandung kaidah-kaidah penataan secara rapi dan teratur walau sayangnya belum banyak dipraktikkan secara serius dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas. Manajemen profesional telah menjadi andalan dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Kaidah-kaidah manajerial telah berkali-kali diujicobakan atau dipraktikkan dalam mengendalikan lembaga pendidikan Islam. Bahkan, dilakukan juga penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan fenomena-fenomena baru yang muncul di lapangan yang sebelumnya tidak menjadi pertimbangan dalam kaidah-kaidah yang terdahulu.

 Oleh karena itu, kaidah-kaidah manajerial tersebut dirumuskan tidak hanya berdasarkan apriori (pengetahuan  sebelum mengalami semacam ide-ide murni dan gagasan-gagasan murni) melainkan juga berdasarkan aposteriori (Pengetahuan  yang diperoleh berdasarkan pengalaman yang dialami seseorang atau lembaga pendidikan). Kombinasi antara pengetahuan apriori dan aposteriori inilah yang dijadikan pijakan dalam merumuskan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam, agar suatu lembaga pendidikan Islam dapat dikendalikan melalui strategi yang komprehensif. Meskipun demikian, sebagai watak dari suatu disiplin ilmu, kita harus terus-menerus melakukan pencermatan, jika ada hal-hal yang dapat menyempurnakan kaidah-kaidah manajemen lembaga pendidikan Islam.

Dalam kasus lembaga pendidikan (khususnya madrasah), berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultural masyarakat, kebijakan politik negara terutama yang menyangkut keuangan/ pendanaan, beban pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana-prasarana, alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang profesional, maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, penulis mengutip pendapat Abuddin Nata (2007:165-168) dijelaskan bahwa yang menjadi prioritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan kepada empat hal pemikiran diantaranya yaitu: 

Pertama, pendidikan Islam bukanlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi tertentu kepada anak didik. Pendidikan Islam jangan memperlakukan anak didik sebagai konsumen dari sebuah paham atau gugusan ilmu-ilmu tertentu, melainkan harus mampu memberikan fasilitas vang memungkinkan dia menjadi produsen ilmu dan membentuk pemahaman agama dalam dirinya yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus lebih dilihat sebagai proses vang didalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan-pesan dasar yang diberikan Agama. Dengan pandangan yang demikian, maka seorang guru harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam kehidupan para siswa. Seorang yang mendidik bukanlah guru yang memamerkan pengetahuan ketika ia berada di depan kelas, tetapi seorang guru vang mendidik adalah guru yang mampu membangkitkan kreatifitas dan imajinasi para siswa untuk menghasilkan dan menemukan kebenaran.

Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andaian-andaian model yang diidealisir yang sering kali membuat kita terjebak dalam romantisme yang berlebih-lebihan. Hal itu, dalam segala manifestasinya, seperti kerinduan kita agar anak dapat mengulangi pengalaman dan pengetahuan yang pernah kita peroleh. Umpamanya saja, kita menuntut anak kita agar mampu mengaji Al-Quran sama fasihnya dengan kita sendiri. Atau dalam membaca al-Fatihah selancar yang kita lakukan di pesantren dahulu, padahal anak-anak kita sekarang dikirim ke sekolah umum. Jika romantisme ini kita kembangkan secara berlebih-lebihan, saya khawatir, kita akan terpaku pada mitos yang akhirnya membuat kita lebih bermimpi daripada berpikir obyektif dalam menyusun program pendidikan agama demi masa depan anak didik.

Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik di sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat parsial dan segmentatif. Hal ini penting dalam kaitannya dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial, di mana anak harus berlatih untuk menggunakan persepsi normatif terhadap realitas. Oleh karena itu anak harus selalu diajak melakukan refleksi teologis dalam rangka menanggapi setiap bentuk tantangan hidup yang dihadapinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya anak-anak tidak akan hampa iman dan tidak memiliki ketergantungan terhadap pengaruh kaum profesional agama dalam hal ini para produsen norma dan spiritual di luar dirinya secara berlebih-lebihan. Dengan cara demikian agama yang dianutnya bukan hanya sekedar menjadi pengetahuan, melainkan lebih merupakan sikap dan amalan yang manfaatnya dapat dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.

Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris  dalam proses belajai mengajar agama. Sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau subtansi agama, dan 

Kelima, jika visi pendidikan agama seperti diutarakan di atas harus diterjemahkan dalam ruang lingkup atau lingkungan pendidikan, sebaiknya hal-hal yang bersifat menanamkan keharusan emosional keagamaan, berperilaku yang baik (akhlak), dan memiliki sikap terpuji (muruah), mungkin lebih tepat ditekankan dalam program pendidikan agama di lingkungan keluarga. Sebab dalam lingkungan keluarga, qalb (hati nurani) dan dzikir senantiasa mempunyai peluang untuk dipertajam agar potensi ma’rifat anak-anak kita dapat tumbuh dengan baik. Adapun di sekolah, lingkungan belajar di kelas yang terbatas itu, dapat digunakan secara efektif untuk melatih kemampuan pembacaan kritis anak didik, agar mereka berkemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normatif agama. Sehingga, anak didik memiliki sikap-sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etis dunia yang berasal dari kesadaran religius yang dalam.

 

*) Dr. Khotibul Umam, M.A., Kepala Pusat Audit Mutu dan Dosen Pascasarjana UIN KH. Achmad Siddiq Jember, Ketua Yayasan PP. Mabdaul Ma`arif Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca