Eksistensi pesantren tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peran kiai sebagai orang yang menguasai dan mentransfer ilmu agama kepada masyarakat pesantren. Kepemimpinan kiai di pesantren diakui cukup efektif untuk meningkatkan citra pesantren di mata masyarakat. Kemasyhuran pesantren biasanya berbanding lurus dengan nama besar kiainya, terutama kiai pendiri/muassis.
Pesantren dan Kiai bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah saling membutuhkan (simbiosis mutualisme). Dalam hal ini, pesantren membutuhkan kiai sebagai simbol identitas kepemimpinan pesantren, sementara kiai memerlukan pesantren sebagai tempat penegasan identitasnya sebagai pemimpin umat dan lembaga pendidikan Islam.
Seorang kiai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bisa memosisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalani. Dengan demikian, dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi, dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan peran sentral ini.
Keberhasilan pimpinan dapat diukur dari dua hal, yaitu pemahaman mendalam akan institusi dan tanggung jawab. Pimpinan institusi yang berhasil adalah mereka yang memahami kompleks dan uniknya institusi, serta mampu melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Salah satu ciri kepemimpinan sukses, yaitu dibuktikan dengan pemimpin yang memiliki keterampilan yang baik dalam menggerakkan sebuah organisasi. Setidaknya ada dua teori yang bisa menggambarkan mengenai kepemimpinan.
Teori Great Man mengatakan bahwa keterampilan memimpin pernah dianggap sebagai bawaan lahir. Teori ini memandang kekuasaan sebagai hal yang ditanamkan kedalam segelintir orang yang menjadi pemimpin karena keturunan dan takdir mereka. Pada sisi lain, teori Big Bang berpandangan lain, bahwa peristiwa hebat dapat membentuk pemimpin dari yang sebaliknya yaitu orang biasa.
Keragaman karakteristik kepemimpinan kiai membuktikan bahwa sosok kiai tidak bisa dipahami secara sepintas atau dipandang secara kasat mata. Kiai hari ini telah mereformulasi dirinya menjadi sosok pemimpin yang fleksibel, elegan, dan rasional. Tapi dalam kondisi yang lain, kiai juga bisa rigid, keras, dan irasional.
Namun pada banyak kasus, peran kiai dalam masyarakat perdesaan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Di tengah kebudayaan yang didominasi ketokohan kiai, berbagai masalah sehari-hari menyangkut urusan rumah tangga, perjodohan, perekonomian, bahkan pengobatan sering menempatkan kiai sebagai tumpuan.
Hal semacam ini tentu saja akan melahirkan hubungan emosional kuat yang diliputi ketergantungan dengan tingkat kepercayaan yang tidak perlu diragukan lagi. Maka masyarakat di sekitar kiai dengan sendirinya akan senantiasa berusaha menyesuaikan pandangan hidup dan perilakunya dengan ketokohan kiai. Kiai merupakan figur sentral yang memiliki multiperan, mulai dari sebagai pemimpin, pondok, guru, mentor, siswa, suami, hingga ayah di keluarga mereka sendiri yang juga menetap di pondok.
Posisi kiai sebagai pemimpin pesantren juga diharuskan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam bertingkah laku dan pengembangan pesantren. Ajaran luhur yang menjadi kepercayaan kiai dalam hidupnya akan diterapkan ketika dalam memimpin di pesantren. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pesantren sangat bergantung kepada kemampuan kiai dalam menjaga nilai-nilai luhur itu.
Bagi kiai, kaum muslimin menjadi kekuatan yang diyakini sebagai rahmat Allah SWT dalam rangka menjaga eksistensi pesantren, terutama terkait dengan estafet kepemimpinan di pesantren. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofir bahwa usaha melestarikan tradisi kepemimpinan pesantren ialah membangun solidaritas dan kerjasama antara para kiai, yakni: a) mengimplementasikan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat penerus kepemimpinan dalam pesantren; b) menerapkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kiai; c) dan mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.
Pimpinan dalam sebuah pesantren itu ibaratkan seorang nakhoda kapal yang sedang mengarungi lautan untuk mencapai dermaga impian yang dituju. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa di tengah lautan itu seorang nakhoda yang berbantalkan ombak dan berselimutkan angin serta ber-musik-kan petir. Dalam hal ini seorang nakhoda harus bertangung jawab atas keselamatan awak kapal, sehingga bersandar ke dermaga impian itu dengan selamat.
Maknanya dapat dipahami bahwa memimpin pesantren itu sangat berat tantangannya dalam menghadapi tantangan zaman. Butuh kelihaian, keuletan dan keikhlasan dalam mengabdi dan memperjuangkan pesantren sehingga apa yang menjadi visi misi para pendiri/muassis pesantren itu tercapai sesuai dengan harapan bersama.
Kalau kita melihat kondisi saat ini yang masuk pada era revolusi industri 4.0, tantangan pesantren jauh lebih berat dibanding dengan era sebelumnya, Tantangan era globalisasi dan teknologi yang kian hari merambah sendi-sendi dan aspek kehidupan manusia. Setidaknya, Era 4.0 ini menawarkan berbagai produk pilihan yang telah memberikan berbagai akses, kemudahan, fasilitas, informasi, dan komunikasi telah momotivasi pesantren untuk senantiasa mengadakan inovasi terhadap sistem yang ada.
Dengan demikian, peran kiai sangat vital, bukan hanya berfikir bagaimana santri berkualitas dari sisi intelektual dan moral, tapi lebih dari itu. Dalam teori pendidikan, tolok ukur kesuksesan lembaga pendidikan -dalam hal ini pesantren- dapat dilihat dari sejauh mana eksistensi peran output santri atau alumni pesantren di tengah-tengah masyarakat.
*) Hermanto Halil, Mahasiswa Program Doktor Program Studi Manajemen Pendidikan Islam IAIN Jember. Artikel ini pernah dipresentasikan di Fatoni University Thailand pada Selasa, 4 Februari 2020 dalam International Joint Seminar bertema “Islamic Education in The IR 4.0 Era: Prospect and Challenges”