JEMBER LOR, RADARJEMBER.ID – RATUSAN pasang tangan siswa pagi itu benar-benar berlepotan. Maklum saja, mereka yang biasanya hanya sekolah daring atau duduk di kelas mendapatkan teori pelajaran, pagi itu menjalani praktik membuat kain batik.
Siswa yang berada di halaman sekolah itu tetap harus mematuhi protokol kesehatan. Masing-masing siswa diberi tugas memegang kain polos untuk kemudian disulap menjadi kain batik shibori. Sebuah teknik membatik dengan cara mengikat kain dan mewarnainya dengan tinta alami.
Baca Juga Berita Terkait : Siswa SMPN 10 Jember Bikin Seragam Batik Buatan Tangan Sendiri
Media yang dipakai ratusan siswa itu bisa dengan mudah dipakai oleh siapa saja. Yaitu dengan alat bantu karet sebagai pengikat, serta kerikil sebagai pernak-pernik ukuran batik. Kain yang telah dirangkai itu kemudian diberi warna dasar sebelum diberi kombinasi warna pada kain berukuran dua meter tersebut.
Saat itu, siswa juga diminta mengenakan sarung tangan. Tetapi, saat proses pewarnaan dimulai, tangan anak-anak tetap saja banyak yang berlepotan terkena tinta. Tapi, tenang saja, tinta yang dipakai super aman dan ramah lingkungan. “Semua batik yang dibuat ini nantinya akan menjadi seragam sekolah siswa itu sendiri,” kata Rini Suswanti Heruwati, Kepala SMPN 10 Jember.
Menurut dia, praktik yang dilakukan siswa membuat batik sendiri sudah berjalan tujuh tahun terakhir. Sejak tujuh tahun yang lalu, batik memang menjadi andalan dan identitas sekolahnya. Untuk itu, seluruh siswa diajarkan dan dihadapkan pada praktik membatik. Paling tidak, mereka mengerti dasar-dasar membatik dan bisa dipraktikkan di rumahnya masing-masing. “Ada banyak siswa yang sudah lulus tetap komunikasi soal batik. Sekolah menanamkan pengetahuan ini kepada siswa agar mereka memahami pentingnya keterampilan,” ucap Rini.
Melalui batik tersebut, sekolah telah banyak mendapatkan prestasi. Bukan saja membanggakan lembaga, tetapi juga bermanfaat bagi siswa itu sendiri. “Jadi, siswa yang masih sekolah pun bangga, karena mereka bisa memakai seragam batik buatannya sendiri,” jelasnya.
Rini mengungkapkan, melalui pameran yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Grand City Surabaya, batik itu mendapat juara satu. Sebuah prestasi yang membanggakan sekolah maupun para guru dan siswa. “Selain itu, banyak lagi prestasinya,” ungkapnya.
Guru seni, Endang Srirejeki SPd, membenarkan banyaknya prestasi sekolah di bidang batik. Pada saat pameran, Arumi Bachsin, istri Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak, juga berdecak kagum. “Kami pernah juara dalam pameran di Grand City Surabaya. Saat itu Ibu Arumi kagum. Kok bisa bagus,” kata Endang.
Perempuan yang fokus memperhatikan siswa ini pun menyebut, batik yang dibuat ratusan siswa di halaman sekolah adalah batik shibori. Yaitu batik yang dibuat dengan pewarna alami melalui teknik sederhana. “Jadi, tidak berbahaya dan mudah dilakukan bagi anak,” ulasnya.
Endang menguraikan, untuk bisa membatik, siswa harus senang terlebih dahulu. Selanjutnya, materi dasar mengenai batik diajarkan di dalam kelas. Setelah cukup memahami, praktik pun dilakukan di halaman sekolah. “Jadi, batik yang sekarang dibuat akan dijadikan seragam siswa untuk dipakai hari Rabu dan Kamis,” jelasnya.
Membatik seperti dilakukan siswa, menurut guru Seni Budaya dan Prakarya itu, membutuhkan kesabaran dan ketelitian. “Caranya, harus senang dulu. Kalau anak sudah senang dan suka, membatiknya juga akan dilakukan dengan senang,” tutur Endang.
Menurut dia, teori belajar mengenai dasar-dasar membatik diajarkan bertahap. Kali pertama dilakukan di dalam kelas. Mulai dari pengenalan apa itu batik, teknik batik yang digunakan, sampai pada jenis-jenis batik yang rumit. Setelah teori diberikan, siswa pun diajak membuat batik. Batik pertama yang harus berhasil dibuat siswa adalah batik yang dijadikan seragam sekolah oleh mereka. “Jadi, batik yang dibuat siswa ini, nanti menjadi seragam sekolah untuk dipakai siswa itu sendiri,” ucapnya.
Dalam praktik pembuatan batik, siswa pun mengerjakannya mulai dari kain polos sampai selesai. Kain yang telah diberi warna dasar dengan media batu diikat karet, kemudian diwarnai dengan warna yang berbeda. Jika seluruh warna dasarnya oranye, maka dikombinasikan dengan warna lain seperti hitam dan hijau. “Jangan meluber, nanti berpengaruh pada hasil,” jelas Endang di sela-sela pembuatan batik oleh ratusan siswa, belum lama ini.
Kain yang sudah diberi warna batik selanjutnya dibeber. Seluruh karet yang mengikat kerikil dilepas. Hasil batik pun langsung terlihat bagus-bagus. “Semakin anak sabar dan teliti, hasilnya semakin rapi,” katanya. Kain batik yang dibuat siswa itu pun, menurut dia, layak menjadi seragam sekolah. “Siswa akan bangga karena seragam yang dipakai Rabu dan Kamis adalah batik bikinan sendiri,” imbuhnya.
Selama proses pembuatan batik, lanjut Endang, tidak ada siswa yang tegang. Hal itu karena proses pengerjaan seperti bermain, tetapi tetap memberi edukasi dan keterampilan. Siapa yang lebih sabar dan teliti pada proses pewarnaan, tentunya akan menghasilkan kain batik yang baik.
Setelah semuanya melalui proses pewarnaan dan seluruh ikatan tali dilepas, kain seukuran dua meter itu selanjutnya dijemur. Begitu kering, kain bisa dicuci untuk kemudian dijahit menjadi seragam batik. Dengan kreativitas para guru, siswa SMPN 10 Jember menjadi siswa yang terampil. Praktik di sekolah itu pun bisa dipraktikkan di rumah oleh masing-masing siswa.
Endang mengaku, selain batik shibori yang dipraktikkan ratusan siswa, di SMPN 10 Jember juga diajarkan batik dengan teknik ecoprint hingga mengenalkan pada proses membatik dengan teknik tulis. Selain itu, kombinasi macam-macam batik juga menjadi bagian dalam kesenian budaya serta prakarya di sekolah itu.
Reporter : Juma’i dan Nur Hariri
Fotografer : Juma’i
Editor : Mahrus Sholih