23.5 C
Jember
Monday, 27 March 2023

Gunakan Antena Penangkap WiFi, kalau Gangguan Harus Turun Gunung

Aplikasi presensi Pemkab Jember mensyaratkan wilayah kerja pegawai dapat menangkap sinyal. Padahal, pada beberapa wilayah di Jember ada sekolah yang berada di titik blank spot. Bagaimana cara mereka mengakses jaringan telekomunikasi di tengah keterbatasan itu?

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pelosok dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota tergambar pada lembaga pendidikan ini. Lokasinya saja berada di lereng Pegunungan Argopuro. Tepatnya di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari. Untuk menjangkau lokasi, dari pusat Kecamatan Bangsalsari setidaknya jarak tempuh sekitar 14 kilometer dengan waktu sekitar setengah jam. Cukup lama memang untuk ukuran desa yang masih berada di wilayah satu kecamatan.

Beginilah potret lembaga pendidikan yang berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan kakao ini. Berada di naungan Yayasan dan Pesantren Ihyaussunnah Tugusari, ada empat lembaga pendidikan yang berdiri di sana. Ada SMK Pertanian, SMP, MI, dan TK. Meski ini adalah sekolah swasta yang tenaga pendidiknya tidak memiliki kewajiban mengisi presensi daring lewat aplikasi, tapi bisa menjadi gambaran bagi lembaga pendidikan negeri di kawasan serupa. Sebab, seperti diketahui, cukup banyak sekolah negeri yang berada di area buta sinyal.

Jawa Pos Radar Jember sempat mendatangi lembaga pendidikan ini. Siswanya tidak begitu banyak, dan lembaganya tidak terlalu besar. Informasinya, yang bersekolah di situ tidak lain adalah anak-anak dari warga setempat yang notabene bekerja di kebun. “Mayoritas siswa sini adalah anak-anak dari warga sekitar sekolah. Tidak ada siswa jauh atau dari bawah,” kata Muksin Alatas, Kepala SMK Teknologi Pertanian di Dusun Sumbercanting tersebut.

Mobile_AP_Rectangle 2

Selama ngopeni lembaganya itu, banyak hal dilaluinya. Termasuk dalam urusan mengakses informasi dari luar dusun tersebut. Sebab, meskipun mayoritas masyarakatnya telah menggunakan telepon seluler, namun urusan sinyal, lokasi ini masih belum terjangkau. “Tidak terjangkau, karena memang tidak ada towernya. Ada pun itu di sekitar desa, lokasinya jauh di bawah dusun ini. Jadi, sinyal tidak sampai,” jelas Muksin.

Sebagai penanggung jawab lembaga, ia paham betul bagaimana pentingnya akses telekomunikasi itu. Karena itu, sejak sekitar 2019 lalu, pihaknya memberanikan diri membeli antena penangkap sinyal WiFi. Kata dia, harganya itu lumayan, mencapai Rp 5 juta.

Dari antena itu kemudian, server miliknya bisa menangkap sinyal telekomunikasi dari menara BTS yang berada di bawah dusunnya. Dan untuk abonemennya sendiri, ia membeli empat akses atau empat kecepatan dengan masing-masing biaya tagihannya Rp 75 ribu per bulan. “Karena kami gunakan empat admin, jadi dikalikan. Sehingga dalam sebulan tagihan internet mencapai Rp 300 ribu,” terang kepala sekolah asal Desa Kemiri, Kecamatan Panti, ini.

Meski di tengah ketiadaan sinyal ponsel, ia masih diuntungkan dengan WiFi tersebut. Kendati harus merogoh kocek tiap bulannya. Sebab, tanpa itu, akses internet tidak bisa hidup sama sekali. Bahkan dari jasa provider ternama sekalipun, di tempat itu bisa dikatakan sinyal mati dan tertulis SOS, karena di luar jangkauan.

Walau telah menggunakan sinyal WiFi untuk akses komunikasi, bukan berarti terbebas dari masalah. Kata Muksin, masalahnya justru lebih rawan dan sering. Sebab, di daerah pegunungan sering kali hujan ataupun diterpa angin dengan kekuatan cukup besar. “Kelemahannya, kalau setelah hujan atau diterpa angin kencang, alat penangkap sinyal itu tidak maksimal bekerja. Kadang lemot,” sambungnya.

Padahal, kebutuhan akses itu hampir setiap hari diperlukan. Apalagi jika sewaktu-waktu kebutuhannya mendesak, petugas operatornya terkadang sampai mencari pilihan lain demi memperlancar pekerjaan. “Jalan satu-satunya kami harus turun dari dusun ini. Mencari sinyal ke bawah. Dari situ bisa kembali normal sinyalnya,” ujarnya.

Lembaga pendidikan ini sepertinya masih beruntung jika dibandingkan dengan warga di sekitarnya. Meski warga itu banyak yang memiliki handphone, namun tidak bisa digunakan untuk menelpon ataupun berkirim pesan singkat sewaktu-waktu. “Warga setempat bisanya hanya membeli voucer WiFi, baru bisa terhubung internet dan berkomunikasi,” tambah Fahrur Rozi, salah seorang operator sekolah di lembaga tersebut.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pelosok dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota tergambar pada lembaga pendidikan ini. Lokasinya saja berada di lereng Pegunungan Argopuro. Tepatnya di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari. Untuk menjangkau lokasi, dari pusat Kecamatan Bangsalsari setidaknya jarak tempuh sekitar 14 kilometer dengan waktu sekitar setengah jam. Cukup lama memang untuk ukuran desa yang masih berada di wilayah satu kecamatan.

Beginilah potret lembaga pendidikan yang berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan kakao ini. Berada di naungan Yayasan dan Pesantren Ihyaussunnah Tugusari, ada empat lembaga pendidikan yang berdiri di sana. Ada SMK Pertanian, SMP, MI, dan TK. Meski ini adalah sekolah swasta yang tenaga pendidiknya tidak memiliki kewajiban mengisi presensi daring lewat aplikasi, tapi bisa menjadi gambaran bagi lembaga pendidikan negeri di kawasan serupa. Sebab, seperti diketahui, cukup banyak sekolah negeri yang berada di area buta sinyal.

Jawa Pos Radar Jember sempat mendatangi lembaga pendidikan ini. Siswanya tidak begitu banyak, dan lembaganya tidak terlalu besar. Informasinya, yang bersekolah di situ tidak lain adalah anak-anak dari warga setempat yang notabene bekerja di kebun. “Mayoritas siswa sini adalah anak-anak dari warga sekitar sekolah. Tidak ada siswa jauh atau dari bawah,” kata Muksin Alatas, Kepala SMK Teknologi Pertanian di Dusun Sumbercanting tersebut.

Selama ngopeni lembaganya itu, banyak hal dilaluinya. Termasuk dalam urusan mengakses informasi dari luar dusun tersebut. Sebab, meskipun mayoritas masyarakatnya telah menggunakan telepon seluler, namun urusan sinyal, lokasi ini masih belum terjangkau. “Tidak terjangkau, karena memang tidak ada towernya. Ada pun itu di sekitar desa, lokasinya jauh di bawah dusun ini. Jadi, sinyal tidak sampai,” jelas Muksin.

Sebagai penanggung jawab lembaga, ia paham betul bagaimana pentingnya akses telekomunikasi itu. Karena itu, sejak sekitar 2019 lalu, pihaknya memberanikan diri membeli antena penangkap sinyal WiFi. Kata dia, harganya itu lumayan, mencapai Rp 5 juta.

Dari antena itu kemudian, server miliknya bisa menangkap sinyal telekomunikasi dari menara BTS yang berada di bawah dusunnya. Dan untuk abonemennya sendiri, ia membeli empat akses atau empat kecepatan dengan masing-masing biaya tagihannya Rp 75 ribu per bulan. “Karena kami gunakan empat admin, jadi dikalikan. Sehingga dalam sebulan tagihan internet mencapai Rp 300 ribu,” terang kepala sekolah asal Desa Kemiri, Kecamatan Panti, ini.

Meski di tengah ketiadaan sinyal ponsel, ia masih diuntungkan dengan WiFi tersebut. Kendati harus merogoh kocek tiap bulannya. Sebab, tanpa itu, akses internet tidak bisa hidup sama sekali. Bahkan dari jasa provider ternama sekalipun, di tempat itu bisa dikatakan sinyal mati dan tertulis SOS, karena di luar jangkauan.

Walau telah menggunakan sinyal WiFi untuk akses komunikasi, bukan berarti terbebas dari masalah. Kata Muksin, masalahnya justru lebih rawan dan sering. Sebab, di daerah pegunungan sering kali hujan ataupun diterpa angin dengan kekuatan cukup besar. “Kelemahannya, kalau setelah hujan atau diterpa angin kencang, alat penangkap sinyal itu tidak maksimal bekerja. Kadang lemot,” sambungnya.

Padahal, kebutuhan akses itu hampir setiap hari diperlukan. Apalagi jika sewaktu-waktu kebutuhannya mendesak, petugas operatornya terkadang sampai mencari pilihan lain demi memperlancar pekerjaan. “Jalan satu-satunya kami harus turun dari dusun ini. Mencari sinyal ke bawah. Dari situ bisa kembali normal sinyalnya,” ujarnya.

Lembaga pendidikan ini sepertinya masih beruntung jika dibandingkan dengan warga di sekitarnya. Meski warga itu banyak yang memiliki handphone, namun tidak bisa digunakan untuk menelpon ataupun berkirim pesan singkat sewaktu-waktu. “Warga setempat bisanya hanya membeli voucer WiFi, baru bisa terhubung internet dan berkomunikasi,” tambah Fahrur Rozi, salah seorang operator sekolah di lembaga tersebut.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Pelosok dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota tergambar pada lembaga pendidikan ini. Lokasinya saja berada di lereng Pegunungan Argopuro. Tepatnya di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari. Untuk menjangkau lokasi, dari pusat Kecamatan Bangsalsari setidaknya jarak tempuh sekitar 14 kilometer dengan waktu sekitar setengah jam. Cukup lama memang untuk ukuran desa yang masih berada di wilayah satu kecamatan.

Beginilah potret lembaga pendidikan yang berlokasi di tengah-tengah perkebunan kopi dan kakao ini. Berada di naungan Yayasan dan Pesantren Ihyaussunnah Tugusari, ada empat lembaga pendidikan yang berdiri di sana. Ada SMK Pertanian, SMP, MI, dan TK. Meski ini adalah sekolah swasta yang tenaga pendidiknya tidak memiliki kewajiban mengisi presensi daring lewat aplikasi, tapi bisa menjadi gambaran bagi lembaga pendidikan negeri di kawasan serupa. Sebab, seperti diketahui, cukup banyak sekolah negeri yang berada di area buta sinyal.

Jawa Pos Radar Jember sempat mendatangi lembaga pendidikan ini. Siswanya tidak begitu banyak, dan lembaganya tidak terlalu besar. Informasinya, yang bersekolah di situ tidak lain adalah anak-anak dari warga setempat yang notabene bekerja di kebun. “Mayoritas siswa sini adalah anak-anak dari warga sekitar sekolah. Tidak ada siswa jauh atau dari bawah,” kata Muksin Alatas, Kepala SMK Teknologi Pertanian di Dusun Sumbercanting tersebut.

Selama ngopeni lembaganya itu, banyak hal dilaluinya. Termasuk dalam urusan mengakses informasi dari luar dusun tersebut. Sebab, meskipun mayoritas masyarakatnya telah menggunakan telepon seluler, namun urusan sinyal, lokasi ini masih belum terjangkau. “Tidak terjangkau, karena memang tidak ada towernya. Ada pun itu di sekitar desa, lokasinya jauh di bawah dusun ini. Jadi, sinyal tidak sampai,” jelas Muksin.

Sebagai penanggung jawab lembaga, ia paham betul bagaimana pentingnya akses telekomunikasi itu. Karena itu, sejak sekitar 2019 lalu, pihaknya memberanikan diri membeli antena penangkap sinyal WiFi. Kata dia, harganya itu lumayan, mencapai Rp 5 juta.

Dari antena itu kemudian, server miliknya bisa menangkap sinyal telekomunikasi dari menara BTS yang berada di bawah dusunnya. Dan untuk abonemennya sendiri, ia membeli empat akses atau empat kecepatan dengan masing-masing biaya tagihannya Rp 75 ribu per bulan. “Karena kami gunakan empat admin, jadi dikalikan. Sehingga dalam sebulan tagihan internet mencapai Rp 300 ribu,” terang kepala sekolah asal Desa Kemiri, Kecamatan Panti, ini.

Meski di tengah ketiadaan sinyal ponsel, ia masih diuntungkan dengan WiFi tersebut. Kendati harus merogoh kocek tiap bulannya. Sebab, tanpa itu, akses internet tidak bisa hidup sama sekali. Bahkan dari jasa provider ternama sekalipun, di tempat itu bisa dikatakan sinyal mati dan tertulis SOS, karena di luar jangkauan.

Walau telah menggunakan sinyal WiFi untuk akses komunikasi, bukan berarti terbebas dari masalah. Kata Muksin, masalahnya justru lebih rawan dan sering. Sebab, di daerah pegunungan sering kali hujan ataupun diterpa angin dengan kekuatan cukup besar. “Kelemahannya, kalau setelah hujan atau diterpa angin kencang, alat penangkap sinyal itu tidak maksimal bekerja. Kadang lemot,” sambungnya.

Padahal, kebutuhan akses itu hampir setiap hari diperlukan. Apalagi jika sewaktu-waktu kebutuhannya mendesak, petugas operatornya terkadang sampai mencari pilihan lain demi memperlancar pekerjaan. “Jalan satu-satunya kami harus turun dari dusun ini. Mencari sinyal ke bawah. Dari situ bisa kembali normal sinyalnya,” ujarnya.

Lembaga pendidikan ini sepertinya masih beruntung jika dibandingkan dengan warga di sekitarnya. Meski warga itu banyak yang memiliki handphone, namun tidak bisa digunakan untuk menelpon ataupun berkirim pesan singkat sewaktu-waktu. “Warga setempat bisanya hanya membeli voucer WiFi, baru bisa terhubung internet dan berkomunikasi,” tambah Fahrur Rozi, salah seorang operator sekolah di lembaga tersebut.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca