CANGKRING, Radar Jember – Pondok Pesantren (Ponpes) Madinatul Ulum berdiri di tengah situasi konflik Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965. Ponpes yang berada di Desa Cangkring, Kecamatan Jenggawah, ini pun menjadi saksi sejarah perjuangan pendidikan Islam di Jember.
Baca Juga :Â Tiga Rumah Warga Silo Jember Tertimpa Pohon, Satu Tertimbun Longsor
Pada saat itu, KH Ahmad Said bersama Kiai Mustain Romli, pendiri ponpes, aktif di dunia politik. Yaitu di Partai Sarekat Islam Indonesia. Ponpes ini pun sempat terbengkalai alias tidak beroperasi selama 25 tahun. Berikutnya, pada 1990, barulah dilanjutkan oleh Kiai Muhammad Lutfi, pengasuh ponpes sampai sekarang.
Kiai Lutfi menyebut, nama Madinatul Ulum berasal dari bahasa Arab yang berarti kota ilmu. Nama tersebut diberikan langsung oleh sang pendiri, Kiai Ahmad Said, dengan harapan bisa menerangi masyarakat dengan ilmu pengetahuan agama. “Saya nempati di sini dari tahun 1990, sedangkan nama Madinatul Ulum ini memang langsung pemberian ayah saya. Dengan harapan bisa menjadi kota ilmu bagi masyarakat sekitar sini,” terang Kiai Lutfi.
Tentu tidak mudah menjalankan aktivitas pendidikan agama di tengah situasi konflik. Hal ini memaksa KH Ahmad Said untuk terjun di dunia politik. Namun, keterlibatan dalam dunia politik membuat pendidikan Ponpes Madinatul Ulum vakum selama 25 tahun. “Dulu ayah saya aktif di politik, sehingga pesantren sempat vakum selama 25 tahun”, kata Kiai Lutfi kepada Jawa Pos Radar Jember.
Tahun 1990 merupakan awal Kiai Lutfi membangkitkan pendidikan di Pesantren Madinatul Ulum dengan kondisi bangunan Ponpes yang masih sederhana. Dinding terbuat dari gedek bambu, dan masih belum ada bangunan dari tembok. “Pesantren belum sebesar sekarang. Sederhana sekali. Namun, lambat laun pembangunan semakin berkembang setelah 90-an sampai sekarang,” imbuhnya.
Menurutnya, pesantren yang awalnya murni salaf ini membuka ruang bagi masyarakat untuk sekolah formal. Pada tahun 2007, dibuka SD sebagai lembaga formal pertama di Ponpes Madinatul Ulum. “Tahun 2007 awal berdirinya SD, sekaligus lembaga formal pertama,” terangnya.
Kiai Lutfi juga mengatakan, sampai sekarang lembaga formal terus diperbarui. Tentu tidak menghilangkan tradisi salafnya. Setelah SD, kemudian disusul dengan SMP dan SMK, serta pendidikan taman kanak-kanak. “Di sini formalnya sudah bisa dikatakan lengkap. Mulai dari TK sampai menengah atas,” tuturnya. (mg4/c2/nur)