JEMBER, RADARJEMBER.ID – Bupati Jember melalui Dinas Pendidikan (Dispendik) Jember telah mengeluarkan surat keputusan (SK) bagi guru tidak tetap (GTT). Namun, pembagian SK tersebut belum merata. Sebab, masih banyak guru honorer di SD pinggiran yang tidak menerima. Padahal, mereka ada yang mengabdi lebih dari 10 tahun.
Selain problem belum meratanya SK, persoalan lain yang muncul belakangan adalah tidak diberikannya SK bagi GTT pendamping anak berkebutuhan khusus (ABK) di SD inklusi. Padahal, SK tersebut menjadi jalan bagi guru GTT inklusi untuk mendapatkan kesejahteraan.
Menilik ke belakang, sebenarnya kebijakan SD inklusi ini mulai berlaku sejak era pemerintahan MZA Djalal. Kala itu, pada 2007, Dispendik Jember mengeluarkan SK tentang penyelenggaraan sekolah inklusif untuk tingkat SD. Ada 31 lembaga yang ditetapkan sebagai SD inklusi, yang tersebar di 31 kecamatan. Tiga tahun berikutnya, Dispendik kembali menambah jumlah SD inklusi menjadi 62 sekolah. Sehingga tiap kecamatan terdapat dua SD inklusi.
Namun, dalam perjalanannya, keberadaan SD inklusi ini tak sesuai harapan. Sekolah yang sejatinya didesain untuk mendekatkan layanan pendidikan bagi ABK itu minim perhatian. Banyak faktor yang memengaruhi. Selain ketersediaan sarana dan prasarana, juga kurangnya tenaga pendidik yang disiapkan khusus untuk siswa difabel. Padahal tujuan SD inklusi ini agar siswa difabel bisa belajar di kelas reguler bersama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya.
Ketua Forum Honorer PGRI Jawa Timur Ilham Wahyudi mengungkapkan, saat ini terdapat ratusan guru yang statusnya GTT di sekolah inklusi dan belum menerima SK. Imbasnya, gaji yang diterima tidak naik secara signifikan. Ini artinya, kesejahteraan mereka terhambat. “Ada ratusan guru honorer SD inklusi yang tidak menerima SK,” kata Ilham, ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon, kemarin (21/6).
Jumlah guru honorer di sekolah inklusi tidak banyak. Sebab, setiap kecamatan hanya memiliki dua sekolah inklusi. Terlebih, saat ini banyak sekolah inklusi itu yang tidak lagi menerima siswa difabel. Ada yang karena pendaftarnya tidak ada, dan guru pendampingnya tidak tersedia. Akibatnya, jumlah sekolah inklusi itu semakin menurun.
Bahkan, beberapa lembaga yang sudah dinobatkan sebagai sekolah inklusi saat ini juga tidak memiliki guru khusus yang menangani siswa difabel atau berkebutuhan khusus. Sebab, banyak guru inklusi yang beralih status agar setara dengan guru yang lain. Mereka memilih melanjutkan studi yang fokus pada pendidikan SD. “Memang banyak yang meneruskan untuk jadi guru SD. Tapi, jumlah guru inklusi di Jember ada kalau ratusan,” ungkap Ilham.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dispendik Jember Ismail mengungkapkan, SK yang dikeluarkan pemerintah daerah hanya diperuntukkan guru kelas, guru olahraga, dan guru agama. Memang tidak tercantum untuk guru inklusi.
Menurut Ismail, hal itu karena untuk mengeluarkan SK harus ada dasar hukumnya. Sedangkan bagi guru inklusi, sejauh ini belum ada aturan yang bisa menjadi cantolan hukum. “Tidak ada dasar hukumnya untuk memberi SK guru inklusi. Di SD loh, ya? Jadi, cuma guru kelas, guru olahraga, dan guru agama,” jelasnya, ketika ditemui di gedung DPRD seusai melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi D.
Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Redaktur : Mahrus Sholih