Siswa SMK di Jakarta saat mengikuti UNBK 2019. (Miftahulhayat/Jawa Pos)

JawaPos.com – Mulai 2021, siswa tidak lagi harus berjibaku dengan bertumpuk-tumpuk materi yang diujikan di akhir jenjang pendidikan. Sebab, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah memutuskan: Ujian Nasional (UN) 2020 akan menjadi yang terakhir.

Nadiem menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah melakukan survei dan diskusi dengan berbagai pihak. Hasilnya, materi UN dinilai terlalu padat. Itu membuat guru cenderung mengajarkan kepada siswa untuk menghafal materi, bukan memenuhi ketercapaian kompetensi.

”UN sudah menjadi beban stres bagi banyak sekali siswa, guru, maupun orang tua,” ungkap Nadiem di hadapan kepala dinas pendidikan se-Indonesia. Terlebih, esensi UN sebagai tolok ukur efektivitas sistem pendidikan dipandang sudah melenceng.

Menurut menteri termuda Kabinet Indonesia Maju itu, UN sejatinya adalah instrumen untuk mengevaluasi sistem pendidikan. Mulai sekolah, letak geografis, kinerja dinas pendidikan, hingga sistem secara nasional. ”Dan UN hanya menilai satu aspek, hanya kognitif. Belum menyentuh aspek lainnya. Termasuk karakter siswa secara holistis,” bebernya.

Pada 2021, kata Nadiem, UN akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Ada tiga aspek yang diukur. Yang pertama adalah literasi. Aspek tersebut tidak hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga mengukur kemampuan siswa dalam melakukan analisis terhadap suatu bacaan. ”Kemampuan memahami konsep di balik tulisan itu yang penting,” ucapnya.

Aspek kedua adalah numerasi, yakni kemampuan bernalar menggunakan matematika. Mengaplikasikan konsep matematika di dalam suatu situasi, baik abstrak maupun konkret. ”Jadi, itu bukan mata pelajaran bahasa dan matematika. Tapi kemampuan murid-murid menggunakan konsep itu untuk melihat dan menemukan solusi suatu masalah di lingkungan hidup kita,” papar mantan CEO Gojek tersebut.

Yang terakhir adalah survei karakter. Menurut Nadiem, aspek itu sangat penting. Pemerintah saat ini hanya memiliki data kognitif. Akibatnya, Kemendikbud tidak bisa melihat baik atau buruk ekosistem pembelajaran sekolah. Tidak tahu apakah rasa cinta tanah air dan nilai Pancasila benar-benar dirasakan siswa. Juga soal toleransi, gotong royong, dan tingkat kebahagiaan siswa di seluruh Indonesia. Survei karakter diharapkan menjadi tolok ukur bagi sekolah untuk melakukan perubahan.

Siswa SMP mengikuti UNBK 2019. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

Berbeda dengan UN yang dilaksanakan pada masa akhir jenjang pendidikan, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter dilakukan pada masa pertengahan jenjang. Yakni, SD kelas IV atau V, SMP kelas VII, dan SMA kelas XI. Alasannya, memberikan waktu kepada sekolah dan para guru untuk melakukan perbaikan sebelum siswa lulus dari jenjang tersebut.

Dengan demikian, asesmen itu tidak digunakan sebagai alat seleksi siswa untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. ”Kita mengembalikan esensi asesmen tingkat nasional sebagai tolok ukur menilai sekolahnya maupun sistem pendidikannya. Bukan siswa yang diukur,” jelasnya.

Kemendikbud kini tengah mengembangkan teknis pelaksanaan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Yang pasti berbasis komputer. Nah, pekerjaan rumah Kemendikbud ialah memenuhi sarana dan prasarana di sekolah. Sebab, sampai sekarang masih ada sekolah yang belum bisa menggelar ujian nasional berbasis komputer (UNBK). ”Itu harus kita tuntaskan,” tandas anggota kabinet yang akrab disapa Mas Menteri tersebut.

Nadiem mengungkapkan, formatnya sama seperti asesmen yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assessment), yakni pilihan ganda. Dia memastikan, tidak ada soal yang berupa hafalan dan akan dilakukan secara bersamaan seluruh Indonesia. ”Kalau computer based format, yang paling baik memang pilihan ganda. Tapi, bersifat HOTS (higher order thinking skills),” terang alumnus Harvard Business School tersebut.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno memastikan bahwa asesmen baru tersebut mengedepankan penalaran. Bentuk soal bisa berupa pilihan ganda atau esai yang beragam. Tingkat kesulitannya disesuaikan dengan kondisi dan ekosistem pembelajaran sekolah.

”Ada yang sudah sangat bagus. Sebagus sekolah terbaik di dunia juga ada. Jelek juga ada. Disparitas (perbedaan, Red) itu keniscayaan untuk Indonesia, itu faktanya,” ungkap Totok.

Soal dibuat agar bisa dikerjakan anak yang tertinggal hingga pintar. Dari hasil tersebut, pemerintah diharapkan dapat mengetahui pada level mana perbedaan dan ketertinggalan siswa itu. Juga hasil seperti apa yang diperoleh dari proses pembelajaran di sekolah.

”Yang jelas memang kami belum definitif. Itu pengembangan,” katanya. ”Kami ingin memberikan kemerdekaan kepada sekolah memaknai yang pintar itu apa. Selama ini satu ukuran. Cenderung UN, akademik,” lanjut pria yang juga menjabat Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud tersebut.

Bagaimana seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya? Totok menjelaskan, itu bergantung pada sekolah. Kriteria seperti apa yang diinginkan. Bisa mensyaratkan portofolio proyek belajar, prestasi akademik, maupun prestasi nonakademik. ”Pintar menari, juara pencak silat, dan olahraga bisa. Pintar itu tidak hanya dari ujian,” tutur mantan atase pendidikan dan kebudayaan RI di Washington, AS, tersebut.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan dukungan terhadap kebijakan Nadiem tersebut. Dia setuju hasil UN bukan hanya evaluasi bagi siswa. Tapi juga untuk guru dan sekolah agar memberikan layanan pendidikan yang lebih bagus.

Mantan Mendikbud tersebut sepakat jika asesmen dilakukan di tengah masa jenjang pendidikan. Itu memberikan waktu satu hingga dua tahun bagi guru dan sekolah untuk berbenah. Sekaligus membenahi dan meningkatkan kembali kemahiran siswa. ”Karena selama ini UN setelah ada hasilnya tidak bisa di-treatment lagi. Saya rasa ini bagus,” puji Muhadjir.

Di bagian lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai penguatan karakter anak didik sebagai kebijakan penting. ”Karena pendidikan, selain melahirkan anak yang memiliki kompetensi, juga memiliki integritas,” katanya.

Meski begitu, Ma’ruf menuturkan, tetap perlu ada alat ukur sebagai pengganti UN. Alat itu penting untuk mengukur kemampuan murid di semua jenjang pendidikan.

Dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta Elin Driana setuju dengan kebijakan Nadiem menghapus UN. Menurut dia, ujian kelulusan bukan solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Sebab, lebih banyak dampak negatifnya. Misalnya, penyempitan kurikulum.

Menjelang UN, pembelajaran biasanya difokuskan pada mata pelajaran yang diujikan. Proses pembelajaran yang semestinya berpusat kepada siswa malah lebih pada latihan soal. Selain itu, ada tekanan berlebihan yang dirasakan siswa dan guru.

”Kalau tetap ada, maka perhatian setiap tahun akan disibukkan oleh penyelenggaraan UN. Itu sangat menyita energi yang sangat luar biasa. Sementara manfaatnya tidak terlalu kita rasakan,” ungkap Elin. Dan, faktanya, penilaian PISA Indonesia malah menurun. ”Jadi, apa korelasinya UN dengan peningkatan mutu pendidikan?” imbuhnya.

UN juga tidak tepat dikatakan sebagai bahan pemetaan pendidikan. Sebab, pelaksanaannya di akhir jenjang pendidikan. Padahal, agar ada masukan dan perbaikan siswa, guru, dan sekolah, evaluasi sebaiknya dilakukan lebih awal. Dengan demikian, setelah mengetahui hasilnya, bisa dilakukan sesuatu. ”Makanya, saya sepakat asesmen dilakukan di fase tersebut (tengah masa jenjang pendidikan, Red),” kata Elin.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : han/wan/c9/c10/fal