29.7 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Keluarga Ajukan Keberatan

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keluarga Vinka Aneliana, mengajukan keberatan atas pemberitaan yang dimuat Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini. Karena pasca tersiarnya informasi tentang dugaan praktik curang dalam ujian satuan pendidikan (USP) tingkat SMA yang dilakukan secara daring itu, berdampak terhadap Vinka. Pasca berita itu tersiar, dia menjadi sasaran pertanyaan teman-temannya. Beberapa di antaranya ada yang mengaku keberatan atas pemberitaan tersebut.

Ikhwal munculnya pemberitaan itu bermula ketika wartawan Jawa Pos Radar Jember, Dian Cahyani, berkunjung ke rumah Vinka. Dian bersama salah seorang temannya bermaksud memperbaiki kamera. Orang tua Vinka memang membuka bengkel perbaikan kamera. Di sana, Dian bertemu dengan Vinka hingga terlibat obrolan. Dalam obrolan yang berlangsung itu, Vinka menceritakan tentang proses USP yang dijalaninya.

Kata dia, soal-soalnya dikerjakan secara daring itu melalui google form. Karena dikerjakan secara daring dari rumah, maka pengawasan ujian menjadi longgar. Kondisi ini yang disebut berpotensi memunculkan adanya kecurangan oleh siswa ketika mengerjakan soal. Karena siswa bisa mengakses mesin pencari Google untuk mendapatkan jawaban.

Mobile_AP_Rectangle 2

Rupanya, setelah informasi tersebut dimuat, sejumlah pelajar banyak yang menghubungi Vinka melalui aplikasi pesan percakapan. Sebagian dari mereka ada yang memprotes dirinya. Padahal, jika di telaah secara menyeluruh, pemberitaan tersebut sebenarnya hanya berisi informasi tentang adanya indikasi atau potensi kecurangan yang terjadi. Tidak menuding pelajar tertentu, atau sekolah tertentu terkait adanya praktik lancung saat ujian tersebut.

Kamis 11 Maret, tepatnya sejak pukul 10.58, pesan yang berisi beragam pertanyaan dan komplain itu mulai diterima Vinka. Banyak teman-temannya yang mengirimkan pesan dengan kata-kata yang bernada bertanya. Sebagian ada yang menyudutkan. Bahkan, ada beberapa teman yang sampai menjauhinya.

Upaya persuasif dilakukan Jawa Pos Radar Jember. Dian Cahyani sampai mendatangi keluarganya di hari itu juga, Kamis 11 Maret. Pendekatan berlanjut di hari berikutnya, Jumat (12/3). Bahkan, Dian sampai mendampingi Vinka ketika dipanggil oleh pihak sekolah. Hanya saja, upaya ini tidak mampu merendam aksi tersebut. “Anak-anak masih memusuhi saya,” kata Vinka, Jumat (12/3).

Perkuat Peran Ortu dan Guru

Perlakuan yang diterima Vinka dari teman-temannya, sebenarnya juga terjadi kepada pelajar yang lain. Bahkan, protes semacam itu juga bisa berkembang ke aksi perundungan. Baik di aplikasi percakapan, media sosial, maupun secara langsung. Untuk itu, orang tua (ortu) siswa dan guru di sekolah diminta menjadi garda terdepan dalam upaya memulihkan trauma siswa yang menjadi korban. Karena mereka yang paling dekat dengan siswa tersebut.

Psikolog Marisa Selvy Helpiana menjelaskan, penguatan penyintas dapat dilakukan oleh orang tua atau guru yang mengetahui kasus ini. Penguatan tersebut dapat berupa penyampaiaan pada penyintas bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. “Bahwa apa yang dilakukan orang lain yang akhirnya berubah menjadi perundungan itu hanya untuk menghindarkan perasaan bersalah mereka saja,” ungkap Icha, sapaannya, kemarin (12/3).

Menurut Icha,untuk menghadapi masalah seperti itu, penyintas perlu menyosialisasikan dan mencari bantuan orang-orang terdekat. Misalnya, jika terjadi di sekolah, maka harus lapor pada guru dan orang tua. Jika dirasa efeknya sudah terlalu jauh, maka disarankan untuk melakukan bantuan secara profesional. “Dan jika langkah ini dirasa tidak ada titik terang, siswa yang bersangkubisa menghubungi telepon pelayanan sosial anak. Sehingga bisa ngobrol dengan nyaman dengan konselor profesan ional yang ramah,” imbuhnya.

Adapun hal yang wajib dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengembalikan kepercayaan diri siswa, adalah dengan menunjukan empati terhadap insiden yang berlangsung. Mereka harus medengarkan serta menghargai dan menyampaikan terimakasih atas apa yang sudah diutarakan. Selain itu, juga menjembatani komunikasi antara pihak yang merundung dengan korban pada waktu yang berbeda.

Harapannya, kata Icha, agar setiap anak dapat merasa dihargai daan memahami alasan dibalik perilaku tersebut. Langkah berikutnya adalah menujukan konsekuensi dari situasi itu. “Masing-masing ada konsekuensinya. Misalnya, korban akan menjadi malu, merasa terpojokkan dan sebagainya. Pelaku juga memperbaiki kesalahannya,” pungkasnya.

 

Reporter:Dian Cahyani
Fotografer:radarjember.id
Editor: Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keluarga Vinka Aneliana, mengajukan keberatan atas pemberitaan yang dimuat Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini. Karena pasca tersiarnya informasi tentang dugaan praktik curang dalam ujian satuan pendidikan (USP) tingkat SMA yang dilakukan secara daring itu, berdampak terhadap Vinka. Pasca berita itu tersiar, dia menjadi sasaran pertanyaan teman-temannya. Beberapa di antaranya ada yang mengaku keberatan atas pemberitaan tersebut.

Ikhwal munculnya pemberitaan itu bermula ketika wartawan Jawa Pos Radar Jember, Dian Cahyani, berkunjung ke rumah Vinka. Dian bersama salah seorang temannya bermaksud memperbaiki kamera. Orang tua Vinka memang membuka bengkel perbaikan kamera. Di sana, Dian bertemu dengan Vinka hingga terlibat obrolan. Dalam obrolan yang berlangsung itu, Vinka menceritakan tentang proses USP yang dijalaninya.

Kata dia, soal-soalnya dikerjakan secara daring itu melalui google form. Karena dikerjakan secara daring dari rumah, maka pengawasan ujian menjadi longgar. Kondisi ini yang disebut berpotensi memunculkan adanya kecurangan oleh siswa ketika mengerjakan soal. Karena siswa bisa mengakses mesin pencari Google untuk mendapatkan jawaban.

Rupanya, setelah informasi tersebut dimuat, sejumlah pelajar banyak yang menghubungi Vinka melalui aplikasi pesan percakapan. Sebagian dari mereka ada yang memprotes dirinya. Padahal, jika di telaah secara menyeluruh, pemberitaan tersebut sebenarnya hanya berisi informasi tentang adanya indikasi atau potensi kecurangan yang terjadi. Tidak menuding pelajar tertentu, atau sekolah tertentu terkait adanya praktik lancung saat ujian tersebut.

Kamis 11 Maret, tepatnya sejak pukul 10.58, pesan yang berisi beragam pertanyaan dan komplain itu mulai diterima Vinka. Banyak teman-temannya yang mengirimkan pesan dengan kata-kata yang bernada bertanya. Sebagian ada yang menyudutkan. Bahkan, ada beberapa teman yang sampai menjauhinya.

Upaya persuasif dilakukan Jawa Pos Radar Jember. Dian Cahyani sampai mendatangi keluarganya di hari itu juga, Kamis 11 Maret. Pendekatan berlanjut di hari berikutnya, Jumat (12/3). Bahkan, Dian sampai mendampingi Vinka ketika dipanggil oleh pihak sekolah. Hanya saja, upaya ini tidak mampu merendam aksi tersebut. “Anak-anak masih memusuhi saya,” kata Vinka, Jumat (12/3).

Perkuat Peran Ortu dan Guru

Perlakuan yang diterima Vinka dari teman-temannya, sebenarnya juga terjadi kepada pelajar yang lain. Bahkan, protes semacam itu juga bisa berkembang ke aksi perundungan. Baik di aplikasi percakapan, media sosial, maupun secara langsung. Untuk itu, orang tua (ortu) siswa dan guru di sekolah diminta menjadi garda terdepan dalam upaya memulihkan trauma siswa yang menjadi korban. Karena mereka yang paling dekat dengan siswa tersebut.

Psikolog Marisa Selvy Helpiana menjelaskan, penguatan penyintas dapat dilakukan oleh orang tua atau guru yang mengetahui kasus ini. Penguatan tersebut dapat berupa penyampaiaan pada penyintas bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. “Bahwa apa yang dilakukan orang lain yang akhirnya berubah menjadi perundungan itu hanya untuk menghindarkan perasaan bersalah mereka saja,” ungkap Icha, sapaannya, kemarin (12/3).

Menurut Icha,untuk menghadapi masalah seperti itu, penyintas perlu menyosialisasikan dan mencari bantuan orang-orang terdekat. Misalnya, jika terjadi di sekolah, maka harus lapor pada guru dan orang tua. Jika dirasa efeknya sudah terlalu jauh, maka disarankan untuk melakukan bantuan secara profesional. “Dan jika langkah ini dirasa tidak ada titik terang, siswa yang bersangkubisa menghubungi telepon pelayanan sosial anak. Sehingga bisa ngobrol dengan nyaman dengan konselor profesan ional yang ramah,” imbuhnya.

Adapun hal yang wajib dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengembalikan kepercayaan diri siswa, adalah dengan menunjukan empati terhadap insiden yang berlangsung. Mereka harus medengarkan serta menghargai dan menyampaikan terimakasih atas apa yang sudah diutarakan. Selain itu, juga menjembatani komunikasi antara pihak yang merundung dengan korban pada waktu yang berbeda.

Harapannya, kata Icha, agar setiap anak dapat merasa dihargai daan memahami alasan dibalik perilaku tersebut. Langkah berikutnya adalah menujukan konsekuensi dari situasi itu. “Masing-masing ada konsekuensinya. Misalnya, korban akan menjadi malu, merasa terpojokkan dan sebagainya. Pelaku juga memperbaiki kesalahannya,” pungkasnya.

 

Reporter:Dian Cahyani
Fotografer:radarjember.id
Editor: Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Keluarga Vinka Aneliana, mengajukan keberatan atas pemberitaan yang dimuat Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini. Karena pasca tersiarnya informasi tentang dugaan praktik curang dalam ujian satuan pendidikan (USP) tingkat SMA yang dilakukan secara daring itu, berdampak terhadap Vinka. Pasca berita itu tersiar, dia menjadi sasaran pertanyaan teman-temannya. Beberapa di antaranya ada yang mengaku keberatan atas pemberitaan tersebut.

Ikhwal munculnya pemberitaan itu bermula ketika wartawan Jawa Pos Radar Jember, Dian Cahyani, berkunjung ke rumah Vinka. Dian bersama salah seorang temannya bermaksud memperbaiki kamera. Orang tua Vinka memang membuka bengkel perbaikan kamera. Di sana, Dian bertemu dengan Vinka hingga terlibat obrolan. Dalam obrolan yang berlangsung itu, Vinka menceritakan tentang proses USP yang dijalaninya.

Kata dia, soal-soalnya dikerjakan secara daring itu melalui google form. Karena dikerjakan secara daring dari rumah, maka pengawasan ujian menjadi longgar. Kondisi ini yang disebut berpotensi memunculkan adanya kecurangan oleh siswa ketika mengerjakan soal. Karena siswa bisa mengakses mesin pencari Google untuk mendapatkan jawaban.

Rupanya, setelah informasi tersebut dimuat, sejumlah pelajar banyak yang menghubungi Vinka melalui aplikasi pesan percakapan. Sebagian dari mereka ada yang memprotes dirinya. Padahal, jika di telaah secara menyeluruh, pemberitaan tersebut sebenarnya hanya berisi informasi tentang adanya indikasi atau potensi kecurangan yang terjadi. Tidak menuding pelajar tertentu, atau sekolah tertentu terkait adanya praktik lancung saat ujian tersebut.

Kamis 11 Maret, tepatnya sejak pukul 10.58, pesan yang berisi beragam pertanyaan dan komplain itu mulai diterima Vinka. Banyak teman-temannya yang mengirimkan pesan dengan kata-kata yang bernada bertanya. Sebagian ada yang menyudutkan. Bahkan, ada beberapa teman yang sampai menjauhinya.

Upaya persuasif dilakukan Jawa Pos Radar Jember. Dian Cahyani sampai mendatangi keluarganya di hari itu juga, Kamis 11 Maret. Pendekatan berlanjut di hari berikutnya, Jumat (12/3). Bahkan, Dian sampai mendampingi Vinka ketika dipanggil oleh pihak sekolah. Hanya saja, upaya ini tidak mampu merendam aksi tersebut. “Anak-anak masih memusuhi saya,” kata Vinka, Jumat (12/3).

Perkuat Peran Ortu dan Guru

Perlakuan yang diterima Vinka dari teman-temannya, sebenarnya juga terjadi kepada pelajar yang lain. Bahkan, protes semacam itu juga bisa berkembang ke aksi perundungan. Baik di aplikasi percakapan, media sosial, maupun secara langsung. Untuk itu, orang tua (ortu) siswa dan guru di sekolah diminta menjadi garda terdepan dalam upaya memulihkan trauma siswa yang menjadi korban. Karena mereka yang paling dekat dengan siswa tersebut.

Psikolog Marisa Selvy Helpiana menjelaskan, penguatan penyintas dapat dilakukan oleh orang tua atau guru yang mengetahui kasus ini. Penguatan tersebut dapat berupa penyampaiaan pada penyintas bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. “Bahwa apa yang dilakukan orang lain yang akhirnya berubah menjadi perundungan itu hanya untuk menghindarkan perasaan bersalah mereka saja,” ungkap Icha, sapaannya, kemarin (12/3).

Menurut Icha,untuk menghadapi masalah seperti itu, penyintas perlu menyosialisasikan dan mencari bantuan orang-orang terdekat. Misalnya, jika terjadi di sekolah, maka harus lapor pada guru dan orang tua. Jika dirasa efeknya sudah terlalu jauh, maka disarankan untuk melakukan bantuan secara profesional. “Dan jika langkah ini dirasa tidak ada titik terang, siswa yang bersangkubisa menghubungi telepon pelayanan sosial anak. Sehingga bisa ngobrol dengan nyaman dengan konselor profesan ional yang ramah,” imbuhnya.

Adapun hal yang wajib dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengembalikan kepercayaan diri siswa, adalah dengan menunjukan empati terhadap insiden yang berlangsung. Mereka harus medengarkan serta menghargai dan menyampaikan terimakasih atas apa yang sudah diutarakan. Selain itu, juga menjembatani komunikasi antara pihak yang merundung dengan korban pada waktu yang berbeda.

Harapannya, kata Icha, agar setiap anak dapat merasa dihargai daan memahami alasan dibalik perilaku tersebut. Langkah berikutnya adalah menujukan konsekuensi dari situasi itu. “Masing-masing ada konsekuensinya. Misalnya, korban akan menjadi malu, merasa terpojokkan dan sebagainya. Pelaku juga memperbaiki kesalahannya,” pungkasnya.

 

Reporter:Dian Cahyani
Fotografer:radarjember.id
Editor: Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca