RADAR JEMBER.ID – Persoalan kekurangan pangan yang dihadapi oleh Indonesia dan beberapa negara lainnya menjadi perhatian serius. Hal itu terjadi karena perubahan cuaca, alih guna lahan pertanian, hingga semakin bertambahnya populasi manusia. Bioteknologi menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini.
Bila terlambat dan tidak ada langkah antisipasi yang tepat mengatasinya, ancaman kelaparan bakal melanda dunia. Pemerintah bersama akademisi sedang mengembangkan pemanfaatan bioteknologi untuk pertanian. Namun, pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetika harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Yakni berlandaskan pada keamanan pangan, keamanan pakan, dan keamanan lingkungan, sebelum masuk ke tahapan komersialisasi.
Pembahasan tentang hasil-hasil penelitian dan perkembangan terbaru di bidang bioteknologi serta permasalahannya mengemuka dalam seminar internasional bertajuk Agricultural Biotechnology and Biosafety selama dua hari di Kampus Tegalboto, (10/7) kemarin.
Seminar hasil kerja sama antara Universitas Jember dengan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia dan CropLife Indonesia ini menghadirkan para akademisi, pemerintah selaku regulator, dan praktisi beserta pelaku bisnis. “Masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin ditimbulkan bagi kesehatan manusia maupun keamanan lingkungan dari produk rekayasa genetika (PRG),” jelas Prof Bambang Sugiharto, ketua panitia kegiatan.
Menurut dia, PRG bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai bahan tanam pada usaha budi daya pertanian. Keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan. “Oleh karena itu, hasil seminar kali ini sekaligus menjadi bahan untuk memberikan literasi bioteknologi dan PRG bagi masyarakat umum,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua CDAST Universitas Jember itu.
Roy Sparingga, anggota Komisi Keamanan Hayati PRG menambahkan, jaminan keamanan produk hasil bioteknologi termasuk PRG mengatakan, pihaknya melakukan pengawasan terhadap semua produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia.
Pengawasan itu dilakukan dengan ketat, baik dari sisi keamanan pangan, pakan, maupun lingkungan. Tujuannya untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin ada. “Sebenarnya PRG sudah masuk ke Indonesia sudah lebih dari 20 tahunan,” ungkapnya.
Misalnya, kedelai yang berasal dari Amerika Serikat yang digunakan sebagai bahan tempe dan tahu. “Selama ini aman dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar mantan kepala BPOM ini.
Winarno Tohir, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indonesia menambahkan, bioteknologi sebagai salah satu antisipasi akan kekurangan pangan. Lahan pertanian di Indonesia semakin menyusut. Namun, di sisi lain ada lahan potensial yang menunggu digarap. “Kita punya 30 juta hektare lahan rawa, 10 juta hektare di antaranya bisa segera dimanfaatkan,” tuturnya.
Begitu juga dengan lahan gambut yang bisa dimanfaatkan. Kedua lahan itu memerlukan teknologi agar bisa diolah dengan baik. Bioteknologi menjadi salah satu jawabannya.
Penjelasan Ketua KTNA Indonesia ini didukung oleh Mastur, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika (BB Biogen) Kementerian Pertanian. “Kementerian Pertanian telah menetapkan target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dengan swasembada pangan di tahun 2045,” paparnya.
Ada tujuh komoditas yang direncanakan mencapai swasembada, tahun 2045 mendatang. Seperti padi, jagung, kedelai, dan lainnya. Untuk itu, perlu dukungan bioteknologi agar target swasembada pangan tercapai. Bioteknologi sendiri tidaklah selalu identik dengan PRG, namun bisa menghasilkan benih tanaman baru atau hibrida seperti yang sudah dilakukan oleh BB Gen untuk benih tanaman padi, jagung, kedelai, jeruk, dan lainnya.
Dukungan pengembangan bioteknologi ini juga diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. “Kami ingin berbagi pengalaman Amerika Serikat di bidang bioteknologi dan berbagai produk rekayasa genetika,“ ucap Gareth McDonald, perwakilan dari Kedubes AS.
Selain itu, ia ingin membuka peluang kerja sama antara akademisi dan peneliti bioteknologi. AS mendatangkan tiga peneliti bioteknologi dari Michigan State University, yakni Prof Karim Maredia, dan dua asistennya, Hashini G. Dissanayake dan Ruth Mbabazi.
Rektor Universitas Jember Moh Hasan berharap, pengembangan bioteknologi itu bisa semakin meneguhkan Unej sebagai perguruan tinggi dengan keunggulan di bidang bioteknologi di Indonesia.
Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa pakar. Antara lain Rhodora R. Aldemita dari Filipina, Satya Nugroho dari LIPI, dan Prof Bahagiawati bersama Prof Bambang Purwantara dari Institut Pertanian Bogor. Tercatat ada 130 peserta yang turut berpartisipasi dari berbagai institusi pendidikan tinggi, lembaga penelitian, dan perusahaan agrobisnis. (*)