25.8 C
Jember
Thursday, 1 June 2023

Pohon di Jember Tinggalkan Luka “Borok”, Mapala Bergerak

Inilah yang menggerakkan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala merawat pohon-pohon tersebut. Apa yang mereka lakukan?

Mobile_AP_Rectangle 1

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – MENGENAKAN baju pakaian dinas harian (PDH) dan scarf di lehernya, sekelompok mahasiswa pencinta alam terlihat sibuk di bawah pohon angsana, kawasan Jl Sumatera, Kecamatan Sumbersari. Bambu yang menempel dengan paku ke batang pohon angsana itu berusaha mereka lepas. Mereka menggunakan pengungkit dan tang untuk mempermudah mencabut paku-paku tersebut.

RAWAT POHON: Mahasiswa pencinta alam Imapala dari STIE Mandala mencabut paku yang tertancap di pohon pinggir jalan.

Secara bergantian, para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Imapala ini terus melepas satu per satu paku yang tertancap tersebut. Paku yang terlihat mudah dicabut diberikan ke anggota yang perempuan. “Ayo coba, giliran perempuan-perempuan ini,” ucap Wafi kepada rekan-rekannya.

Rika, mahasiswa STIE Mandala yang tergabung dalam Imapala, juga mencoba mencabut paku. Tapi, kali ini dia memakai tang. Rika mengaku baru pertama kali ikut terjun dalam aktivitas cabut paku tersebut. “Rasanya itu, kalau pakunya sudah tercabut ada rasa senang dan lega,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini.

Mobile_AP_Rectangle 2

Sebelum kegiatan cabut paku, Rika sejatinya tidak begitu memedulikan kondisi pohon di pinggir jalan. Dia hanya tahu, bila jalan tidak ada pohon, rasanya gersang dan mudah lelah saat berkendara. Dan ketika hujan lebat yang disertai angin kencang ada pohon tumbang, justru menyalahkan pohonnya. Namun, setelah terlibat dalam kegiatan lingkungan ini, Rika menjadi tahu bahwa sebenarnya pohon-pohon itu sedang sakit. Karena terlalu sering dilukai dengan paku. Bahkan ada juga bagian akarnya yang dibakar sehingga rawan tumbang.

Ketua Umum Imapala STIE Mandala Jember Dimas Khoirul Amin menuturkan, kegiatan cabut paku semacam ini sebenarnya telah dilakukan sejak 2019 lalu. Kegiatan yang juga direncanakan setiap tahun itu untuk menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar pada anggota baru. “Namun karena pandemi, kegiatan sempat ditiadakan,” tuturnya.

Kini, ketika pandemi mulai mereda, mereka mencoba kembali menghidupkan kegiatan mengobati pohon dengan cabut paku. “Memaku pohon sama halnya menyakiti pohon,” ujarnya.

Bagi sebagian kecil orang, mereka beranggapan paku kecil itu tidak akan berpengaruh terhadap pohon yang ukurannya jauh lebih besar. Namun, kata dia, pengalaman mahasiswa justru membuktikan berbeda. Banyak pohon yang kondisinya tidak sehat akibat banyaknya paku yang menancap. Bahkan, sampai timbul “borok-borok” pada pohon yang berpotensi menyebabkan pohon itu rusak.

Dimas mengungkapkan, saat kegiatan cabut paku pada 2019 lalu, khususnya di daerah kampus, mulai Jl Sumatera, Jl Jawa, Jl Riau, Jl Mastrip, hingga Jalan Kalimantan, jumlah paku yang terkumpul bisa tiga tas kresek besar. “Pokoknya dapat tiga plastik packing, tapi tidak penuh. Kalau penuh ya sobek. Mungkin ukurannya sama dengan tiga kresek besar,” ungkapnya.

Dalam proses cabut paku tersebut para pedagang yang berjualan di bawah pohon tidak ada yang protes. Meski awalnya mereka khawatir akan ada penolakan dari para pedagang. “Kalau pedagang mendukung, tidak ada penolakan,” imbuhnya.

Pada awalnya mahasiswa hanya mencabut paku, namun belakangan mereka juga membersihkan kawat. Sebab, banyak banner yang menempel di pohon diikat dengan kawat. Kemudian, kawat-kawat itu diganti dengan tali rafia. Dia menegaskan, memaku pohon sama halnya menyakiti pohon. Dan hal itulah yang ia rasakan saat membersihkan paku bersama rekan-rekannya. “Saat paku dicabut dari batang pohon, keluar warna merah seperti darah. Tapi, pada jenis-jenis pohon tertentu,” terangnya.

Bahkan, kata dia, bekas paku yang tertancap itu seperti borok atau luka yang membusuk. “Bagian yang kena paku itu menghitam dan rapuh. Kalau di manusia mungkin itu infeksi atau tetanus,” tuturnya.

Dia menilai, manusia banyak menggantungkan hidup pada pepohonan, karena memasok kebutuhan oksigen setiap harinya. Atas dasar itulah, sudah sepatutnya semuanya ikut menjaga pohon. Dia pun mengajak agar kebiasaan memaku pohon atau aktivitas lain yang dapat merusak agar dihentikan. Agar pepohonan sehat dan makin bermanfaat bagi kehidupan.

Reporter : Dwi Siswanto

Fotografer : Dwi Siswanto

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – MENGENAKAN baju pakaian dinas harian (PDH) dan scarf di lehernya, sekelompok mahasiswa pencinta alam terlihat sibuk di bawah pohon angsana, kawasan Jl Sumatera, Kecamatan Sumbersari. Bambu yang menempel dengan paku ke batang pohon angsana itu berusaha mereka lepas. Mereka menggunakan pengungkit dan tang untuk mempermudah mencabut paku-paku tersebut.

RAWAT POHON: Mahasiswa pencinta alam Imapala dari STIE Mandala mencabut paku yang tertancap di pohon pinggir jalan.

Secara bergantian, para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Imapala ini terus melepas satu per satu paku yang tertancap tersebut. Paku yang terlihat mudah dicabut diberikan ke anggota yang perempuan. “Ayo coba, giliran perempuan-perempuan ini,” ucap Wafi kepada rekan-rekannya.

Rika, mahasiswa STIE Mandala yang tergabung dalam Imapala, juga mencoba mencabut paku. Tapi, kali ini dia memakai tang. Rika mengaku baru pertama kali ikut terjun dalam aktivitas cabut paku tersebut. “Rasanya itu, kalau pakunya sudah tercabut ada rasa senang dan lega,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini.

Sebelum kegiatan cabut paku, Rika sejatinya tidak begitu memedulikan kondisi pohon di pinggir jalan. Dia hanya tahu, bila jalan tidak ada pohon, rasanya gersang dan mudah lelah saat berkendara. Dan ketika hujan lebat yang disertai angin kencang ada pohon tumbang, justru menyalahkan pohonnya. Namun, setelah terlibat dalam kegiatan lingkungan ini, Rika menjadi tahu bahwa sebenarnya pohon-pohon itu sedang sakit. Karena terlalu sering dilukai dengan paku. Bahkan ada juga bagian akarnya yang dibakar sehingga rawan tumbang.

Ketua Umum Imapala STIE Mandala Jember Dimas Khoirul Amin menuturkan, kegiatan cabut paku semacam ini sebenarnya telah dilakukan sejak 2019 lalu. Kegiatan yang juga direncanakan setiap tahun itu untuk menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar pada anggota baru. “Namun karena pandemi, kegiatan sempat ditiadakan,” tuturnya.

Kini, ketika pandemi mulai mereda, mereka mencoba kembali menghidupkan kegiatan mengobati pohon dengan cabut paku. “Memaku pohon sama halnya menyakiti pohon,” ujarnya.

Bagi sebagian kecil orang, mereka beranggapan paku kecil itu tidak akan berpengaruh terhadap pohon yang ukurannya jauh lebih besar. Namun, kata dia, pengalaman mahasiswa justru membuktikan berbeda. Banyak pohon yang kondisinya tidak sehat akibat banyaknya paku yang menancap. Bahkan, sampai timbul “borok-borok” pada pohon yang berpotensi menyebabkan pohon itu rusak.

Dimas mengungkapkan, saat kegiatan cabut paku pada 2019 lalu, khususnya di daerah kampus, mulai Jl Sumatera, Jl Jawa, Jl Riau, Jl Mastrip, hingga Jalan Kalimantan, jumlah paku yang terkumpul bisa tiga tas kresek besar. “Pokoknya dapat tiga plastik packing, tapi tidak penuh. Kalau penuh ya sobek. Mungkin ukurannya sama dengan tiga kresek besar,” ungkapnya.

Dalam proses cabut paku tersebut para pedagang yang berjualan di bawah pohon tidak ada yang protes. Meski awalnya mereka khawatir akan ada penolakan dari para pedagang. “Kalau pedagang mendukung, tidak ada penolakan,” imbuhnya.

Pada awalnya mahasiswa hanya mencabut paku, namun belakangan mereka juga membersihkan kawat. Sebab, banyak banner yang menempel di pohon diikat dengan kawat. Kemudian, kawat-kawat itu diganti dengan tali rafia. Dia menegaskan, memaku pohon sama halnya menyakiti pohon. Dan hal itulah yang ia rasakan saat membersihkan paku bersama rekan-rekannya. “Saat paku dicabut dari batang pohon, keluar warna merah seperti darah. Tapi, pada jenis-jenis pohon tertentu,” terangnya.

Bahkan, kata dia, bekas paku yang tertancap itu seperti borok atau luka yang membusuk. “Bagian yang kena paku itu menghitam dan rapuh. Kalau di manusia mungkin itu infeksi atau tetanus,” tuturnya.

Dia menilai, manusia banyak menggantungkan hidup pada pepohonan, karena memasok kebutuhan oksigen setiap harinya. Atas dasar itulah, sudah sepatutnya semuanya ikut menjaga pohon. Dia pun mengajak agar kebiasaan memaku pohon atau aktivitas lain yang dapat merusak agar dihentikan. Agar pepohonan sehat dan makin bermanfaat bagi kehidupan.

Reporter : Dwi Siswanto

Fotografer : Dwi Siswanto

Editor : Mahrus Sholih

SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – MENGENAKAN baju pakaian dinas harian (PDH) dan scarf di lehernya, sekelompok mahasiswa pencinta alam terlihat sibuk di bawah pohon angsana, kawasan Jl Sumatera, Kecamatan Sumbersari. Bambu yang menempel dengan paku ke batang pohon angsana itu berusaha mereka lepas. Mereka menggunakan pengungkit dan tang untuk mempermudah mencabut paku-paku tersebut.

RAWAT POHON: Mahasiswa pencinta alam Imapala dari STIE Mandala mencabut paku yang tertancap di pohon pinggir jalan.

Secara bergantian, para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Imapala ini terus melepas satu per satu paku yang tertancap tersebut. Paku yang terlihat mudah dicabut diberikan ke anggota yang perempuan. “Ayo coba, giliran perempuan-perempuan ini,” ucap Wafi kepada rekan-rekannya.

Rika, mahasiswa STIE Mandala yang tergabung dalam Imapala, juga mencoba mencabut paku. Tapi, kali ini dia memakai tang. Rika mengaku baru pertama kali ikut terjun dalam aktivitas cabut paku tersebut. “Rasanya itu, kalau pakunya sudah tercabut ada rasa senang dan lega,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember, baru-baru ini.

Sebelum kegiatan cabut paku, Rika sejatinya tidak begitu memedulikan kondisi pohon di pinggir jalan. Dia hanya tahu, bila jalan tidak ada pohon, rasanya gersang dan mudah lelah saat berkendara. Dan ketika hujan lebat yang disertai angin kencang ada pohon tumbang, justru menyalahkan pohonnya. Namun, setelah terlibat dalam kegiatan lingkungan ini, Rika menjadi tahu bahwa sebenarnya pohon-pohon itu sedang sakit. Karena terlalu sering dilukai dengan paku. Bahkan ada juga bagian akarnya yang dibakar sehingga rawan tumbang.

Ketua Umum Imapala STIE Mandala Jember Dimas Khoirul Amin menuturkan, kegiatan cabut paku semacam ini sebenarnya telah dilakukan sejak 2019 lalu. Kegiatan yang juga direncanakan setiap tahun itu untuk menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar pada anggota baru. “Namun karena pandemi, kegiatan sempat ditiadakan,” tuturnya.

Kini, ketika pandemi mulai mereda, mereka mencoba kembali menghidupkan kegiatan mengobati pohon dengan cabut paku. “Memaku pohon sama halnya menyakiti pohon,” ujarnya.

Bagi sebagian kecil orang, mereka beranggapan paku kecil itu tidak akan berpengaruh terhadap pohon yang ukurannya jauh lebih besar. Namun, kata dia, pengalaman mahasiswa justru membuktikan berbeda. Banyak pohon yang kondisinya tidak sehat akibat banyaknya paku yang menancap. Bahkan, sampai timbul “borok-borok” pada pohon yang berpotensi menyebabkan pohon itu rusak.

Dimas mengungkapkan, saat kegiatan cabut paku pada 2019 lalu, khususnya di daerah kampus, mulai Jl Sumatera, Jl Jawa, Jl Riau, Jl Mastrip, hingga Jalan Kalimantan, jumlah paku yang terkumpul bisa tiga tas kresek besar. “Pokoknya dapat tiga plastik packing, tapi tidak penuh. Kalau penuh ya sobek. Mungkin ukurannya sama dengan tiga kresek besar,” ungkapnya.

Dalam proses cabut paku tersebut para pedagang yang berjualan di bawah pohon tidak ada yang protes. Meski awalnya mereka khawatir akan ada penolakan dari para pedagang. “Kalau pedagang mendukung, tidak ada penolakan,” imbuhnya.

Pada awalnya mahasiswa hanya mencabut paku, namun belakangan mereka juga membersihkan kawat. Sebab, banyak banner yang menempel di pohon diikat dengan kawat. Kemudian, kawat-kawat itu diganti dengan tali rafia. Dia menegaskan, memaku pohon sama halnya menyakiti pohon. Dan hal itulah yang ia rasakan saat membersihkan paku bersama rekan-rekannya. “Saat paku dicabut dari batang pohon, keluar warna merah seperti darah. Tapi, pada jenis-jenis pohon tertentu,” terangnya.

Bahkan, kata dia, bekas paku yang tertancap itu seperti borok atau luka yang membusuk. “Bagian yang kena paku itu menghitam dan rapuh. Kalau di manusia mungkin itu infeksi atau tetanus,” tuturnya.

Dia menilai, manusia banyak menggantungkan hidup pada pepohonan, karena memasok kebutuhan oksigen setiap harinya. Atas dasar itulah, sudah sepatutnya semuanya ikut menjaga pohon. Dia pun mengajak agar kebiasaan memaku pohon atau aktivitas lain yang dapat merusak agar dihentikan. Agar pepohonan sehat dan makin bermanfaat bagi kehidupan.

Reporter : Dwi Siswanto

Fotografer : Dwi Siswanto

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca