24.9 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Filosofi Perda Harus Sejalan dengan Pondok

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi pijakan pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi yang berkaitan dengan kepesantrenan. Data di Ditpdpontren Kemenag, total ada 4.452 pesantren yang tersebar di kabupaten/kota se-Jawa Timur. Dan 611 pesantren di antaranya berlokasi di Jember. Jumlah itu pula yang menjadikan Jember menyandang predikat Kota Santri, karena memiliki jumlah pesantren terbanyak se-Jatim.

Baca Juga : Ratusan Miliar Bisa Muspro, Jika Jalan Tetap Dilewati Kendaraan Tambun

Banyaknya pondok pesantren di Jember itu sudah sepatutnya dibuatkan payung regulasi yang mengakomodasi kebutuhan pesantren. Paling tidak, ada bentuk kehadiran pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pola pendidikan di pesantren. Baik dalam hal kedudukan maupun kebutuhan pesantren. Termasuk dukungan anggaran dan perlindungan.

Mobile_AP_Rectangle 2

Sekretaris Umum Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember Abd Hamid Pujiono menuturkan, berkaitan dengan usulan Raperda Pesantren pihaknya sangat menyambut baik hal itu. Akan tetapi, turunan dari UU tersebut harus melalui pembahasan secara detail dan terperinci. Agar kemudian pokok dari UU tersebut tidak sampai mengubah isi dari ajaran-ajaran yang ada di pondok pesantren itu sendiri. “Secara historis, sebenarnya pondok pesantren sudah berdiri sebelum sekolah-sekolah formal itu ada, dan pondok pesantren secara prinsip sudah mandiri dan independen,” ungkap Hamid.

Pihaknya menambahkan, Raperda tentang Pesantren itu nanti harus dibahas dengan melibatkan pimpinan dan tokoh-tokoh pesantren. Baik salaf maupun modern. Agar pokok turunan dari UU Pesantren tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pondok pesantren. “Mereka nanti harus dilibatkan, karena mereka yang tahu betul kondisi di lapangan. Tidak boleh nanti yang membahas ini dari mereka yang tidak paham dengan pondok pesantren atau dari golongan radikal,” imbuhnya.

Selain itu, Hamid mengatakan, lewat perda ini, diharapkan nantinya pemerintah ikut andil dalam mendukung kegiatan-kegiatan pondok pesantren. Kemudian, UU ini tidak boleh mengubah konten dan isi. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan dari UU ini. Kemudian, sosialisasi terlebih dahulu kepada pesantren-pesantren agar mereka paham. “Seperti ma’had ali yang sudah ada di pondok-pondok pesantren yang mencetak santri yang level dan kapasitasnya setara dengan lulusan sekolah tinggi negeri lainnya. Nah, ini yang perlu di-support,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan pemerintah ikut melestarikan kitab-kitab salaf. Sebab, dia mengatakan, akhir-akhir ini banyak golongan yang ingin memperbarui atau mencetak kembali kitab salaf. “Saya mengkhawatirkan, justru pembaruan ini akan menghilangkan kitab-kitab salaf yang sudah banyak dikaji di pondok-pondok pesantren,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jember Muhammad Masykur Abdillah menjelaskan, pihaknya juga mengapresiasi usulan raperda tersebut. Sebab, dengan UU tersebut pondok pesantren tidak menjadi komunitas yang dinomorduakan. “Dengan adanya UU, citra pesantren mulai terangkat. Tetapi, juga harus siap dengan konsekuensinya,” ungkapnya.

Masykur menambahkan, ke depan pemerintah harus melakukan kolaborasi dengan pondok-pondok pesantren dalam penyusunan perda tersebut. Agar perda itu nanti tidak sampai mengubah ciri utama pondok pesantren. “Kalau cuma secara teknisnya itu tidak apa-apa. Tetapi, ketika yang diubah itu berkaitan dengan filosofinya itu tidak boleh,” ungkapnya.

Namun, sebelumnya pihaknya perlu menunggu sosialisasi dari pemerintah berkaitan dengan tujuan perda tersebut. Setelah itu, pihaknya akan berupaya mencari filosofi atau esensi dari perda tersebut, sehingga bisa disatukan dengan filosofi pesantren. “Karena walau bagaimana pun pondok pesantren merupakan barisan terdepan dalam menjaga NKRI. Pesantren tidak akan antipati kepada pemerintah selama pemerintah memahami filosofi pesantren itu,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan dari perda itu nanti bisa men-sup­port sarana dan prasarana, operasional, serta network. Artinya, perda itu bisa membuka jaringan ke perusahaan-perusahaan atau bahkan memberikan peluang untuk menjadikan pondok pesantren tersebut mandiri secara ekonomi. “Sebab, pondok pesantren yang kecil itu masih banyak yang terkendala di operasional, seperti menggaji guru-gurunya. Sebab, kalau operasional mencukupi, mereka akan mudah melanjutkan ke pengelolaan lainnya,” ungkap Masykur.

Selain itu, Masykur menginginkan, perda itu bisa memberikan nilai positif terhadap keberadaan pondok pesantren. “Sehingga tidak ada stigma yang mengatakan pondok pesantren merupakan pendidikan tertinggal. Harus ada program yang memacu perkembangan pesantren itu sendiri,” tuturnya.

Pihaknya juga berharap, dengan perda tersebut nantinya tidak boleh sampai disibukkan dengan urusan administrasi yang justru akan menghilangkan semangat pendidikan pondok pesantren itu sendiri. “Karena sibuk ngurusi administrasi sampek santrinya tidak keurus. Kita juga tidak berharap seperti itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, sejauh ini sudah ada 200 pondok pesantren yang sudah terdata berdasarkan wilayah masing-masing di setiap kecamatan. “Jadi, itu kita petakan, agar kemudian bisa terklasifikasi tipe pesantrennya,” pungkasnya.

 

Jurnalis : mg6
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi pijakan pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi yang berkaitan dengan kepesantrenan. Data di Ditpdpontren Kemenag, total ada 4.452 pesantren yang tersebar di kabupaten/kota se-Jawa Timur. Dan 611 pesantren di antaranya berlokasi di Jember. Jumlah itu pula yang menjadikan Jember menyandang predikat Kota Santri, karena memiliki jumlah pesantren terbanyak se-Jatim.

Baca Juga : Ratusan Miliar Bisa Muspro, Jika Jalan Tetap Dilewati Kendaraan Tambun

Banyaknya pondok pesantren di Jember itu sudah sepatutnya dibuatkan payung regulasi yang mengakomodasi kebutuhan pesantren. Paling tidak, ada bentuk kehadiran pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pola pendidikan di pesantren. Baik dalam hal kedudukan maupun kebutuhan pesantren. Termasuk dukungan anggaran dan perlindungan.

Sekretaris Umum Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember Abd Hamid Pujiono menuturkan, berkaitan dengan usulan Raperda Pesantren pihaknya sangat menyambut baik hal itu. Akan tetapi, turunan dari UU tersebut harus melalui pembahasan secara detail dan terperinci. Agar kemudian pokok dari UU tersebut tidak sampai mengubah isi dari ajaran-ajaran yang ada di pondok pesantren itu sendiri. “Secara historis, sebenarnya pondok pesantren sudah berdiri sebelum sekolah-sekolah formal itu ada, dan pondok pesantren secara prinsip sudah mandiri dan independen,” ungkap Hamid.

Pihaknya menambahkan, Raperda tentang Pesantren itu nanti harus dibahas dengan melibatkan pimpinan dan tokoh-tokoh pesantren. Baik salaf maupun modern. Agar pokok turunan dari UU Pesantren tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pondok pesantren. “Mereka nanti harus dilibatkan, karena mereka yang tahu betul kondisi di lapangan. Tidak boleh nanti yang membahas ini dari mereka yang tidak paham dengan pondok pesantren atau dari golongan radikal,” imbuhnya.

Selain itu, Hamid mengatakan, lewat perda ini, diharapkan nantinya pemerintah ikut andil dalam mendukung kegiatan-kegiatan pondok pesantren. Kemudian, UU ini tidak boleh mengubah konten dan isi. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan dari UU ini. Kemudian, sosialisasi terlebih dahulu kepada pesantren-pesantren agar mereka paham. “Seperti ma’had ali yang sudah ada di pondok-pondok pesantren yang mencetak santri yang level dan kapasitasnya setara dengan lulusan sekolah tinggi negeri lainnya. Nah, ini yang perlu di-support,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan pemerintah ikut melestarikan kitab-kitab salaf. Sebab, dia mengatakan, akhir-akhir ini banyak golongan yang ingin memperbarui atau mencetak kembali kitab salaf. “Saya mengkhawatirkan, justru pembaruan ini akan menghilangkan kitab-kitab salaf yang sudah banyak dikaji di pondok-pondok pesantren,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jember Muhammad Masykur Abdillah menjelaskan, pihaknya juga mengapresiasi usulan raperda tersebut. Sebab, dengan UU tersebut pondok pesantren tidak menjadi komunitas yang dinomorduakan. “Dengan adanya UU, citra pesantren mulai terangkat. Tetapi, juga harus siap dengan konsekuensinya,” ungkapnya.

Masykur menambahkan, ke depan pemerintah harus melakukan kolaborasi dengan pondok-pondok pesantren dalam penyusunan perda tersebut. Agar perda itu nanti tidak sampai mengubah ciri utama pondok pesantren. “Kalau cuma secara teknisnya itu tidak apa-apa. Tetapi, ketika yang diubah itu berkaitan dengan filosofinya itu tidak boleh,” ungkapnya.

Namun, sebelumnya pihaknya perlu menunggu sosialisasi dari pemerintah berkaitan dengan tujuan perda tersebut. Setelah itu, pihaknya akan berupaya mencari filosofi atau esensi dari perda tersebut, sehingga bisa disatukan dengan filosofi pesantren. “Karena walau bagaimana pun pondok pesantren merupakan barisan terdepan dalam menjaga NKRI. Pesantren tidak akan antipati kepada pemerintah selama pemerintah memahami filosofi pesantren itu,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan dari perda itu nanti bisa men-sup­port sarana dan prasarana, operasional, serta network. Artinya, perda itu bisa membuka jaringan ke perusahaan-perusahaan atau bahkan memberikan peluang untuk menjadikan pondok pesantren tersebut mandiri secara ekonomi. “Sebab, pondok pesantren yang kecil itu masih banyak yang terkendala di operasional, seperti menggaji guru-gurunya. Sebab, kalau operasional mencukupi, mereka akan mudah melanjutkan ke pengelolaan lainnya,” ungkap Masykur.

Selain itu, Masykur menginginkan, perda itu bisa memberikan nilai positif terhadap keberadaan pondok pesantren. “Sehingga tidak ada stigma yang mengatakan pondok pesantren merupakan pendidikan tertinggal. Harus ada program yang memacu perkembangan pesantren itu sendiri,” tuturnya.

Pihaknya juga berharap, dengan perda tersebut nantinya tidak boleh sampai disibukkan dengan urusan administrasi yang justru akan menghilangkan semangat pendidikan pondok pesantren itu sendiri. “Karena sibuk ngurusi administrasi sampek santrinya tidak keurus. Kita juga tidak berharap seperti itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, sejauh ini sudah ada 200 pondok pesantren yang sudah terdata berdasarkan wilayah masing-masing di setiap kecamatan. “Jadi, itu kita petakan, agar kemudian bisa terklasifikasi tipe pesantrennya,” pungkasnya.

 

Jurnalis : mg6
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi pijakan pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi yang berkaitan dengan kepesantrenan. Data di Ditpdpontren Kemenag, total ada 4.452 pesantren yang tersebar di kabupaten/kota se-Jawa Timur. Dan 611 pesantren di antaranya berlokasi di Jember. Jumlah itu pula yang menjadikan Jember menyandang predikat Kota Santri, karena memiliki jumlah pesantren terbanyak se-Jatim.

Baca Juga : Ratusan Miliar Bisa Muspro, Jika Jalan Tetap Dilewati Kendaraan Tambun

Banyaknya pondok pesantren di Jember itu sudah sepatutnya dibuatkan payung regulasi yang mengakomodasi kebutuhan pesantren. Paling tidak, ada bentuk kehadiran pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pola pendidikan di pesantren. Baik dalam hal kedudukan maupun kebutuhan pesantren. Termasuk dukungan anggaran dan perlindungan.

Sekretaris Umum Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember Abd Hamid Pujiono menuturkan, berkaitan dengan usulan Raperda Pesantren pihaknya sangat menyambut baik hal itu. Akan tetapi, turunan dari UU tersebut harus melalui pembahasan secara detail dan terperinci. Agar kemudian pokok dari UU tersebut tidak sampai mengubah isi dari ajaran-ajaran yang ada di pondok pesantren itu sendiri. “Secara historis, sebenarnya pondok pesantren sudah berdiri sebelum sekolah-sekolah formal itu ada, dan pondok pesantren secara prinsip sudah mandiri dan independen,” ungkap Hamid.

Pihaknya menambahkan, Raperda tentang Pesantren itu nanti harus dibahas dengan melibatkan pimpinan dan tokoh-tokoh pesantren. Baik salaf maupun modern. Agar pokok turunan dari UU Pesantren tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pondok pesantren. “Mereka nanti harus dilibatkan, karena mereka yang tahu betul kondisi di lapangan. Tidak boleh nanti yang membahas ini dari mereka yang tidak paham dengan pondok pesantren atau dari golongan radikal,” imbuhnya.

Selain itu, Hamid mengatakan, lewat perda ini, diharapkan nantinya pemerintah ikut andil dalam mendukung kegiatan-kegiatan pondok pesantren. Kemudian, UU ini tidak boleh mengubah konten dan isi. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan dari UU ini. Kemudian, sosialisasi terlebih dahulu kepada pesantren-pesantren agar mereka paham. “Seperti ma’had ali yang sudah ada di pondok-pondok pesantren yang mencetak santri yang level dan kapasitasnya setara dengan lulusan sekolah tinggi negeri lainnya. Nah, ini yang perlu di-support,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan pemerintah ikut melestarikan kitab-kitab salaf. Sebab, dia mengatakan, akhir-akhir ini banyak golongan yang ingin memperbarui atau mencetak kembali kitab salaf. “Saya mengkhawatirkan, justru pembaruan ini akan menghilangkan kitab-kitab salaf yang sudah banyak dikaji di pondok-pondok pesantren,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jember Muhammad Masykur Abdillah menjelaskan, pihaknya juga mengapresiasi usulan raperda tersebut. Sebab, dengan UU tersebut pondok pesantren tidak menjadi komunitas yang dinomorduakan. “Dengan adanya UU, citra pesantren mulai terangkat. Tetapi, juga harus siap dengan konsekuensinya,” ungkapnya.

Masykur menambahkan, ke depan pemerintah harus melakukan kolaborasi dengan pondok-pondok pesantren dalam penyusunan perda tersebut. Agar perda itu nanti tidak sampai mengubah ciri utama pondok pesantren. “Kalau cuma secara teknisnya itu tidak apa-apa. Tetapi, ketika yang diubah itu berkaitan dengan filosofinya itu tidak boleh,” ungkapnya.

Namun, sebelumnya pihaknya perlu menunggu sosialisasi dari pemerintah berkaitan dengan tujuan perda tersebut. Setelah itu, pihaknya akan berupaya mencari filosofi atau esensi dari perda tersebut, sehingga bisa disatukan dengan filosofi pesantren. “Karena walau bagaimana pun pondok pesantren merupakan barisan terdepan dalam menjaga NKRI. Pesantren tidak akan antipati kepada pemerintah selama pemerintah memahami filosofi pesantren itu,” ungkapnya.

Kemudian, diharapkan dari perda itu nanti bisa men-sup­port sarana dan prasarana, operasional, serta network. Artinya, perda itu bisa membuka jaringan ke perusahaan-perusahaan atau bahkan memberikan peluang untuk menjadikan pondok pesantren tersebut mandiri secara ekonomi. “Sebab, pondok pesantren yang kecil itu masih banyak yang terkendala di operasional, seperti menggaji guru-gurunya. Sebab, kalau operasional mencukupi, mereka akan mudah melanjutkan ke pengelolaan lainnya,” ungkap Masykur.

Selain itu, Masykur menginginkan, perda itu bisa memberikan nilai positif terhadap keberadaan pondok pesantren. “Sehingga tidak ada stigma yang mengatakan pondok pesantren merupakan pendidikan tertinggal. Harus ada program yang memacu perkembangan pesantren itu sendiri,” tuturnya.

Pihaknya juga berharap, dengan perda tersebut nantinya tidak boleh sampai disibukkan dengan urusan administrasi yang justru akan menghilangkan semangat pendidikan pondok pesantren itu sendiri. “Karena sibuk ngurusi administrasi sampek santrinya tidak keurus. Kita juga tidak berharap seperti itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, sejauh ini sudah ada 200 pondok pesantren yang sudah terdata berdasarkan wilayah masing-masing di setiap kecamatan. “Jadi, itu kita petakan, agar kemudian bisa terklasifikasi tipe pesantrennya,” pungkasnya.

 

Jurnalis : mg6
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca