23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

UN Dihapus, Perlu Standardisasi Kelulusan

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejak Kementerian Pendidikan memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN) dan menyerahkan wewenang kelulusan siswa ke masing-masing sekolah, maka sudah tidak ada lagi campur tangan pemerintah untuk terlibat dalam memutuskan lulus tidaknya siswa. Hanya saja, kebijakan ini perlu diikuti petunjuk teknis lanjutan agar ada standardisasi kelulusan yang dipakai rujukan sekolah.

Sebenarnya, sejumlah pihak menilai penghapusan UN itu sebagai keputusan yang tepat. Terlebih, di situasi darurat seperti saat ini. Namun, jika seluruh wewenang itu dilimpahkan ke sekolah tanpa ada ketentuan baku yang berlaku menyeluruh, dikhawatirkan justru menyulitkan siswa di kemudian hari. Terutama untuk pelajar SMA-SMK atau setaranya.

Bagi mereka yang lulus dan langsung bekerja, tidak menjadi masalah. Namun, bagi yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri (PTN) persoalannya berbeda. Sebab, setiap tahun, PTN membuka tes seleksi dengan bermacam jalur yang menjadi pilihan bagi calon mahasiswa. “Sebenarnya, pemerintah bisa berperan dalam standardisasi penilaian melalui keputusan menteri,” kata Prof Dafik, Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Mobile_AP_Rectangle 2

Ia membenarkan, pemerintah memang tidak mengambil peran sebagai examiner atau penguji kelulusan siswa. Namun, kata dia, bukan berarti standar penilaian menjadi tidak valid. Sehingga, menurutnya, harus ada standardisasi penilaian yang bisa menjadi acuan bagi penyelenggara pendidikan. Hal itu untuk menyeragamkan sebagai ketentuan baku.

Selain itu, standardisasi ini juga penting sebagai penekanan pada sistem baru pasca penghapusan UN. Ini agar pelaksanaan pendidikan tidak terkesan berjalan di luar kendali pemerintah. Kendati dosen yang juga menjabat Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej itu sepakat UN dihapus, namun bukan berarti pemerintah lepas dan membiarkan sistem baru tersebut tanpa kontrol. Oleh karenanya, ia menilai, standardisasi kelulusan itu perlu dirumuskan.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jember Supriyono juga berpendapat sama. Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang tiba-tiba ini tak diikuti dengan aturan lanjutan yang sifatnya lebih teknis. Sehingga, kesan yang muncul keputusan penghapusan UN tersebut merupakan kebijakan terburu-buru tanpa ada persiapan matang.

Ia menegaskan, kebijakan itu harus sesuai dengan wacana awal Kementerian Pendidikan, yaitu adanya asesmen kompetensi minimal (AKM). Di dalamnya mencakup survei karakter, penilaian literasi, bakat, dan numerik. Jadi, guru yang mengajar dan menilai, sementara sekolah yang menentukan lulus tidaknya. “Ini nanti merembet saat mereka ikut seleksi masuk PTN. Sehingga perlu juga dikaji standardisasi tersebut,” pungkasnya.

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejak Kementerian Pendidikan memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN) dan menyerahkan wewenang kelulusan siswa ke masing-masing sekolah, maka sudah tidak ada lagi campur tangan pemerintah untuk terlibat dalam memutuskan lulus tidaknya siswa. Hanya saja, kebijakan ini perlu diikuti petunjuk teknis lanjutan agar ada standardisasi kelulusan yang dipakai rujukan sekolah.

Sebenarnya, sejumlah pihak menilai penghapusan UN itu sebagai keputusan yang tepat. Terlebih, di situasi darurat seperti saat ini. Namun, jika seluruh wewenang itu dilimpahkan ke sekolah tanpa ada ketentuan baku yang berlaku menyeluruh, dikhawatirkan justru menyulitkan siswa di kemudian hari. Terutama untuk pelajar SMA-SMK atau setaranya.

Bagi mereka yang lulus dan langsung bekerja, tidak menjadi masalah. Namun, bagi yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri (PTN) persoalannya berbeda. Sebab, setiap tahun, PTN membuka tes seleksi dengan bermacam jalur yang menjadi pilihan bagi calon mahasiswa. “Sebenarnya, pemerintah bisa berperan dalam standardisasi penilaian melalui keputusan menteri,” kata Prof Dafik, Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Ia membenarkan, pemerintah memang tidak mengambil peran sebagai examiner atau penguji kelulusan siswa. Namun, kata dia, bukan berarti standar penilaian menjadi tidak valid. Sehingga, menurutnya, harus ada standardisasi penilaian yang bisa menjadi acuan bagi penyelenggara pendidikan. Hal itu untuk menyeragamkan sebagai ketentuan baku.

Selain itu, standardisasi ini juga penting sebagai penekanan pada sistem baru pasca penghapusan UN. Ini agar pelaksanaan pendidikan tidak terkesan berjalan di luar kendali pemerintah. Kendati dosen yang juga menjabat Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej itu sepakat UN dihapus, namun bukan berarti pemerintah lepas dan membiarkan sistem baru tersebut tanpa kontrol. Oleh karenanya, ia menilai, standardisasi kelulusan itu perlu dirumuskan.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jember Supriyono juga berpendapat sama. Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang tiba-tiba ini tak diikuti dengan aturan lanjutan yang sifatnya lebih teknis. Sehingga, kesan yang muncul keputusan penghapusan UN tersebut merupakan kebijakan terburu-buru tanpa ada persiapan matang.

Ia menegaskan, kebijakan itu harus sesuai dengan wacana awal Kementerian Pendidikan, yaitu adanya asesmen kompetensi minimal (AKM). Di dalamnya mencakup survei karakter, penilaian literasi, bakat, dan numerik. Jadi, guru yang mengajar dan menilai, sementara sekolah yang menentukan lulus tidaknya. “Ini nanti merembet saat mereka ikut seleksi masuk PTN. Sehingga perlu juga dikaji standardisasi tersebut,” pungkasnya.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sejak Kementerian Pendidikan memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN) dan menyerahkan wewenang kelulusan siswa ke masing-masing sekolah, maka sudah tidak ada lagi campur tangan pemerintah untuk terlibat dalam memutuskan lulus tidaknya siswa. Hanya saja, kebijakan ini perlu diikuti petunjuk teknis lanjutan agar ada standardisasi kelulusan yang dipakai rujukan sekolah.

Sebenarnya, sejumlah pihak menilai penghapusan UN itu sebagai keputusan yang tepat. Terlebih, di situasi darurat seperti saat ini. Namun, jika seluruh wewenang itu dilimpahkan ke sekolah tanpa ada ketentuan baku yang berlaku menyeluruh, dikhawatirkan justru menyulitkan siswa di kemudian hari. Terutama untuk pelajar SMA-SMK atau setaranya.

Bagi mereka yang lulus dan langsung bekerja, tidak menjadi masalah. Namun, bagi yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri (PTN) persoalannya berbeda. Sebab, setiap tahun, PTN membuka tes seleksi dengan bermacam jalur yang menjadi pilihan bagi calon mahasiswa. “Sebenarnya, pemerintah bisa berperan dalam standardisasi penilaian melalui keputusan menteri,” kata Prof Dafik, Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Ia membenarkan, pemerintah memang tidak mengambil peran sebagai examiner atau penguji kelulusan siswa. Namun, kata dia, bukan berarti standar penilaian menjadi tidak valid. Sehingga, menurutnya, harus ada standardisasi penilaian yang bisa menjadi acuan bagi penyelenggara pendidikan. Hal itu untuk menyeragamkan sebagai ketentuan baku.

Selain itu, standardisasi ini juga penting sebagai penekanan pada sistem baru pasca penghapusan UN. Ini agar pelaksanaan pendidikan tidak terkesan berjalan di luar kendali pemerintah. Kendati dosen yang juga menjabat Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej itu sepakat UN dihapus, namun bukan berarti pemerintah lepas dan membiarkan sistem baru tersebut tanpa kontrol. Oleh karenanya, ia menilai, standardisasi kelulusan itu perlu dirumuskan.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jember Supriyono juga berpendapat sama. Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang tiba-tiba ini tak diikuti dengan aturan lanjutan yang sifatnya lebih teknis. Sehingga, kesan yang muncul keputusan penghapusan UN tersebut merupakan kebijakan terburu-buru tanpa ada persiapan matang.

Ia menegaskan, kebijakan itu harus sesuai dengan wacana awal Kementerian Pendidikan, yaitu adanya asesmen kompetensi minimal (AKM). Di dalamnya mencakup survei karakter, penilaian literasi, bakat, dan numerik. Jadi, guru yang mengajar dan menilai, sementara sekolah yang menentukan lulus tidaknya. “Ini nanti merembet saat mereka ikut seleksi masuk PTN. Sehingga perlu juga dikaji standardisasi tersebut,” pungkasnya.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca