SUMBERSARI, Radar Jember – Kegaduhan atas anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) senilai Rp 100 miliar yang diusulkan DPRD Jember terus memantik sorotan dari sejumlah parpol besar di Jember. Setelah PDIP Jember menyatakan sikap resmi bahwa pokir merupakan agenda politik kolonial mengadu domba antaranggota DPRD, berikutnya disusul oleh PKB yang menilai isu anggaran digulirkan untuk agenda menutup persoalan sisa era pemerintahan sebelumnya, era Bupati Faida. “Kami curiga pokir sengaja dimunculkan untuk menutup isu besar, warisan masa lalu. Kayaknya ada skenario besar, seakan-akan DPRD ada bancakan, melupakan masalah-masalah yang ada,” kata Ketua DPC PKB Jember M Ayub Junaidi.
Mantan wakil ketua DPRD Jember ini menilai, efek mencuatnya soal pokir selama beberapa hari belakangan ini telah berdampak buruk bagi citra DPRD. Menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga wakil rakyat, hingga memicu konflik di internal dewan. Sebab, terkesan DPRD seolah-olah menjadi target dari upaya pembusukan oleh sekelompok orang tertentu supaya rakyat tidak percaya lagi.
Namun demikian, sambung Ayub, sebenarnya PKB diakuinya tetap setuju dengan pokir. Sebab, merupakan hak anggota dewan untuk meneruskan aspirasi konstituen. Selain sudah menjadi amanah dalam undang-undang, kini pokir telah disahkan masuk dalam bagian APBD Jember 2022. “Seharusnya pokir ini menjadi corong yang menyerap aspirasi masyarakat dan memperjuangkan aspirasi masyarakat itu,” sebutnya.
Lebih jauh, Ayub juga menjabarkan bagaimana alur pokir itu sedari awal. Pertama, melalui hasil reses, ada yang minta jalan, mengusulkan pendidikan, renovasi pesantren, dan sebagainya. Kemudian, ditampung anggota DPRD sebelum pelaksanaan Musrenbang. Setelah itu, ada RKPD, lalu disusul KUAPPAS dibahas dengan DPRD. “Jadi, sungguh aneh kalau ada anggota DPRD menanyakan, pokir kok berkurang atau tidak lolos,” katanya.
Seharusnya, kata Ayub, ketika hal itu mencuat atau ada kekurangan dan sebagainya, anggota DPRD bisa mengundang secara resmi Bappekab dan tim anggaran untuk membahas duduk permasalahannya. “Saya yakin hal-hal semacam itu tidak mungkin ada kegaduhan jika tidak ada api di dalamnya,” urai Ayub.
Seperti diketahui, dana pokir Rp 100 miliar merupakan akumulasi atau jumlah total dari seluruh anggaran yang bakal dipergunakan untuk mendanai proyek pokir. Datanya termuat dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD). Sebanyak 50 anggota dewan memohon 526 paket proyek pokir senilai total Rp 58,8 miliar. Namun, dalam RKPD verifikasi versi Bappeda memuat 511 usulan senilai total Rp 60,5 miliar. Berbeda lagi hasil validasi OPD teknis yang justru membuat turun jumlah usulan menjadi 461 paket, tetapi nominal anggaran justru membengkak hingga Rp 100,4 miliar.
Fraksi Gerakan Indonesia Berkarya (GIB) kebagian jatah terbesar senilai Rp 17,3 miliar; Fraksi NasDem senilai Rp 16 miliar; Fraksi PKB senilai Rp 15,7 miliar; Fraksi PDIP senilai Rp 13,7 miliar; Fraksi PPP senilai Rp 13,5 miliar; Fraksi PKS senilai Rp 13 miliar; dan Fraksi Pandekar senilai Rp 11,2 miliar.
Sejumlah anggota DPRD mengutarakan protes karena porsi pembagian dana pokir timpang antara satu orang dengan yang lainnya. Disebut-sebut ada pengistimewaan kepada beberapa anggota dewan yang mendulang paket terbanyak dan nilai pokir terbesar. “Porsi yang tidak merata dan ada pengistimewaan ini di kalangan terdekat, ini akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” kata Edy Cahyo Purnomo, Ketua Fraksi PDIP Jember, kala memberikan pernyataan terbuka soal pokir, beberapa hari kemarin.
Seperti halnya PKB, PDIP yang juga partai nonkoalisi pada pemerintahan hari ini menyerukan agar pemerintah daerah seharusnya mengakomodasi kebutuhan dewan terhadap konstituennya dan mengomunikasikan secara intens. Komitmen strategis yang semestinya dijalankan eksekutif dan legislatif seharusnya tidak sampai kalah dengan kebijakan teknis yang dijalankan lembaga di bawah pemerintahan daerah. (mau/c2/nur)