JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sektor kesehatan menjadi isu yang paling disorot oleh organisasi masyarakat sipil yang diundang oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemkab Jember. Sebab, hingga kini angka kematian ibu dan bayi (AKI/AKB) di Jember masih cukup tinggi. Bahkan menjadi yang tertinggi di Jawa Timur.
Sebanyak 15 organisasi yang diundang ini khusus membahas isu sustainable development goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan. Setiap lembaga yang hadir diminta memberikan usulan mengenai problem di bidang sosial yang nantinya akan menjadi pertimbangan dalam perumusan RPJMD.
Dalam pembahasan itu mencuat tingginya AKI/AKB di Jember salah satu penyumbangnya adalah tingginya angka pernikahan dini. Kasus kawin muda ini memiliki efek berantai. Tak hanya terhadap meningkatnya AKI/AKB. Tapi, juga kualitas ekonomi keluarga yang rendah serta tingginya angka perceraian.
“Pengaruhnya pada kesejahteraan ekonomi. Ini menjadi problem yang penting untuk diatasi,” ungkap Titin Suatinah dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jember, dalam forum yang berlangsung di salah satu ruang pertemuan Gedung Pemkab Jember, kemarin (19/5).
Tenaga Ahli Penyusun RPJMD Agung Dewantoro mengungkapkan, angka AKI/AKB yang terus naik mengindikasikan bahwa penanganan yang sudah dilakukan selama ini belum efektif. Dia menilai, kalau dilihat di lapangan, sebenarnya akses kesehatan bagi ibu hamil sudah terwadahi. Fasilitasnya juga sudah baik. Namun, jika angka kasusnya tetap naik, kata dia, ini menandakan selama ini penanganannya belum menyentuh ke masalah krusial. “Ada sesuatu yang belum terpotret,” ungkapnya.
Agung menjelaskan, sejatinya Dinas Kesehatan Jember telah mengantongi data by name by dress ibu hamil di kabupaten setempat. Namun, walaupun data sudah dikantongi, tetap tidak ada perubahan yang signifikan di masyarakat. “Kasusnya saja yang banyak. Tapi intervensinya tidak membuahkan hasil,” tuturnya.
Selanjutnya, Agung menegaskan bahwa SDGs ini merupakan pakem pembangunan berkelanjutan bagi daerah. Karena itu, adanya rapat dengar aspirasi dan pendapat para penggerak masyarakat sipil itu diharapkan bisa menemukan solusi yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan.
Agung menargetkan, draf RPJMD akan rampung dalam waktu dekat ini. “Yang jelas, program-program itu menjadi masalah prioritas. Nantinya kami akan merumuskan alternatif yang efektif,” pungkasnya.
NGO Sayangkan Program Terhenti
Dalam proses penyusunan RPJMD, pemerintah diminta menampung semua masukan dari elemen masyarakat. Pada proses inilah semua elemen masyarakat yang terwakili oleh non government organization (NGO) urun rembuk dengan pemerintah setempat. Tak hanya usulan, NGO juga berhak untuk memberikan evaluasi terhadap program-program sebelumnya.
Selain permasalahan AKI/AKB, sektor pendidikan dan sosial yang masih belum terintegrasi secara baik juga turut diulas. Banyaknya program pendidikan dan sosial yang telah dikampanyekan tidak berkelanjutan. Hal inilah yang menyebabkan masalah-masalah sosial di masyarakat tidak teratasi.
Founder Komunitas Tanoker Ledokombo, Farha Ciciek, menyebut bahwa sebelumnya banyak program yang telah digagas pada sektor pendidikan dan sosial tidak berjalan secara maksimal dan berkelanjutan. “Selama ini program macam-macam, tapi tidak ada keberlanjutannya. Ini yang menjadi tantangan kita. Jika tidak ada sustainable-nya, maka program ini akan menjadi program semusim,” ujarnya.
Berkenaan dengan pendidikan, Ciciek juga mengungkapkan bahwa pendidikan tidak hanya mengacu pada anak-anak. Namun, orang dewasa juga berhak mendapatkan pendidikan. Dengan acuan, memiliki pemahaman tentang mendidik anak yang baik.
“Sesuai dengan program SDGs one left behind, maka pendidikan orang dewasa juga harus diperhatikan. Tujuannya juga bisa mengikis angka pernikahan dini dan mendukung tingkat pendidikan anak yang lebih tinggi,” jelentrehnya.
Direktur Stapa Center Ari Andriana mengungkapkan bahwa adanya program Desa Layak Anak yang saat ini sudah berlangsung di 60 persen tak menimbulkan dampak yang signifikan. Sebabnya, program tersebut hanya on paper.
Karena itu, pihaknya meminta hal yang penting adalah upaya untuk mentransformasi program secara nyata dan berkelanjutan. Bukan sekadar formalitas saja. “Perspektifnya belum masuk dalam pemahaman pemerintah desa atau pemerintah kecamatan. Sehingga tingkat kepedulian pada isu anak, pekerja anak, dan kaitannya dengan pendidikan anak, masih kecil,” ungkapnya lagi.
Jurnalis : Dian Cahyani, Mahrus Sholih
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti