JEMBER, RADARJEMBER.ID – Porsi proyek melalui usulan anggota dewan yang biasa disebut pokok-pokok pikiran atau pokir, belakangan mencuat ke publik. Masalahnya, ada pembagian yang tidak merata. Kondisi itu membuat suasana di internal DPRD Jember diterpa isu pilih kasih.
Baca Juga : THR ASN Jember Tembus Rp 54 Miliar
Data yang terhimpun, total anggaran pokir untuk tahun 2022 ini sekitar Rp 100 miliar. Namun, dari 50 orang anggota wakil rakyat di Jember ini, ternyata menuai anggaran yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Malah ada yang tidak kebagian sama sekali. “Punya saya, usul Rp 1,5 miliar terdiri atas sekitar 12 paket atau program. Tapi zonk (hangus, Red), tentu ini sangat merugikan saya,” kata Sunardi, anggota Komisi A DPRD Jember, ketika dikonfirmasi (18/4).
Legislator dari Partai Gerindra itu mengakui kondisi tersebut sempat ada perdebatan dalam grup internal DPRD. Sebab, proyek pokir untuk masing-masing legislator terjadi ketimpangan dari sisi nominal anggarannya. Sunardi sendiri sebelumnya telah mengajukan 12 paket dari usulan masyarakat sebagai hasil kegiatan reses. Namun, dia juga yang tidak kebagian. “Ada yang diistimewakan. Contohnya itu ada yang sampai berapa miliar,” sesal Sunardi.
Dia menduga, komunikasi antara pemerintah daerah dengan DPRD itu kurang saklek. Karenanya, ketika usulan itu diajukan tahun 2021 lalu, tidak ada konfirmasi apakah diterima masuk atau tidak. Justru diketahui setelah tahun 2022 dan sudah ditetapkan, berikut usulan yang disetujui. Hal itu dinilainya sangat merugikan anggota dewan. “Ini yang disebut tidak kooperatifnya pemerintah daerah dengan DPRD. Pertanyaan saya, mengapa ada yang masuk justru over nilainya? Itu pun tidak ada teguran,” sambung Sunardi.
Dari data yang dihimpun Jawa Pos Radar Jember, usulan terbanyak pertama yakni dari anggota Komisi A DPRD Jember Try Sandi Apriana. Dari 53 paket yang diajukan, disetujui 27 paket. Politisi Partai Demokrat itu bakal mendulang dana pokir keseluruhan sebesar Rp 4,4 miliar. Berikutnya, disusul politisi PKS Mashuri Harianto dengan 25 paket senilai Rp 2 miliar, lalu politisi NasDem Dedy Dwi Setiawan juga 25 paket senilai Rp 2,6 miliar, politisi Gerindra Hasan Basuki 22 paket senilai Rp 6,1 miliar. Dan politisi PPP Sugiyono Yongki Wibowo 21 paket senilai Rp 1,5 miliar.
Di bawahnya, politisi PDIP Edi Cahyo Purnomo 19 paket senilai Rp 3 miliar, politisi PKB Itqon Syauqi 19 paket senilai Rp 6 miliar; politisi NasDem Retno Asih Juwitasari 16 paket senilai Rp 4,9 miliar. Selanjutnya, politisi PKS Ahmad Dhafir Syah 14 paket senilai Rp 2,7 miliar, politisi PKB Mufid 13 paket senilai Rp 1,8 miliar; politisi Gerindra Ahmad Halim 11 paket senilai Rp 2,4 miliar, politisi PAN Nyoman Aribowo 11 paket senilai Rp 1,5 miliar, politisi Gerindra Suharyatik senilai Rp 2,1 miliar, dan politisi Berkarya Ghofir 11 paket senilai Rp 1,7 miliar.
Sementara, untuk proyek pokir dengan jumlah antara 1-10 paket, nominal anggarannya justru ada yang mencolok. Seperti politisi PPP Imron Baihaqi dengan 9 paket senilai Rp 6,8 miliar, politisi NasDem Kristian Andi Kurniawan dengan 9 paket senilai Rp 3,9 miliar, politisi PKB Ghufron 5 paket senilai Rp 3,6 miliar, politisi PDIP Danang Kurniawan 10 paket senilai Rp 2,6 miliar, dan politisi Golkar Mujiburrahman Sucipto 7 paket senilai Rp 2,2 miliar.
Selain menimpa Sunardi, nasib apes juga dialami wakil rakyat yang hanya kebagian dana pokir antara Rp 200–500 juta. Yakni Siswono dan Alfian Andri Wijaya, yang merupakan koleganya di Gerindra. Berikutnya politisi NasDem Gembong Konsul Alam dan David Handoko Seto, politisi PKB Muhammad Hafidi dan Mohamad Alwi, politisi PAN Agus Khoironi, serta politisi Demokrat Agusta Jaka Purwana.
Sunardi menambahkan, dampak dari pokir yang tidak proporsional akan membuat publik curiga, termasuk merugikan dewan karena dirasa telah mencederai konstituennya. Sebab, pokir berasal dari permintaan masyarakat sewaktu reses bersama anggota dewan. Dia memperkirakan, Pemkab Jember sengaja berlaku tidak adil karena ingin memberi perlakuan secara berbeda. “Nanti dianggap bohong, bisa tidak percaya lagi. Kami dinilai tidak mempertanggungjawabkan aspirasi saat reses kami,” sambatnya.
Mengenai pergeseran anggaran itu, dari ratusan juta ke miliaran, dan ada yang miliaran turun ke ratusan juta, Kepala Bappeda Jember Hadi Mulyono sempat angkat bicara, kemarin. Bappeda yang semestinya bertugas memverifikasi pokir, belum begitu yakin ketika dana pokir disetujui total keseluruhan sekitar Rp 100 miliar. “Makanya, kalau bulat Rp 100 miliar itu, kok belum yakin. Makanya ini temen-temen tak suruh kroscek itu,” kata Hadi, kemarin.
Dalam data juga diketahui, hasil verifikasi Bappeda dan OPD teknis, dari sekitar 537 usulan itu, mayoritas melekat di OPD teknis Bina Marga dan Cipta Karya. Para wakil rakyat sepertinya banyak menjaring aspirasi konstituen dalam bentuk program atau proyek infrastruktur.
Kendati begitu, Hadi mengakui, mengenai pergeseran anggaran yang jomplang antara usulan dewan itu, pihaknya tidak sampai mengurusi ke sana. “Kita tidak sampai ke sana (pergeseran, Red), yang penting yang sudah diajukan, diinput anggota dewan, divalidasi OPD, ya itu sudah jadi dari OPD. Tapi, kalau dapatnya plafon, itu di KUAPPAS, ke BPKAD wilayahnya itu. Jadi, saya utuh usulan dewan,” aku Hadi.
Ketimpangan Nominal Pokir Wajar Dicurigai
Sementara itu, Alfian Andri Wijaya, anggota Komisi B DPRD Jember, menyampaikan, daftar pokir yang tersebar tidak diketahui datang dari mana. “Dalam daftar ini (yang tersebar, Red) jumlah wakil rakyat hanya 27 orang anggota dewan. Padahal yang menginput pokir DPRD ke dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) totalnya ada 50 orang anggota dewan untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat,” katanya.
Dia pun menanyakan ke mana nama 23 orang, sehingga tidak dicantumkan. “Patut diduga ada upaya pembunuhan karakter kepada sebagian anggota dewan yang dicantumkan namanya. Padahal total input ke akun SIPD Pemkab Jember ada 50 anggota DPRD Jember, dan itu legal atau sah secara peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Dia pun menyebut, unggahan sebuah akun di media sosial bertujuan untuk menggiring opini, seolah-olah pokir dikesankan permufakatan jahat. Dengan kata lain, ada hal politis karena yang ditampilkan hanya 27 orang, sementara sisanya 23 orang tidak ditampilkan. “Semua daerah di seluruh NKRI ini ada nomenklatur pokir yang memang ada dasar hukumnya,” imbuh Alfian.
Dikatakan, mengenai ketidakadilan perihal kuota pokir bagi setiap konstituen anggota dewan, menurutnya, juga perlu dicurigai ada yang kurang wajar. “Wajar jika banyak yang menduga ada perlakuan khusus dari Pemkab Jember kepada anggota dewan tertentu, karena kuotanya jomplang. Ada yang dapat Rp 4 miliar dan ada yang mendapatkan pokir ratusan juta saja. Ada ketidakadilan proporsional dan jomplang, inilah yang wajar membuat kecurigaan-kecurigaan,” tegasnya.
Alfian memandang, pokir tidak bisa disebut “bancakan” karena hakikatnya adalah perjuangan DPRD yang diatur oleh Pasal 104 dan 157 Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat atau konstituen yang diwakili anggota dewan.
Jurnalis : Maulana
Fotografer : Istimewa
Redaktur : Nur Hariri