23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Butuh Kehadiran Pemerintah Sepenuhnya

Terkait Sosialisasi Adminduk Transgender

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Persoalan mengenai administrasi kependudukan (adminduk) transgender hingga kini masih belum selesai. Walaupun telah ditetapkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) mengenai hak para transgender untuk mendapatkan adminduk, nyatanya kebijakan ini masih belum sepenuhnya tersosialisasikan.

Sekretaris Umum Organisasi Gaya dan Warna (Ogawa) Widi Panuwun Harini mengungkapkan bahwa selama ini pemerintah belum sepenuhnya hadir dalam merespons kebijakan mengenai peralihan KTP transgender. “Kita tahu dari surat edaran pusat. Tapi, kalau dari daerah masih belum ada sosialisasinya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Rini ini.

Lebih lanjut, Rini mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyosialisasikan kebijakan tersebut. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah daerah masih belum turun tangan akan hal tersebut. Karena itu, skema dan aturan untuk pengurusan adminduk masih belum jelas. “Yang kami ketahui ada aturan pengurusan adminduk transgender,” imbuh Rini. Karenanya, dia memandang wajar jika sampai saat ini belum ada transgender di Jember yang memanfaatkan akses tersebut.

Mobile_AP_Rectangle 2

Rini menerangkan bahwa eksistensi transgender di Jember masih belum ada. Yang ada yakni transpuan. Karenanya, jika aturan untuk bisa mendapatkan adminduk berdasarkan perubahan medis, selanjutnya menjalani proses di pengadilan, tentu hal ini cukup membebani. Sebab, di sisi lain keberadaan transgender masih menjadi stigma negatif di kalangan masyarakat. Pendapatan mereka masih tidak maksimal. Karena itu, jika pun disuruh memilih, tentu para transgender akan lebih cenderung untuk tidak mengurus adminduk.

Menurut Rini, hal utama yang perlu mendapatkan prioritas besar dari pemerintah daerah adalah pemenuhan hak yang sama para kaum transgender. Sebab, hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap golongan transgender relatif menurun. Jika pada dua tahun yang lalu golongan transgender masih menerima pelatihan pekerjaan, namun sekarang pelatihan tersebut relatif tidak ada.

“Dua tahun yang lalu masih ada pelatihan sebagai bentuk perhatian pada kelompok transgender. Tapi, sekarang tidak ada sama sekali. Menurut saya, ini yang lebih krusial. Yaitu perhatian dan menyamakan keberadaan transgender,” pungkas Rini.

Terpisah, pemerhati isu HAM dan transgender Al Khanif mengungkapkan bahwa adanya pengurusan adminduk pada golongan transgender masih layak untuk diapresiasi. Namun, dirinya menilai jika skemanya masih merumitkan.

“Semakin tipis regulasi atau intervensi dari negara, maka potensi masyarakat untuk mendapatkan kebebasan semakin besar. Tapi, kalau semakin besar intervensi negara, maka semakin sempit, pemenuhan sempit. Dalam hal ini KTP dan adminduk adalah hak para kaum transgender,” ungkap akademisi Universitas Jember tersebut.

Belum hadirnya pemerintah dalam merealisasikan kebijakan ini terindikasi pada belum meratanya sosialisasi pada golongan transgender. Terlebih lagi, isu ini minim dibahas dalam beberapa pembahasan khusus bupati.

Selanjutnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada hal yang luput dibahas oleh pemerintah pusat maupun daerah. Yaitu anomali pemenuhan untuk memenuhi hak transgender sebagai warga negara. Atau sebaliknya, digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengidentifikasi adanya kelompok transgender yang nantinya akan berpotensi adanya tindakan persekusi atau menyisihkan para kelompok transgender.

“Jadi dua hal ini yang mungkin diantisipasi. Jangan sampai iktikad baik dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar transgender akan menjadi awal kebijakan untuk mendiskriminasi mereka,” pungkasnya. Kendati demikian, pihaknya berharap adanya kebijakan ini mampu menjadi pintu masuk untuk pemenuhan hak-hak sipil transgender.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Persoalan mengenai administrasi kependudukan (adminduk) transgender hingga kini masih belum selesai. Walaupun telah ditetapkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) mengenai hak para transgender untuk mendapatkan adminduk, nyatanya kebijakan ini masih belum sepenuhnya tersosialisasikan.

Sekretaris Umum Organisasi Gaya dan Warna (Ogawa) Widi Panuwun Harini mengungkapkan bahwa selama ini pemerintah belum sepenuhnya hadir dalam merespons kebijakan mengenai peralihan KTP transgender. “Kita tahu dari surat edaran pusat. Tapi, kalau dari daerah masih belum ada sosialisasinya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Rini ini.

Lebih lanjut, Rini mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyosialisasikan kebijakan tersebut. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah daerah masih belum turun tangan akan hal tersebut. Karena itu, skema dan aturan untuk pengurusan adminduk masih belum jelas. “Yang kami ketahui ada aturan pengurusan adminduk transgender,” imbuh Rini. Karenanya, dia memandang wajar jika sampai saat ini belum ada transgender di Jember yang memanfaatkan akses tersebut.

Rini menerangkan bahwa eksistensi transgender di Jember masih belum ada. Yang ada yakni transpuan. Karenanya, jika aturan untuk bisa mendapatkan adminduk berdasarkan perubahan medis, selanjutnya menjalani proses di pengadilan, tentu hal ini cukup membebani. Sebab, di sisi lain keberadaan transgender masih menjadi stigma negatif di kalangan masyarakat. Pendapatan mereka masih tidak maksimal. Karena itu, jika pun disuruh memilih, tentu para transgender akan lebih cenderung untuk tidak mengurus adminduk.

Menurut Rini, hal utama yang perlu mendapatkan prioritas besar dari pemerintah daerah adalah pemenuhan hak yang sama para kaum transgender. Sebab, hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap golongan transgender relatif menurun. Jika pada dua tahun yang lalu golongan transgender masih menerima pelatihan pekerjaan, namun sekarang pelatihan tersebut relatif tidak ada.

“Dua tahun yang lalu masih ada pelatihan sebagai bentuk perhatian pada kelompok transgender. Tapi, sekarang tidak ada sama sekali. Menurut saya, ini yang lebih krusial. Yaitu perhatian dan menyamakan keberadaan transgender,” pungkas Rini.

Terpisah, pemerhati isu HAM dan transgender Al Khanif mengungkapkan bahwa adanya pengurusan adminduk pada golongan transgender masih layak untuk diapresiasi. Namun, dirinya menilai jika skemanya masih merumitkan.

“Semakin tipis regulasi atau intervensi dari negara, maka potensi masyarakat untuk mendapatkan kebebasan semakin besar. Tapi, kalau semakin besar intervensi negara, maka semakin sempit, pemenuhan sempit. Dalam hal ini KTP dan adminduk adalah hak para kaum transgender,” ungkap akademisi Universitas Jember tersebut.

Belum hadirnya pemerintah dalam merealisasikan kebijakan ini terindikasi pada belum meratanya sosialisasi pada golongan transgender. Terlebih lagi, isu ini minim dibahas dalam beberapa pembahasan khusus bupati.

Selanjutnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada hal yang luput dibahas oleh pemerintah pusat maupun daerah. Yaitu anomali pemenuhan untuk memenuhi hak transgender sebagai warga negara. Atau sebaliknya, digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengidentifikasi adanya kelompok transgender yang nantinya akan berpotensi adanya tindakan persekusi atau menyisihkan para kelompok transgender.

“Jadi dua hal ini yang mungkin diantisipasi. Jangan sampai iktikad baik dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar transgender akan menjadi awal kebijakan untuk mendiskriminasi mereka,” pungkasnya. Kendati demikian, pihaknya berharap adanya kebijakan ini mampu menjadi pintu masuk untuk pemenuhan hak-hak sipil transgender.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Persoalan mengenai administrasi kependudukan (adminduk) transgender hingga kini masih belum selesai. Walaupun telah ditetapkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) mengenai hak para transgender untuk mendapatkan adminduk, nyatanya kebijakan ini masih belum sepenuhnya tersosialisasikan.

Sekretaris Umum Organisasi Gaya dan Warna (Ogawa) Widi Panuwun Harini mengungkapkan bahwa selama ini pemerintah belum sepenuhnya hadir dalam merespons kebijakan mengenai peralihan KTP transgender. “Kita tahu dari surat edaran pusat. Tapi, kalau dari daerah masih belum ada sosialisasinya,” ungkap perempuan yang akrab disapa Rini ini.

Lebih lanjut, Rini mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyosialisasikan kebijakan tersebut. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah daerah masih belum turun tangan akan hal tersebut. Karena itu, skema dan aturan untuk pengurusan adminduk masih belum jelas. “Yang kami ketahui ada aturan pengurusan adminduk transgender,” imbuh Rini. Karenanya, dia memandang wajar jika sampai saat ini belum ada transgender di Jember yang memanfaatkan akses tersebut.

Rini menerangkan bahwa eksistensi transgender di Jember masih belum ada. Yang ada yakni transpuan. Karenanya, jika aturan untuk bisa mendapatkan adminduk berdasarkan perubahan medis, selanjutnya menjalani proses di pengadilan, tentu hal ini cukup membebani. Sebab, di sisi lain keberadaan transgender masih menjadi stigma negatif di kalangan masyarakat. Pendapatan mereka masih tidak maksimal. Karena itu, jika pun disuruh memilih, tentu para transgender akan lebih cenderung untuk tidak mengurus adminduk.

Menurut Rini, hal utama yang perlu mendapatkan prioritas besar dari pemerintah daerah adalah pemenuhan hak yang sama para kaum transgender. Sebab, hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap golongan transgender relatif menurun. Jika pada dua tahun yang lalu golongan transgender masih menerima pelatihan pekerjaan, namun sekarang pelatihan tersebut relatif tidak ada.

“Dua tahun yang lalu masih ada pelatihan sebagai bentuk perhatian pada kelompok transgender. Tapi, sekarang tidak ada sama sekali. Menurut saya, ini yang lebih krusial. Yaitu perhatian dan menyamakan keberadaan transgender,” pungkas Rini.

Terpisah, pemerhati isu HAM dan transgender Al Khanif mengungkapkan bahwa adanya pengurusan adminduk pada golongan transgender masih layak untuk diapresiasi. Namun, dirinya menilai jika skemanya masih merumitkan.

“Semakin tipis regulasi atau intervensi dari negara, maka potensi masyarakat untuk mendapatkan kebebasan semakin besar. Tapi, kalau semakin besar intervensi negara, maka semakin sempit, pemenuhan sempit. Dalam hal ini KTP dan adminduk adalah hak para kaum transgender,” ungkap akademisi Universitas Jember tersebut.

Belum hadirnya pemerintah dalam merealisasikan kebijakan ini terindikasi pada belum meratanya sosialisasi pada golongan transgender. Terlebih lagi, isu ini minim dibahas dalam beberapa pembahasan khusus bupati.

Selanjutnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada hal yang luput dibahas oleh pemerintah pusat maupun daerah. Yaitu anomali pemenuhan untuk memenuhi hak transgender sebagai warga negara. Atau sebaliknya, digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengidentifikasi adanya kelompok transgender yang nantinya akan berpotensi adanya tindakan persekusi atau menyisihkan para kelompok transgender.

“Jadi dua hal ini yang mungkin diantisipasi. Jangan sampai iktikad baik dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar transgender akan menjadi awal kebijakan untuk mendiskriminasi mereka,” pungkasnya. Kendati demikian, pihaknya berharap adanya kebijakan ini mampu menjadi pintu masuk untuk pemenuhan hak-hak sipil transgender.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca